☂️ Api Dibukit Menoreh 360

Apidi Bukit Menoreh tetap ”menyala” meski Herry sebagai pembuat gambar kulit sedang berada di negeri orang. Herry mendapat tugas ke Jepang pada tahun 1975-1977 dan negeri Belanda pada 1982-1983. Untuk pembuatan gambar sampul, ia dibantu istrinya, Retno Susilo Sriwijayanti (72). Sang istri mengambil naskah di penerbit Kedaulatan Rakyat. ApiDi Bukit Menoreh: Jilid 1 – Buku 11 by S.H. Mintardja. Dhydyan rated it it was amazing Mar 29, Just a dbiukit while we sign you in to your Goodreads account. Goodreads helps you keep track of books you want to read. Maulana marked it as to-read Feb 17, No trivia or quizzes yet. This book is not yet featured on Listopia. Jambuluwuk Oceano Resort Gili Trawangan di Desa Gili Indah, Lombok Utara, Nusa Tenggara Barat (NTB), mengalami kebakaran pada Sabtu (30/7/2022) pukul 19.15 WITA.. Menanggapi kejadian tersebut, Kepala Dinas Pariwisata (Kadispar) NTB Yusran Hadi mengatakan bahwa edukasi penanganan bencana dan standar operasional prosedur . Fully supportedPartially supportedFrançais CanadaFrançais FranceDeutsch Deutschlandहिंदी भारतItaliano ItaliaPortuguês BrasilEspañol EspañaEspañol México ♦ 15 Juli 2010 Glagah Putih dan Rara Wulan termangu-mangu sejenak. Sebelum mereka menjawab, Ki Umbul Telu itu pun berkata pula, “Kami masih ingin juga mendapat petunjuk Angger berdua.” Glagah Putih menarik nafas panjang. Katanya, “Bagaimana mungkin kami memberikan petunjuk kepada Ki Umbul Telu. Yang mungkin dapat kami sampaikan adalah sekedar gagasan-gagasan yang mungkin banyak berarti.” “Gagasan-gagasan itulah yang sebenarnya ingin kami dengar. Kami akan mempertimbangkan pelaksanaannya.” “Ki Umbul Telu. Bukan maksud kami menolak keinginan Ki Umbul Telu agar kami untuk beberapa lama tinggal di padepokan ini. Tetapi kami masih harus melanjutkan perjalanan kami. Meskipun demikian, kami akan mengusahakan waktu barang dua tiga hari untuk tetap tinggal di sini.” “Tidak hanya dua tiga hari,” sahut Ki Kumuda, “tetapi dua tiga bulan.” Glagah Putih dan Rara Wulan tersenyum. Dengan nada datar Glagah Pulih menyahut, “Terima kasih, Ki Kumuda. Tetapi kami tidak dapat tinggal di satu tempat untuk waktu yang terlalu lama. Tetapi kami akan berusaha untuk tidak mengecewakan Ki Kumuda.” Ki Kumuda pun tertawa pula. Dengan demikian, Glagah Putih dan Rara Wulan tidak dapat segera meninggalkan padepokan di gumuk kecil itu. Mereka tidak sampai hati untuk menolak permintaan para pemimpin di padepokan itu. Ki Umbul Telu memang sedang merencanakan untuk membuka kembali jalur perdagangan dengan para pedagang yang lewat di jalan-jalan yang dianggapnya berbahaya, sehingga mereka memerlukan membentuk kelompok-kelompok agar mereka dapat mengatasi para penyamun di perjalanan. Jika mereka dapat membantu menjamin keamanan di sepanjang jalan itu, maka perdagangan pun akan terbuka kembali. Yang akan lewat tidak hanya orang-orang berkuda yang melarikan kuda mereka seperti dikejar hantu. Tetapi juga para pedagang yang membawa pedati yang dapat memuat berbagai macam barang dagangan yang terhitung agak besar dan berat. Namun dalam dua tiga hari, para penghuni padepokan itu masih disibukkan selain mengubur mereka yang terbunuh, juga merawat mereka yang terluka. Bagaimanapun juga padepokan itu pun masih juga dibayangi oleh wajah-wajah duka, karena ada di antara mereka yang telah gugur di perjuangan mereka mempertahankan perguruan mereka. Karena itu, maka dalam tiga hari pertama setelah pertempuran di bukit kecil itu, Ki Umbul Telu masih belum dapat mengambil langkah-langkah untuk mulai dengan rencananya. Baru kemudian, setelah tiga hari berlalu, Ki Umbul Telu mulai berbicara dengan para pengikut Ki Dandang Ireng yang menyerah dan ditahan di Perguruan Awang-Awang. “Kami tidak dapat menahan kalian untuk seterusnya di sini. Kami pun tidak berhak untuk membuat penyelesaian yang termudah dengan membunuh kalian semuanya,“ berkata Ki Umbul Telu. Para tawanan itu menundukkan kepala mereka. Mereka menjadi berdebar-debar, keputusan apakah yang akan diambil oleh Ki Umbul Telu. Orang yang dituakan di padepokan itu. Seandainya para penghuni padepokan itu mengambil keputusan untuk membunuh mereka semuanya, maka mereka dapat saja melakukannya tanpa diketahui oleh siapapun juga. Apalagi oleh tangan-tangan kekuasaan Mataram. Tetapi ternyata Ki Umbul Telu tidak akan melakukannya. “Kami, para penghuni padepokan ini,” berkata Ki Umbul Telu selanjutnya, “telah sepakat untuk membuat perjanjian dengan kalian. Kami tahu bahwa perjanjian ini tidak mempunyai ikatan apa-apa. Maksudku, masing-masing akan dapat melanggarnya. Tetapi kita pun harus menyadari, bahwa pelanggaran atas perjanjian itu akan dapat berakibat buruk bagi hari-hari kita di masa mendatang. Kita akan dapat mengambil langkah-langkah yang jauh berbeda dengan langkah-langkah yang kita ambil sekarang. Khususnya kami, penghuni padepokan ini.” Para tawanan itu masih tetap menundukkan kepala. “Dengarlah keputusan yang telah kami ambil. Para penghuni padepokan ini bukan pembunuh yang dapat membunuh kalian dengan hati yang beku. Tetapi kami menghormati hidup sesama kami, termasuk kalian, meskipun kalian adalah perampok dan penyamun. Bahkan kami telah memutuskan untuk melepaskan kalian dari tangan kami. Pergilah. Tetapi seperti yang aku katakan, kita akan membuat perjanjian. Kami akan melepaskan kalian. Selanjutnya kalian tidak akan melakukan lagi perampokan di sepanjang bulak-bulak panjang atau di tebing-tebing sungai, atau dimanapun. Kami akan bekerja sama dengan para pedagang dan para Demang untuk mengamankan lingkungan ini, karena kami sangat berkepentingan. Jika pada suatu ketika kami menjumpai kalian di antara para perampok dan penyamun, maka kami akan terpaksa menghukum kalian dengan hukuman yang paling berat. Karena itu, maka sebelum kalian pergi, kami akan memberikan pertanda pada tubuh kalian. Di pergelangan tangan kalian akan kami buat lukisan kecil. Dengan duri dan kemudian diusap dengan reramuan, maka lukisan kecil itu tidak akan pernah hilang. Karena itu, dimanapun kita bertemu, kami akan segera dapat mengenali kalian. Bahkan kami akan memberitahukan kepada para para pedagang, para Demang dan bahkan para petugas dari Mataram yang sempat datang ke lingkungan ini. Mereka yang menjumpai kalian dengan pertanda di tangan kalian, maka mereka akan menghukum kalian dengan hukuman yang paling berat. Bahkan kalian akan dapat dihukum mati, karena kalian sudah melanggar janji kalian sendiri.” Tidak seorangpun di antara para tawanan itu yang menyahut. Mereka masih saja menundukkan kepala mereka dengan jantung yang berdebaran. Pertanda di pergelangan mereka itu tentu akan mereka bawa sampai akhir hidup mereka. Tetapi mereka tidak akan dapat menolak kemauan Ki Umbul Telu itu. Jika ada di antara mereka yang menolak, Ki Umbul Telu akan dapat mengambil tindakan yang lebih keras terhadap mereka. Sebenarnyalah mulai hari itu, setiap orang yang tertawan itu telah ditandai di pergelangan tangan mereka. Seorang demi seorang bergantian. Ada tiga orang penghuni padepokan itu yang mampu membuat lukisan di tubuh seseorang dengan duri, yang kemudian diolesi reramuan yang tidak akan dapat dihapus lagi. Para tawanan itu baru akan dilepaskan jika luka-luka di pergelangan tangan mereka itu sudah mengering. Sementara itu, Ki Umbul Telu akan segera mulai menghubungi beberapa orang Demang yang daerahnya dilalui oleh para pedagang dalam perjalanan mereka. Dalam pada itu, pada hari-hari yang luang itu, Glagah Putih dan Rara Wulan telah menjelajahi bukit kecil itu. Di dalam dan di luar dinding padepokan. Mereka melihat-lihat air yang mengalir dari celah-celah batu-batu padas ke lekuk-lekuk yang lebih rendah. Kemudian terjadilah parit-parit kecil, yang jadi aliran yang lebih besar yang dapat mengaliri sawah di kaki bukit itu. Sawah yang dikerjakan oleh para penghuni bukit itu serta para cantrik. Selain untuk mengaliri sawah, para cantrik juga membuat blumbang untuk memelihara berbagai jenis ikan. Sekali-sekali Glagah Putih dan Rara Wulan ditemani oleh orang-orang tertua di padepokan itu. Namun pada kesempatan yang lain, mereka hanya berdua saja berjalan-jalan di sekeliling bukit kecil itu. Ketika kepada Ki Kumuda Glagah Putih bertanya tentang beberapa batang pohon raksasa yang dipagari dan dianggap keramat, Ki Kumuda pun menjawab, “Kita hormati pepohonan raksasa itu, Ngger. Di sela-sela akar-akarnya yang menebar di bawah bumi, tersimpan air. Pepohonan itu sudah memberikan percikan kehidupan kepada lingkungan ini.” Glagah Putih dan Rara Wulan mengangguk-angguk. Ternyata para pemimpin di padepokan itu cukup bijaksana. Dengan caranya, mereka mencegah para penghuni bukit itu menebang pepohonan raksasa yang membuat bukit itu tetap basah. Tiga buah umbul yang besar, beberapa sendang kecil yang bertebaran di lereng bukit, menyatu dengan parit-parit yang menampung air yang merembes dari sela-sela batu padas itu, membuat tanah di sekitar bukit itu menjadi daerah persawahan yang subur. Namun sambil melihat-lihat lingkungan di sekeliling bukit kecil itu, Glagah Putih dan Rara Wulan sempat juga melihat kemungkinan, bahwa ada satu tempat yang dapat mereka pakai untuk menyembunyikan peti kecilnya. Hanya petinya. Tanpa isinya, yang sudah dilekatkan dengan tubuh Glagah Putih. Tetapi di luar sadar mereka, ketika Glagah Putih dan Rara Wulan berjalan-jalan dengan Ki Kumuda di sisi yang agak curam dari tebing bukit kecil itu, dua pasang mata selalu mengawasi mereka. Seorang laki-laki dan seorang perempuan yang berdiri di balik gerumbul perdu di tebing bukit itu, memandang ketiga orang yang berjalan di jalan setapak di bawah tebing yang agak curam itu dengan seksama. “Tentu dua orang yang masih terhitung muda itulah yang dikatakan sepasang suami istri yang berilmu sangat tinggi,” berkata laki-laki yang bertubuh kekar, berdada bidang. Wajah yang nampak keras dengan mata yang cekung itu merupakan ungkapan dari kekerasan hatinya serta kecerdikannya. “Ya,” sahut seorang perempuan yang berdiri di sebelahnya. Seorang perempuan yang termasuk tinggi dibanding dengan perempuan kebanyakan. Tubuhnya yang ramping itu nampak seakan-akan tidak berbobot. “Kita tidak akan melepaskan kesempatan ini. Mereka-lah sebenarnya yang telah memporak-porandakan rencana kita setelah kita berhasil memperalat Dandang Ireng, sehingga Dandang Ireng tidak berhasil merebut kekuasaan di bukit kecil itu.” “Apa yang sebaiknya kita lakukan, Kakang?” “Keduanya harus kita singkirkan dari bukit ini. Baru kemudian kita mencari kesempatan untuk menguasai bukit kecil itu, sebagaimana yang sudah kita rencanakan dengan mempergunakan Dandang Ireng sebagai alatnya. Kita akan dapat mendirikan sebuah perguruan dengan nama sebagaimana nama perguruan yang sudah ada di sana.” “Bukankah dengan demikian kita harus mulai dari permulaan lagi?” “Ya. Kita tidak mempunyai pilihan. Karena itu maka kita harus segera mulai. Adalah sangat menguntungkan bahwa sekarang kita menemukan kedua orang suami istri itu. Kita akan melenyapkan mereka, sebagai pernyataan bahwa langkah kita yang baru sudah kita mulai.” “Yang seorang lagi?” bertanya perempuan itu. “Bukankah orang itu salah seorang pemimpin dari perguruan ini? Bukankah orang itu yang bernama Kumuda?” “Ya. Tetapi apa yang harus kita lakukan atas orang itu?” “Jika kita melenyapkan sepasang suami istri itu, maka kita juga harus membunuh Kumuda. Tetapi bukankah menyingkirkan Kumuda tidak akan terlalu sulit bagi kita?” “Jika Kumuda itu bekerja sama dengan sepasang suami istri itu?” “Seberapa tinggi ilmu sepasang suami istri yang nampaknya masih terlalu muda untuk menghadapi kita berdua, maka keduanya tidak akan banyak memeras keringat kita. Bahkan bersama Kumuda sekalipun.” “Kumuda termasuk seorang yang berilmu tinggi. Menurut keterangan mereka yang sempat melarikan diri dan melihat cara sepasang suami istri itu bertempur, maka keduanya berilmu sangat tinggi.” “Jangan terpengaruh oleh laporan para cucurut itu. Mereka adalah pengecut yang tidak berguna sama sekali. Sebenarnya aku ingin membunuh mereka, tetapi aku mempunyai pertimbangan lain. Pada kesempatan mendatang, mereka akan dapat kita jadikan umpan lagi bersama orang lain, sebagaimana mereka menyertai Dandang Ireng memasuki padepokan yang pernah dihuninya itu.” “Jika itu pertimbangan Kakang, baiklah. Jangan biarkan mereka menjadi semakin jauh.” Keduanya pun kemudian bergerak dengan cepat. Bukan hanya perempuan yang bertubuh tinggi dan ramping itu sajalah yang seakan-akan tidak berbobot sehingga mampu bergerak dengan ringan, tetapi laki-laki yang bertubuh kekar itu pun mampu pula bergerak dengan cepatnya. Ketika mereka bergerak di sela-sela gerumbul perdu, maka Glagah Putih dan Rara Wulan pun tiba-tiba berhenti. Ki Kumuda pun berhenti. Tetapi ia tidak segera mendengar sebagaimana didengar oleh Glagah Putih dan Rara Wulan. Namun beberapa saat kemudian, maka ia pun berdesis, “Ya. Aku mendengarnya.” Ketiga orang itu tidak perlu menunggu terlalu lama. Mereka pun segera melihat dua sosok yang seakan-akan terbang menukik dari belakang gerumbul di atas tebing yang tidak terlalu tinggi itu. Dua orang laki-laki dan perempuan itu pun kemudian dengan lunak menapak di hadapan Glagah Putih, istrinya dan Ki Kumuda. Ketiga orang itu bergeser surut setapak. Dengan nada tinggi Glagah Putih berkata, “Kalian berdua telah mengejutkan kami.” “Maaf, Ki Sanak,” sahut laki-laki separo baya yang bermata cekung itu. “Kami tidak bermaksud mengejutkan kalian.” “Siapakah kalian berdua, dan apakah maksud kalian menghentikan kami bertiga?” bertanya Glagah Putih kemudian. “Jadi kalian belum mengenal kami?” “Belum, Ki Sanak.” “Baiklah. Jika demikian kami akan memperkenalkan diri kami. Orang menyebutku Gagak Bergundung. Perempuan ini adalah istriku, Nyi Gagak Bergundung.” Ki Kumuda terkejut mendengarkan nama itu. Hampir di luar sadarnya ia pun bertanya, “Jadi kalian berdua inikah yang digelari Suami Istri Gagak Bergundung dari Goa Susuhing Angin?” “Kau sudah mendengar namaku, Kumuda.” “Aku sudah mendengarnya. Tetapi kau pun sudah tahu namaku.” “Aku dapat mengenali hampir setiap penghuni padepokan ini, kecuali mereka para pemula. Aku dapat mengenali Umbul Telu, Lampita, Kumuda dan Ganjur, kemudian masih ada beberapa orang lain pada lapisan atas murid-murid Perguruan Awang-Awang. Selain mereka, maka para murid perguruan ini pun membuat tempat tinggal tersebar di atas bukit ini. Selain mereka, masih ada sekelompok anak-anak muda yang tinggal di bangunan utama padepokanmu.” “Dari mana kau tahu?” Orang yang menyebut dirinya Gagak Bergundung itu tertawa. Di sela-sela suara tertawanya ia pun berkata, “Tetapi ada bedanya, Kumuda. Jika aku mengenalmu, bukan karena namamu yang besar dan pantas untuk dikenal. Tetapi aku sengaja berusaha mengenali orang-orang yang berada di atas bukit ini. Berbeda dengan namaku, yang banyak dikenal karena kami berdua memang pantas dikenal.” “Untuk apa kau datang kemari, Gagak Bergundung?” bertanya Ki Kumuda. “Kami hanya ingin sekedar melihat-lihat bukitmu, Kumuda.” “Hanya itu?” “Ya. Tetapi ternyata di sini aku melihat dua orang yang telah mengotori bukitmu ini. Kedua suami istri ini.” “Kenapa kau anggap mereka mengotori bukit ini? Mereka justru telah membantu kami menghadapi saudara-saudara seperguruan kami yang tekah berkhianat.” “Satu cerita yang menggelikan. Apalah artinya dua orang laki-laki dan perempuan ini bagi perguruanmu, yang telah memiliki banyak orang-orang berilmu tinggi?” “Lawan kami terlalu banyak. Karena itu kami merasa sangat berhutang budi kepada keduanya, yang telah terjun di kancah pertempuran dan ternyata keduanya berilmu sangai tinggi.” “Kau telah dipengaruhi oleh sikap sombong mereka. Aku juga sudah mendengar, seakan-akan keduanya mampu menyapu lereng bukit ini yang dirayapi oleh para pengikut Dandang Ireng.” “Ya.” “Dengan demikian, maka kedatangan kami berdua tidaklah sia-sia.” “Apa maksudmu?” bertanya Ki Kumuda. “Aku, Gagak Bergundung suami istri yang tidak terkalahkan di daerah Selatan ini, ingin membuktikan, apakah benar keduanya berilmu tinggi. Jika mereka mengiyakan anggapan orang bahwa mereka berilmu tinggi, maka mereka harus dapat setidaknya mengimbangi kemampuan kami. Kami berdua tidak mau kehilangan gelar kami, bahwa kami adalah orang-orang yang tidak terkalahkan.” “Gagak Bergundung,” bertanya Giugah Putih kemudian, “apakah sebenarnya alasanmu, sehingga kau menantang kami berdua untuk melawanmu? Bukankah kita belum pernah bertemu dan belum pernah saling bersinggungan kepentingan?” “Sudah aku katakan, bahwa aku tidak ingin kehilangan gelarku. Aku tidak mau ada orang lain yang dianggap berilmu sangat tinggi di daerah kuasaku. Karena itu, maka setiap orang yang muncul di dunia olah kanuragan, harus aku pangkas dan bahkan harus aku bongkar sampai ke akarnya. Bukan hanya kalian berdua yang akan aku musnahkan, tetapi juga perguruan kalian. Guru kalian dan saudara-saudara seperguruan kalian. Aku yakin bahwa kalian bukan lahir dan besar di Perguruan Awang-Awang.” “Apakah alasanmu itu sudah cukup pantas untuk menantang orang lain untuk bertempur?” “Tentu.” “Bagaimana pendapatmu jika kami mengakui, bahwa kalian berdua adalah orang yang memiliki ilmu tertinggi di lingkungan ini?” “Mungkin kau akan mengakui kebesaran namaku di hadapanku. Tetapi esok atau lusa jika kau tidak berada dihadapanku, kau akan berkata lain.” “Bukankah kau dapat mencari kami dan membuat perhitungan?” “Itu hanya akan membuang-buang waktu saja. Kenapa aku harus menunggu kau ingkari pernyataanmu? Bukankah sekarang kita sudah bertemu? Menurut pendapatku, agar kami tidak membuang-buang waktu, kami akan membunuh kalian bertiga. Sesudah itu kami tidak akan terganggu lagi oleh keingkaran kalian terhadap pengakuan kalian di hadadapanku sekarang.” “Gagak Bergundung,” berkata Glagah Putih, “alasanmu itu tentu alasan yang sekedar kau buat-buat.” Gagak Bergundung itu mengerutkan dahinya. Namun kemudian ia pun berkata dengan lantang, “Apapun yang kau katakan, aku akan tetap membunuh kalian berdua. Apapun alasannya. Karena itu, bersiaplah untuk mati.” “Jadi inilah kenyataan tentang sepasang suami istri yang bernama Gagak Bergundung, dari Goa Susuhing Angin di perbukitan di sebelah Rawa Pening itu?” geram Ki Kumuda. “Nama besarmu ternyata muncul dari kuasa kegelapan.” “Jangan sesali nasibmu yang buruk, Kumuda. Karena aku akan membunuh kedua orang suami istri yang tidak tahu diri ini, maka kau pun akan mati, agar kau kau tidak menjadi saksi kematian kedua orang suami istri ini.” “Kematian bukan sesuatu yang menakutkan, Gagak Bergundung. Jika sudah waktunya datang, dimanapun serta dengan sebab apapun, maka mati itu akan menjemputku. Tetapi jika hari ini waktumu-lah yang akan datang, maka kau berdua-lah yang akan mati.” “Aku ingin mengoyak mulutmu, Kumuda. Atau kau-lah yang akan mati lebih dahulu dari kedua orang ini.” “Tidak, Gagak Bergundung,” sahut Glagah Putih, “kau berdua atau kami berdua. Kau harus mengalahkan kami lebih dahulu, jika kalian ingin bertempur melawan Ki Kumuda. Kalian berdua memang bukan lawan Ki Kumuda. Sebelum kalian dapat berbuat apa-apa, jantung kalian sudah berhent berdenyut. Tetapi jika kalian lebih dahulu bertempur melawan kami berdua, maka kalian masih akan mempunyai kesempatan untuk menikmati perbandingan ilmu di antara kita.” “Anak iblis kalian semuanya. Baik. Kami berdua akan lebih dahulu membunuh kalian berdua. Tetapi jika Kumuda ingin melibatkan diri, kami sama sekali tidak berkeberatan, karena dengan demikian, maka pekerjaan kami akan lebih cepat selesai.” “Tidak,” sahut Glagah Putih, “kami berdua, dan kalian pun berdua. Ki Kumuda akan menjadi saksi, apakah yang akan terjadi di antara kita.” “Persetan, anak iblis. Kesombonganmu telah menyentuh langit. Tetapi kau akan segera mati. Istrimu juga akan mati. Demikian pula Kumuda. Betapapun tinggi ilmunya, tetapi bagi kami, Kumuda tidak lebih dari seekor nyamuk yang akan mati dengan sekali tepuk.” “Beri aku kesempatan, Ngger,” geram Ki Kumuda. “Biarlah aku menanggapinya, Paman. Kami-lah yang sebenarnya menjadi sasaran mereka, apapun alasannya. Karena itu, biarlah kami yang melayaninya, karena persoalannya adalah antara kami berdua dan mereka berdua.” “Bagus,” Gagak Bergundung itu pun menyahut dengan nada tinggi, “segera bersiaplah untuk mati. Mayat kalian bertiga akan aku lemparkan ke jurang itu, hingga saatnya baunya mengganggu anak-anak yang sedang menggembalakan kambingnya.” Glagah Putih tidak menjawab lagi. Tetapi ia pun berkata kepada Ki Kumuda, “Minggirlah, Ki Kumuda. Biarlah kami berdua melayani kedua iblis dari Goa Susuhing Angin ini.” Ki Kumuda tidak menjawab. Ia sadari kelebihan Glagah Putih dan Rara Wulan sebagaimana dilaporkan para murid Perguruan Awang-Awang. Karena itu maka ia pun bergeser surut. Yang kemudian berhadapan adalah Glagah Putih dan Rara Wulan dengan Gagak Bergundung suami istri. “Sayang bahwa kecantikanmu akan ikut terlempar ke jurang itu, anak manis,“ desis Nyi Gagak Bergundung, yang bertubuh tinggi melampaui kebanyakan perempuan. Karena itu, maka Rara Wulan pun harus mengangkat wajahnya pada saat ia berbicara dengan Nyi Gagak bergundung. Ada kecantikan terkesan di wajah Nyi Gagak Bergundung. Tetapi ada pula kesan keganasannya. Ketika perempuan itu tertawa, maka suara tertawanya melengking tinggi, seperti suara tertawa hantu perempuan yang melihat tanah yang masih merah di pekuburan. “Nyi,” tiba-tiba saja Rara Wulan bertanya, “kalau aku boleh bertanya, berapa umurmu sekarang?” Nyi Gagak Bergundung mengerutkan dahinya. Namun tiba-tiba ia pun tertawa, “Untuk apa kau tanyakan berapa umurku?” “Wajahmu membingungkan. Kadang-kadang aku melihat kau seolah-olah baru berumur sekitar tiga puluh tahun. Tetapi kemudian wajahmu itu berkerut, sehingga rasa-rasanya kau sudah berumur lima puluh tahun lebih.” “Ternyata kau benar-benar anak iblis. Dalam keadaan yang gawat, dan bahkan umurmu akan terputus sampai hari ini, kau masih sempat bergurau.” “Aku tidak bergurau, Nyi. Aku benar-benar bingung melihat garis-garis wajahmu. Tetapi yang jelas bahwa kau adalah perempuan yang bengis tanpa kelembutan sama sekali.” “Kau benar,” jawab Nyi Gagak Bergundung, “aku bukan perempuan yang cengeng yang bermanja-manja dan memanjakan orang. Selama ini kami adalah suami istri yang sangat ditakuti, karena kami membunuh orang yang tidak kami kehendaki untuk hidup terus sebagaimana kalian berdua, karena kalian berdua akan dapat mengganggu pekerjaan-pekerjaan kami di kemudian hari.” “Apakah pekerjaanmu?” Nyi Gagak Bergundung terdiam sesaat. Namun sambil menggeram ia pun menjawab, “Pekerjaanku adalah membunuh. Karena itu bersiaplah. Sebentar lagi aku akan membunuhmu.” Rara Wulan menarik nafas panjang. Sementara itu ia melihat Glagah Putih sudah bergeser menjauh dan mulai bertempur melawan Ki Gagak Bergundung. “Nampaknya perempuan ini bersungguh-sungguh,” berkata Rara Wulan di dalam hatinya. “Agaknya suami istri ini benar-benar pembunuh yang tidak berjantung. Mereka dapat membasahi tangan mereka dengan darah orang-orang yang tidak bersalah sekalipun, dengan tanpa debar di dada mereka.“ Karena itu, maka Rara Wulan pun harus mempersiapkan dirinya dengan sungguh-sungguh. Ia belum tahu tataran ilmu perempuan itu yang sesungguhnya, sedangkan niat perempuan itu untuk membunuhnya bukan sekedar untuk mengancamnya saja. “Bayangan kematianmu sudah nampak di wajahmu, perempuan cantik,” desis Nyi Gagak Bergundung sambil tersenyum. Senyumnya telah menggetarkan jantung Rara Wulan. Tetapi Rara Wulan menjawab, “Kau keliru, Nyi. Yang kau lihat di sorot mataku bukan bayangan kematianku, tetapi isyarat akan kematian lawanku. Agaknya isyarat itu sudah kau lihat sendiri.” “Persetan kau.” Perempuan yang bertubuh tinggi itu tidak berbicara lagi. Ia pun segera meloncat menyerang Rara Wulan. Tetapi Rara Wulan telah bersiap sepenuhnya. Ia pun segera bergeser menghindari serangan itu, dan bahkan ia pun segera membalas menyerang. Serangan Rara Wulan ternyata mengejutkan lawannya. Ia tidak mengira bahwa Rara Wulan mampu bergerak setangkas itu. Sehingga dengan demikian, maka perempuan itu seolah-olah telah diperingatkan untuk berhati-hati menghadapi perempuan yang masih terhitung muda itu. Sejenak kemudian keduanya telah terlibat dalam pertempuran yang sengit. Keduanya saling menyerang dan saling menghindar. Keduanya berloncatan dengan cepatnya. Ki Kumuda yang menyaksikan pertempuran itu menjadi semakin berdebar-debar. Dilihatnya dua orang laki-laki sedang bertempur dengan garangnya, sementara dua orang perempuan bertempur dengan gerak yang cepat, tangkas dan cekatan. “Mereka adalah orang-orang yang berilmu sangat tinggi,” desis Ki Kumuda. Namun ketika mereka sudah bertempur beberapa lama, maka Ki Gagak Bergundung dan Nyi Gagak Bergundung mulai menyadari, bahwa lawan mereka adalah benar-benar orang berilmu tinggi yang mampu mengimbangi ilmu mereka. Karena itu, maka mereka pun telah meningkatkan ilmu mereka selapis demi selapis. Sementara itu Glagah Putih dan Rara Wulan menyadari bahwa kedua orang suami istri yang bernama Gagak Bergundung itu benar-benar memiliki ilmu yang sangat tinggi. Semakin lama pertempuran pun menjadi semakin sengit. Nyi Gagak Bergundung yang mendapat lawan yang mampu menahan serangan-serangannya, menjadi semakin marah. Ia tidak mengira bahwa perempuan yang masih terhitung muda itu memiliki ilmu yang mampu mengimbangi ilmunya, bahkan setelah ia meningkatkan ilmunya semakin tinggi. “Dimana anak ini menimba ilmu?” desis Nyi Gagak Bergundung. Bahkan ia melihat unsur-unsur gerak yang mulai membingungkannya. Sebenarnyalah ketika pertempuran menjadi semakin sengit, serta Nyi Gagak Bergundung meningkatkan ilmunya semakin tinggi, maka Rara Wulan pun mulai menapak ke dalam tata gerak ilmu yang semakin rumit. Meskipun ia masih berpijak kepada unsur-unsur gerak dari ilmu perguruan yang diturunkan lewat Ki Sumangkar di bawah bimbingan Sekar Mirah, serta ilmu yang disadapnya dari perguruan Ki Sadewa dan Kiai Gringsing lewat suaminya dan Agung Sedayu, namun segala sesuatunya telah menjadi semakin matang. Arti dari setiap gerakan, arah serta sasarannya, menjadi semakin tajam. Namun dengan demikian, Nyi Gagak Bergundung yang mempunyai pengalaman yang luas itu menjadi agak sulit untuk mengenali unsur-unsur gerak itu. Ia menjadi bingung untuk menyebut, perempuan yang masih terhitung muda itu dilahirkan dari jalur perguruan yang mana. Nyi Gagak Bergundung itu pun kemudian semakin meningkatkan ilmunya, untuk memaksa Rara Wulan menunjukkan alas yang paling mendasar dari perguruannya. Dalam keadaan yang sulit, maka seseorang akan terpaksa kembali pada ilmu yang paling dikuasainya. Tetapi debar di jantung Nyi Gagak Bergundung itu menjadi semakin keras, ketika ia sadari bahwa unsur-unsur gerak lawannya itu masih tetap saja membingungkannya. Bahkan meskipun Nyi Gagak Bergundung mencoba menekan perempuan yang masih terhitung muda itu, sama sekali tidak berhasil. Serangan-serangan Nyi Gagak Bergundung yang datang membadai, masih saja selalu dihindari oleh Rara Wulan. Tetapi ketika Nyi Gagak Bergundung bergerak semakin cepat, maka Rara Wulan tidak lagi selalu menghindar. Dengan hati-hati ia mulai menjajagi kekuatan dan tenaga Nyi Gagak Bergundung. Benturan-benturan kecil pun tidak lagi dapat dihindari. Namun benturan-benturan kecil itu sudah cukup mengejutkan Nyi Gagak Bergundung. “Gila anak ini,” berkata Nyi Gagak Bergundung di dalam hatinya, “dari mana ia menyadap kekuatan dan tenaga yang demikian kuatnya, dilandasi dengan tenaga dalamnya yang sangat besar?” Sebenarnyalah dalam benturan-benturan yang terjadi, Nyi Gagak Bergundung merasa betapa kuatnya tenaga lawannya itu. Tetapi Nyi Gagak Bergundung masih merasa bahwa dirinya adalah bagian dari sepasang Gagak yang namanya ditakuti oleh banyak orang. Bahkan gerombolan-gerombolan perampok dan penyamun yang garang pun hatinya akan menjadi kuncup jika mereka mendengar nama Gagak Bergundung. Karena itu, maka Nyi Gagak Bergundung itu masih tetap yakin bahwa ia akan dapat menghancurkan perempuan yang sombong itu. Dalam pada itu, pertempuran antara Gagak Bergundung melawan Glagah Putih pun menjadi semakin sengit. Ki Gagak Bergundung juga menjadi heran, bahwa lawannya itu masih saja mampu mengimbangi ilmunya yang ditingkatkannya semakin tinggi. Dalam gejolak kemarahannya, maka Ki Gagak Bergundung pun telah meningkatkan ilmunya sampai ke tataran tertinggi, didukung oleh tenaga dalamnya yang sangat kuat. Tetapi ternyata bahwa lawannya yang masih terhitung muda itu masih saja mampu mengimbanginya. Bahkan kadang-kadang tenaga dalam lawannya itu sempat mengejutkannya. Ketika tataran ilmu keduanya menjadi semakin tinggi, maka serangan-serangan mereka pun silih berganti mulai menembus pertahanan lawan. Sekali-sekali serangan Gagak Bergundung sempat mendorong Glagah Putih beberapa langkah surut. Namun pada kesempatan lain, Gagak Bergundung-lah yang terlempar surut dan bahkan kehilangan keseimbangannya. Namun demikian Gagak Bergundung itu terjatuh, maka ia pun segera melenting berdiri. Namun sentuhan-sentuhan serangan Glagah Putih yang menjadi lebih sering menembus pertahanan Gagak Bergundung. Bahkan sentuhan-sentuhan serangan Glagah Pulih itu pun terasa mulai menyakiti tubuhnya. “Gila orang ini,” geram Gagak Bergundung, “ternyata orang ini memang berilmu tinggi.” Di atas sebuah batu padas yang besar, Ki Kumuda berdiri dengan wajah yang tegang. Sekali-sekali ia memperhatikan Glagah Putih yang bertempur melawan Gagak Bergundung. Namun sejenak kemudian, perhatiannya tertuju kepada pertempuran antara Rara Wulan dan Nyi Gagak Bergundung. Bahkan sampai beberapa lama, Ki Kumuda tidak dapat meyakini, siapakah yang akan memenangkan pertempuran itu. Ketika kemudian terjadi benturan-benturan di antara Glagah Putih dan Gagak Bergundung, maka Ki Kumuda pun mulai berpengharapan. Ia melihat bahwa kekuatan Glagah Putih yang didukung oleh tenaga dalamnya ternyata lebih besar dari lawannya. Di setiap benturan yang terjadi, maka Gagak Bergundung-lah yang selalu tergetar surut. Demikian pula Rara Wulan yang bertempur melawan Nyi Gagak Bergundung. Agaknya Rara Wulan memiliki kemampuan yang lebih tinggi dari lawannya. Namun Ki Kumuda pun menyadari bahwa orang-orang yang berilmu tinggi terbiasa menyimpan ilmu pamungkasnya, yang hanya akan dipergunakan pada saat-saat yang paling gawat. Ilmu pamungkas itulah yang biasanya akan menentukan, siapakah di antara mereka yang akan mampu mengalahkan lawannya. Ki Kumuda meyakini bahwa Gagak Bergundung suami istri yang namanya ditakuti oleh banyak orang itu mempunyai pegangan yang diandalkannya sebagai ilmu pamungkasnya. Tetapi agaknya Gagak Bergundung itu masih belum merasa perlu untuk melepaskan ilmu pamungkasnya. Dalam keadaan yang semakin sulit karena serangan-serangan Glagah Putih yang semakin sering menembus pertahanannya, maka Gagak Bergundung tidak segera sampai pada ilmu puncaknya itu. Tetapi Gagak Bergundung masih akan mencoba kemampuannya mempergunakan senjata. Ketka Gagak Bergundung tidak lagi dapat mengingkari kenyataan bahwa ia tidak akan dapat mengalahkan lawannya, ia tidak segera melepaskan ilmu puncaknya. Tetapi ditariknya goloknya yang besar, yang berada di sarungnya yang melekat di punggungnya. “Aku akan membelah kepalamu dan menaburkan otakmu yang penuh dengan kesombongan itu, anak iblis,“ geram Gagak Bergundung. Glagah Putih meloncat surut. Ia melihat golok yang besar, panjang dan tentu berat. Tetapi di tangan Gagak Bergundung, golok itu berputaran seperti baling-baling blarak. “Jangan sesali nasibmu yang buruk,” berkata Gagak Bergundung lebih lanjut. “Baiklah,” sahut Glagah Putih, “aku tidak ingin kepalaku terbelah. Karena itu, maka aku pun akan mempergunakan senjataku.” Glagah Putih tidak menunggu lagi. Ia pun segera mengurai ikat pinggangnya yang merupakan senjata andalannya. Gagak Bergundung mengerutkan dahinya. Katanya, “Apa artinya ikat pinggangmu itu? Golokku adalah golok pusaka turun temurun. Golokku dibuat oleh seorang Empu di pertapaannya, di kaki Gunung Kendeng, lebih dari dua ratus tahun yang lalu. Ayahku telah membabat puluhan lawannya dengan golok ini. Kakekku-lah yang telah membunuh Ki Jalak Ambal yang diakui dapat menghilang itu, dan membelah dadanya. Sedangkan aku telah memenggal kepala lawan-lawanku yang jumlahnya tidak terhitung lagi.” “Ada dua kemungkinan pada ceritamu itu, yang kedua-duanya tidak berharga bagiku. Pertama, kau membual. Seorang pembual adalah seorang yang licik dan biasanya seorang pengecut. Kedua, jika ceritamu itu benar, maka kau adalah bayangan kuasa kegelapan yang harus dihancurkan. Hidupmu sama sekali tidak berharga bagi sesamamu. Apalagi bagi Pencipta jagad raya ini. Kau adalah kerak kehidupan yang hanya akan mengotori bumi ini.” Wajah Gagak Bergundung menjadi merah. Kemarahannya telah membuat jantungnya bagaikan membara. Karena itu, maka ia pun segera meloncat menyerang Glagah Putih dengan garangnya. Goloknya yang besar dan berat itu terayun-ayun bagaikan selembar klaras kering yang tidak berbobot. Tetapi Glagah Putih mampu bergerak cepat sekali. Setelah menjalani laku sebagaimana ditunjukkan oleh kitab Ki Namaskara, maka Glagah Putih telah mengalami loncatan yang jauh pada tataran ilmunya. Karena itu, menghadapi Gagak Bergundung, Glagah Putih mampu menempatkan dirinya pada lapis yang bahkan lebih tinggi dari lawannya. Meskipun demikian, Gagak Bergundung itu pun masih saja berteriak, “Apapun yang kau lakukan, anak iblis, golok pusakaku yang disebut Kiai Naga Padma ini akan menyelesaikan tugasnya dengan baik.” Glagah Putih tidak menghiraukannya. Tetapi Ki Kumuda-lah yang menjadi semakin tegang. Nama Gagak Bergundung telah membuatnya berdebar-debar. Apalagi ketika ia mendengar nama golok Kiai Naga Padma. Tetapi bagaimana mungkin golok Kiai Naga Padma berada di tangan seorang yang muncul dari kuasa kegelapan itu? Menurut pendengarannya, Kiai Naga Padma adalah pusaka seorang pertapa, yang pada masa sebelumnya banyak berbuat kebajikan dan menolong sesamanya. Seorang pertapa yang hanya diketahuinya dengan sebutan Kiai Pupus Kendali. Namun nama Kiai Pupus Kendali itu sudah lama tidak pernah disebut-sebut lagi. “Kakang Umbul Telu mungkin mengetahui lebih banyak tentang Kiai Naga Padma,” desis Ki Kumuda. Sebenarnyalah bahwa golok di tangan Gagak Bergundung itu telah memaksa Ki Kumuda menjadi berdebar-debar. Putaran golok itu seolah-olah memunculkan bara yang kemerah-merahan di udara. Galagah Putih yang bertempur dengan sengitnya, harus melihat kenyataan itu pula. Dengan jantung yang berdebar ia mulai memperhatikan golok di tangan lawannya yang garang itu. “Luar biasa,” berkata Glagah Putih di dalam hatinya, “golok itu tentu bukan golok yang dibuat oleh pande besi kebanyakan. Golok itu tentu dibuat oleh seorang Empu yang mumpuni, yang jarang ada duanya.” Namun di tangan Glagah Putih pun tergenggam senjatanya yang dapat dipercaya. Meskipun ujudnya hanya sebuah ikat pinggang, tetapi senjata itu sudah terbukti memiliki kelebihan dari jenis-jenis senjata yang lain. Apalagi di tangan Glagah Putih yang berilmu sangat tinggi, setelah ia menguasai sebagian besar isi kitab, yang menurut tanggapannya diterimanya dari Kiai Namaskara, meskipun dengan cara yang tidak dapat dimengertinya. Dengan demikian, maka keberadaan golok Kiai Naga Padma di tangan Gagak Bergundung sama sekali tidak menggetarkan jantung Glagah Putih. Apalagi setelah mereka terlibat dalam pertempuran yang sengit. Gagak Bergundung yang mengira akan dapat segera menebas senjata lawannya sehingga putus, ternyata sangat mengejutkannya. Ketika kedua senjata itu beradu, maka seakan-akan golok yang dibanggakan oleh Gagak Bergundung itu membentur tongkat baja yang tidak tergoyahkan. Di luar sadarnya, Gagak Bergundung itu mengumpat kasar. Justru tangannya-lah yang tergetar sehingga telapak tangannya terasa pedih. Gagak Bergundung meloncat beberapa langkah surut. Sedangkan Glagah Putih sengaja tidak memburunya. Glagah Putih sengaja memberi waktu kepada Gagak Bergundung untuk memahami apa yang baru saja terjadi. “Dari mana kau dapatkan senjatamu itu?” geram Gagak Bergundung. Glagah Putih tersenyum. Katanya, “Aku membelinya di pasar di padukuhan sebelah,” jawab Glagah Putih sambil tersenyum. “Pasar yang hampir mati karena para pedagang tidak mau singgah lagi. Pasar yang dibayangi oleh kerusuhan karena para perampok dan penyamun yang berkeliaran di jalan-jalan.” “Persetan dengan bualanmu.” “Jadi, menurut pendapatmu, dari mana aku dapatkan senjata ini?” “Kau akan menyesali kesombonganmu itu.” “Aku atau kau.” Gagak Bergundung yang menjadi semakin marah itu telah meloncat menyerangnya pula. Goloknya yang besar terayun dengan derasnya mengarah ke leher Glagah Putih. Namun dengan tangkasnya pula Glagah Putih menggerakkan senjatanya. Dengan paduan antara jenis senjatanya pilihan di tangannya serta ilmunya yang sangat tinggi, dilambari pula oleh tenaga dalamnya, maka Glagah Putih menangkis serangan lawannya. Pada saat kedua senjata pilihan itu beradu, maka segumpal bunga api telah memercik ke udara. Ternyata Gagak Bergundung justru telah terguncang. Beberapa langkah ia tergetar surut. Sementara itu, Glagah Putih masih berdiri tegak di tempatnya. Sekali lagi Gagak Bergundung mengumpat kasar. Namun ia tidak dapat mengelak dari kenyataan, bahwa lawannya memiliki kemampuan yang sulit dibayangkannya. Namun Gagak Bergundung masih mempunyai harapan untuk memenangkan pertempuran itu. Ia masih mempunyai beberapa simpanan yang akan dapat dipergunakan untuk mengakhiri pertempuran, jika tidak ada lagi jalan lain. Dalam pada itu, Ki Kumuda yang menjadi penasaran atas keberadaan golok itu di tangan Gagak Bergundung, telah berteriak, “He, Gagak Berundung! Darimana kau dapatkan golok Kiai Naga Padma itu? Bukankah golok itu milik seorang pertapa yang dikenal dengan nama Kiai Pupus Kendali?” “Persetan dengan Pupus Kendali. Ia bukan apa-apa bagi ayahku. Pupus Kendali tidak lebih dari belalang yang menyebut dirinya elang.” “Kau telah membunuhnya?” Gagak Bergundung tidak sempat menjawab. Serangan Glagah Putih datang beruntun, sehingga Gagak Bergundung harus berloncatan surut. Namun kemudian Glagah Putih justru menghentikan serangannya sambil berkata, “Jawab pertanyaan Ki Kumuda. Kau bunuh Kiai Pupus Kendali itu?” “Apa pedulimu dengan Kiai Pupus Kendali? Sekarang aku akan membunuhmu, anak bengal.” Gagak Bergundung-lah yang kemudian meloncat menyerang Glagah Putih dengan kecepatan yang tinggi. Namun Glagah Putih mampu mengimbangi kecepatan gerak Gagak Bergundung itu. Yang terjadi kemudian adalah pertempuran dengan irama yang semakin cepat. Gagak Bergundung merasa bahwa ia tidak mungkin beradu kekuatan dan tenaga dengan orang yang masih terhitung muda itu. Tetapi Gagak Bergundung akan mengandalkan pertempuran selanjutnya dengan kecepatan geraknya. Goloknya yang besar itu semakin cepat berputar dengan meninggalkan cahaya kemerah-merahan di udara. Dalam pada itu, Nyi Gagak Bergundung pun masih bertempur dengan garangnya melawan Rara Wulan. Ternyata seperti Gagak Bergundung, istrinya itu pun tidak mengira bahwa ia akan berhadapan dengan seorang perempuan yang masih terhitung muda, namun berilmu sangat tinggi. Jika semula para pengikut Dandang Ireng melaporkan kepadanya tentang ilmu dua orang suami istri yang sangat tinggi, Nyi Gagak Bergundung masih sangat meragukannya. Namun di medan, ia benar-benar bertemu dengan perempuan sebagaimana dikatakan oleh pengikut Dandang Ireng itu. Seperti suaminya, maka dalam keadaan terdesak Nyi Gagak Bergundung pun telah menarik senjatanya. Sebilah pedang yang berwarna kehitam-hitaman dengan pamor yang berkeredipan. “Jarang dapat dijumpai pedang yang dibuat dengan pamor yang mendebarkan itu,” berkata Rara Wulan di dalam hatinya. Dengan demikian ia pun mengerti bahwa pedang itu bukanlah sembarang pedang. Agaknya Nyi Gagak Bergundung pun menyadari bahwa Rara Wulan memperhatikan pedangnya yang dibanggakannya. “Kau perhatikan pedangku, perempuan cantik?” bertanya Nyi Gagak Bergundung. “Ya,” jawab Rara Wulan, “pedangmu adalah pedang yang sangat bagus.” “Bukan sekedar bagus buatannya. Tetapi pedangku adalah pedang yang bertuah. Tidak seorangpun yang dapat lolos dari ujung pedangku jika aku sudah terlanjur menariknya dari wrangkanya.” “O, ya?” “Pedangku adalah senjata pemberian guruku. Aku adalah murid perempuan terbaik di perguruanku, sehingga guruku telah mewariskan pedang ini kepadaku. Pedang yang dinamainya Kiai Samekta, yang kemudian lebih dikenal dengan sebutan Kiai Tigas Prahara.” “Nama yang membuat kulitku meremang.” “Tidak hanya meremang. Tetapi kulitmu akan terkoyak-koyak sebelum tubuhmu akan terkapar di jurang itu.” “Kita akan melihat, siapakah yang lebih beruntung di antara kita.” Nyi Gagak Bergundung tidak menyahut. Tetapi ia pun mulai memutar pedangnya. Desingnya seperti gaung sendaren merpati yang terbang berputar di langit. Rara Wulan bergeser surut, Ia pun segera melepaskan selendangnya dan memegang kedua ujungnya dengan kedua tangannya. “Apa yang akan kau lakukan dengan selendangmu?” Rara Wulan tidak menjawab. Namun tiba-tiba saja satu ujung selendangnya itu terjulur lurus mengarah ke dada Nyi Gagak bergundung. Perempuan itu terkejut. Dengan serta merta ia memiringkan tubuhnya untuk menghindari serangan itu. Tetapi Nyi Gagak Bergundung itu tidak sepenuhnya terlepas dari garis serangan selendang Rara Wulan. Ujung selendang Rara Wulan masih juga menyentuh bahu Nyi Gagak Bergundung. Akibatnya ternyata sangat menyakitkan hati perempuan bertubuh tinggi ramping dan berwajah bengis itu. Terdengar ia berdesah tertahan. Namun tubuhnya menjadi goyah. Selangkah ia bergeser surut, dan bahkan hampir saja Nyi Gagak Bergundung kehilangan keseimbangannya. “Anak iblis,“ geram Nyi Gagak Bergundung, “aku bunuh kau. Aku belah jantung di dadamu.” Rara Wulan tidak menjawab. Tetapi perempuan itu sudah bersiap sepenunya untuk menghadapi segala kemungkinan. Demikianlah, keduanya pun segera tenggelam dalam pertempuran yang sengit. Serangan Nyi Gagak Bergundung pun datang susul menyusul bagaikan ombak yang berguncang di lautan. Tetapi serangan Nyi Gagak Bergundung tidak meruntuhkan pertahanan Rara Wulan. Bahkan Nyi Gagak Bergundung merasa betapa sulitnya menembus pertahanan itu. Sekali-sekali ujung pedang Nyi Gagak Bergundung terjulur mengarah ke sasaran. Namun ternyata bahwa Rara Wulan selalu saja sempat bergeser menghindar. Bahkan ketika Nyi Gagak Bergundung yang telah berada di tataran yang lebih tinggi dari ilmunya, sehingga tubuhnya seakan-akan dapat melayang di udara dengan kecepatan yang sangat tinggi, Nyi Gagak Bergundung masih saja tidak mampu menyentuh tubuh Rara Wulan dengan ujung senjatanya. Rara Wulan pun mampu mengimbangi kecepatan gerak Nyi Gagak Berundung. Bahkan dalam benturan senjata yang terjadi, Nyi Gagak Bergundung justru merasakan betapa tenaga dalam lawannya menjadi semakin besar. Dalam pertempuran yang menjadi semakin sengit, serangan Rara Wulan-lah yang semakin sering menembus pertahanan Nyi Gagak Bergundung. Ujung selendangnya beberapa kali sempat menyentuh tubuh lawannya. Bahkan ketika ujung selendang Rara Wulan tepat mengenai dada Nyi Gagak Bergundung, maka Nyi Gagak Bergundung itu pun terdorong beberapa langkah surut, dan bahkan kemudian kehilangan keseimbangan. Nyi Gagak Bergundung itu pun jatuh terlentang. Untunglah bahwa segerumbul perdu sempat menahan tubuhnya, sehingga tidak terguling ke dalam jurang. Meskipun jurang itu tidak begitu dalam, namun tumbuh-tumbuhan berduri yang tumbuh di lereng jurang itu akan dapat menyakitinya. Agaknya Nyi Gagak Bergundung tidak dapat mengingkari kenyataan yang dihadapinya. Meskipun ia bersenjata pedang pemberian gurunya, namun pedang itu tidak mampu menyentuh kulit lawannya. Karena itu, maka Nyi Gagak Bergundung telah berniat untuk mengakhiri pertempuran itu dengan mempergunakan ilmui puncaknya. Karena itu, demikian Nyi Gagak Bergundung itu bangkit berdiri, maka ia pun justru menyarungkan pedangnya. Rara Wulan pun menyadari apa yang akan dilakukan oleh Nyi Gagak Bergundung. Karena itu, maka Rara Wulan pun segera mengikatkan selendangnya di lambungnya. Namun tiba-tiba terdengar isyarat yang menghentak daun telinga. Tiba-tiba saja Rara Wulan melihat Gagak Bergundung bagaikan kilat menyambar pergelangan tangan istrinya. Sesaat kemudian, kedua bayangan itu bagaikan terbang meninggalkan arena pertempuran. Rara Wulan sudah siap memburunya. Namun terdengar Glagah Putih mencegahnya, “Jangan, Rara.” “Aku akan dapat mengejarnya,” jawab Rara Wulan. “Ya. Tetapi kita memerlukan waktu yang lama. Keduanya memiliki ilmu meringankan tubuh yang baik. Pada saat kita dapat menyusul mereka, maka kita tentu sudah berada di tempat yang jauh sekali.” “Jadi menurut perhitungan Kakang, kita pasti akan dapat menyusul mereka?” “Menurut perhitunganku dapat, meskipun masih tergantung banyak hal yang mungkin kita hadapi.” Rara Wulan menarik nafas panjang. Yang dikatakan oleh Glagah Putih itu meyakinkan dirinya, bahwa ia pun sudah menguasai ilmu meringankan tubuh dengan baik. Setidak-tidaknya sama seperti Gagak Bergundung dan istrinya. “Tetapi Kakang, keduanya adalah orang yang sangat berbahaya. Mungkin pada suatu saat mereka akan kembali ke padepokan ini, justru pada saat kita sudah pergi.” “Ki Kumuda melihat apa yang terjadi. Ki Kumuda akan dapat melaporkannya kepada Ki Umbul Telu. Kemungkinan kembalinya Gagak Bergundung akan memacu para penghuni padepokan ini untuk semakin meningkatkan ilmu mereka, setidak-tidaknya para sesepuhnya.” “Kita akan berbicara dengan Ki Kumuda.” Glagah Putih dan Rara Wulan pun kemudian mendapatkan Ki Kumuda yang masih berdiri di tempatnya. Namun di wajahnya membayangkan hati yang kecewa. “Sayang, keduanya dapat melarikan diri,” desis Ki Kumuda. “Ya. Mereka memiliki ilmu meringankan tubuh yang sangat baik. Mereka dapat lari seperti angin,” sahut Glagah Putih. “Apakah mereka tidak akan kembali?” bertanya Ki Kumuda. “Aku kira tidak dalam waktu dekat. Agaknya ada kesempatan bagi para sesepuh di padepokan ini untuk mempersiapkan diri.” “Tetapi sulit untuk mengimbangi ilmu mereka.” “Mungkin sendiri-sendiri, para sesepuh padepokan ini memerlukan waktu yang lama untuk dapat menyusul kemampuan Gagak Bergundung. Tetapi bukankah para sesepuh di padepokan ini dapat bekerja sama untuk menghadapi mereka? Betapapun tinggi ilmu keduanya, namun mereka tidak akan dapat melawan para penghuni padepokan ini yang juga berilmu tinggi, dalam jumlah yang jauh lebih banyak.” Ki Kumuda mengangguk-angguk. Namun kemudian katanya, “Marilah. Kita memberikan laporan kepada kakang Umbul Telu.” Mereka bertiga pun kemudian berjalan beriring kembali ke bangunan utama padepokan yang berada di atas bukit itu. Laporan Ki Kumuda itu sempat membuat para sesepuh yang ikut mendengarnya menjadi berdebar-debar. Tetapi mereka tidak akan ingkar dari tanggung jawab mereka. Yang harus mereka lakukan adalah mempersiapkan diri sebaik-baiknya untuk menghadapi kemungkinan yang buruk itu, meskipun mereka pun yakin bahwa Gagak Bergundung tidak akan kembali dalam waktu dekat. Sementara itu, Gagak Bergundung suami istri yang menyadari bahwa mereka berdua tidak disusul oleh kedua lawan mereka, telah berhenti di pinggir jalan. Dalam waktu yang singkat, mereka sudah berada di tempat yang jauh dari Perguruan Awang-Awang. “Kedua orang suami istri itu berilmu sangat tinggi,” desis Gagak Berundung, “mereka mampu mengimbangi ilmu kita berdua.” “Tidak,” sahut Nyi Gagak Bergundung, “sebenarnya aku ingin membinasakan perempuan yang sombong itu dengan ilmu pamungkasku. Tetapi Kakang telah mengajakku meninggalkan arena.“ “Justru aku ingin mencegahnya, Nyi. Jika kau mempergunakan ilmu andalanmu, maka perempuan itu pun akan melakukan hal yang sama. Aku pun tidak berniat untuk mempergunakan ilmu andalanku.” “Kakang meragukan kemampuanku, dan bahkan kemampuan Kakang sendiri.” “Bukan begitu. Tetapi menurut dugaanku, keduanya tentu juga memiliki Ilmu yang mereka andalkan. Nah, bukan aku tidak meyakini ilmu kita, tetepi seberapa tinggi ilmu pamungkas mereka? Jika ilmu mereka lebih tinggi atau setidak-tidaknya mengimbangi ilmu kita, maka dalam keadaan yang lemah, kita sulit akan mempertahankan diri. Seandainya kedua orang suami istri itu mengalami kesulitan sebagaimana kita alami dalam benturan ilmu andalan yang seimbang, namun masih ada Kumuda di arena itu. Ia akan dapat berbuat lebih jauh lagi terhadap kita berdua, yang menjadi lemah karena benturan ilmu andalan itu.” “Tetapi aku yakin, bahwa ilmuku akan menghancurkan perempuan itu.” “Yang aku ragukan, jika ilmu lawan-lawan kita mampu mengimbangi ilmu kita. Agaknya keduanya memiliki landasan ilmu yang sangat kokoh.” Nyi Gagak Bergundung menarik nafas panjang. Tetapi kemudian sambil mengangguk ia pun berkata, “Ya. Mungkin Kakang benar. Tenaga dalam perempuan itu sangat tinggi. Ketika ujung selendangnya menyentuh dadaku, rasa-rasanya nafasku menjadi pepat dan tersumbat. Sementara itu ujung pedangku masih belum mampu menyentuh pakaiannya. Agaknya perempuan itu juga memiliki ilmu meringankan tubuh yang sangat tinggi.” “Ya. Agaknya kita belum dapat menjajagi kemampuan mereka yang sesungguhnya, meskipun kita sudah bertempur beberapa lama. Mereka mampu bergerak sangat cepat.” “Tetapi mereka tidak mengejar kita.” “Tentu ada perhitungan lain.” Keduanya pun kemudian terdiam. Sambil berjalan perlahan-lahan menyusuri tepi hutan, mereka masih merenungi kemampuan lawan-lawan mereka. Mereka pun tertegun ketika mereka melihat seekor kijang yang berlari kencang menerobos gerumbul-gerumbul perdu di bibir hutan. Namun kemudian menghilang di antara pepohonan. “Jika saja kita dapat bergerak selincah kijang,“ desis Nyi Gagak Bergundung. Namun kedua orang suami istri itu tidak pernah membayangkan bahwa lawan-lawan mereka yang masih terhitung muda itu pernah hidup sebagai sepasang kijang, pada saat mereka menjalani laku Tapa Ngidang. Dalam pada itu, Nyi Gagak Bergundung pun bertanya, “Sekarang apa yang akan kita lakukan?” “Kita kembali ke sarang kita lebih dahulu. Kita akan membuat pertimbangan-pertimbangan baru.” “Apakah kita akan kembali ke padepokan itu?“ “Kita mempunyai banyak waktu. Kita tidak tergesa-gesa. Mungkin kita akan kembali kelak.” Nyi Gagak Bergundung mengangguk-angguk. Keduanya pun kemudian mempercepat langkah mereka. Di padepokan, Glagah Putih dan Rara Wulan telah melibatkan diri dalam kesibukan sehari-hari. Bahkan Ki Umbul Telu yang berusaha menghubungi beberapa orang Demang telah mengajak Glagah Putih pula bersama para tetua di padepokan itu. Sementara Rara Wulan yang tinggal di padepokan, berusaha untuk memberikan kemungkinan-kemungkinan baru bagi para penghuninya. Dengan demikian, maka para penghuni padepokan itu telah mendapatkan pengalaman-pengalaman baru bagi ilmu mereka. Ternyata usaha Ki Umbul Telu tidak sia-sia. Beberapa orang Demang menyambut dengan baik kesediaan Ki Umbul Telu untuk bekerja sama menjaga keamanan lalu-lintas di beberapa kademangan, untuk menghidupkan kembali kegiatan perdagangan di kademangan-kademangan itu. Kegiatan perdagangan itu akan memberikan arti pula bagi Perguruan Awang-Awang, yang ingin memperluas pemasaran hasil bumi dan hasil kerajinan tangan para penghuni padepokan itu. “Kami akan membantu memberikan latihan-latihan kanuragan kepada anak-anak muda di beberapa kademangan,” berkata Ki Umbul Telu kepada Ki Demang di Karang Panjang. “Bagus, Ki Umbul Telu. Kami akan sangat berterima kasih.“ “Meskipun tidak dengan serta-merta, tetapi kita akan dapat merancang waktu, kapan kita bergerak melawan para perampok itu,” berkata Ki Umbul Telu. “Ya. Rencana yang akan kita susun bersama.” “Sementara itu, kami akan minta setiap kademangan mengirimkan beberapa anak muda terpilih ke perguruan kami.” Ki Demang Karang Panjang itu mengangguk-angguk. Katanya, “Aku akan berbicara dengan para Demang tetangga-tetangga kami. Jika mungkin, aku akan mengundang empat atau lima orang Demang. Akan lebih baik jika Ki Umbul Telu bersedia hadir pula.” “Tentu, Ki Demang,” sahut Ki Umbul Telu, “aku akan bersedia datang. Bukankah kita akan bekerja sama? Setelah kita mempunyai kekuatan yang memadai, maka kita akan berbicara dengan para pedagang yang selama ini hanya lewat dalam kelompok-kelompok yang cukup besar, dengan memacu kuda mereka tanpa berpaling di pasar-pasar kita yang mereka lewati.” “Ya. Kita harus berusaha merubah keadaan itu. Dengan memberikan bantuan menyelenggarakan keamanan lingkungan, agaknya mereka akan mengindahkan daerah ini. Daerah ini mempunyai banyak bahan perdagangan yang dapat memberikan keuntungan bagi segala pihak,” sahut Ki Demang. Sebenarnyalah di tiga hari berikutnya, telah diselenggarakan pertemuan oleh beberapa orang Demang untuk menanggapi gagasan Ki Umbul Telu. “Jika Ki Umbul Telu bersedia membantu memberikan latihan-latihan kepada anak-anak muda kami, maka kami akan bersedia ikut dalam rencana ini,” berkata seorang Demang. “Tentu,” sahut Ki Umbul Telu, “kami bersedia menerima anak-anak muda dari setiap kademangan, asal mereka bersedia menjalani satu kehidupan yang sederhana di padepokan kami.” “Kami tentu akan membantu beban padepokan Ki Umbul Telu,” sahut seorang Demang. Demikianlah, maka para Demang dan Ki Umbul Telu itu sepakat untuk saling membantu. Para Demang akan mengirimkan sekitar sepuluh sampai dua puluh lima orang anak muda untuk berlatih di padepokan Ki Umbul Telu selama dua atau tiga bulan. Kemudian bergantian dengan anak-anak muda yang lain, sementara yang sudah berlatih di padepokan Ki Umbul Telu akan memberikan latihan kepada kawan-kawan mereka di kademangan. Para Demang itu merencanakan, dalam waktu setengah tahun, maka mereka sudah siap berhubungan dengan para pedagang. “Kita tidak perlu tergesa-gesa,” berkata Ki Demang Karang Panjang, “tetapi dengan langkah yang pasti kita menyongsong hari esok. Syukur jika rencana waktu itu dapat diperpendek.” “Kita akan berbuat dengan bersungguh-sungguh dan dengan sebaik-baiknya,“ sahut Ki Umbul Telu. “Sedangkan para pedagang itu sendiri sudah mempunyai kelompok-kelompok tertentu. Mereka tentu juga sudah memiliki landasan kekuatan. Dengan bekerja bersama, kita berharap bahwa daerah ini akan dapat kita amankan, sehingga arus perdagangan tidak hanya sekedar lewat tanpa meninggalkan bekas apa-apa di lingkungan kita.” Dengan demikian, maka Ki Umbul Telu dan para Demang itu sudah membuat pijakan bersama untuk mengembalikan kesibukan perdagangan di daerah mereka masing-masing. Kerja sama di antara beberapa kademangan dan Perguruan Awang-Awang diharapkan akan dapat memecahkan masalah, meskipun tidak dengan serta-merta. Tetapi pijakan itu telah memberikan pengharapan bagi kesejahteraan hidup rakyat di beberapa kademangan serta di Perguruan Awang-Awang. Dengan demikian, maka keberadaan Perguruan Awang-Awang itu akan dapat memberikan arti yang sebenarnya bagi lingkungan di sekitarnya. Bukan sekedar satu kehidupan yang terpisah yang berada di sebuah perbukitan terpencil. Sehingga dengan demikian maka ilmu mereka pun dapat diamalkan dalam pengertian yang wajar. Sementara itu, selama Glagah Putih dan Rara Wulan berada di Perguruan Awang-Awang, maka mereka telah menemukan sebuah celah-celah di sebuah goa, yang agaknya tidak pernah disentuh bahkan oleh para penghuni padepokan itu. Dengan demikian, maka Rara Wulan pun telah menyembunyikan peti kayunya yang manis berukiran lembut di celah-celah itu. “Bukankah celah-celah itu tidak basah?” bertanya Rara Wulan kepada Glagah Putih. “Tidak. Tetapi bagaimanapun juga, celah-celah itu tetap saja lembab.” “Aku akan membungkusnya dengan kain panjang.” “Kain panjang? Kau tidak sayang, bahwa selembar kain panjangmu akan kau susupkan di celah-celah itu?” “Untuk melindungi peti kecil itu. Kasihan peti itu jika akan segera menjadi lapuk.” Glagah Putih tidak menyahut. Sebenarnyalah bahwa Rara Wulan telah membungkus peti kecil itu dengan sehelai kain, dan menyimpannya di celah-celah di dalam goa itu dan menyamarkannya dengan bongkah-bongkah batu padas. Ketika rencana Ki Umbul Telu mulai berjalan, maka bangunan utama padepokan itu menjadi bertambah ramai. Bahkan ada beberapa orang anak muda yang tinggal di rumah beberapa orang keluarga yang dapat menampungnya. Mereka adalah anak-anak dari beberapa kademangan di sekitar padepokan itu. Latihan-latihan segera dimulai pula. Anak-anak muda itu harus menjalani kehidupan yang penuh keterikatan pada tatanan, untuk menempa mereka menjadi orang-orang mampu mengendalikan diri. Sejak hari-hari pertama, mereka harus sudah bekerja keras, siang dan malam. Waktu-waktu beristirahat mereka terasa menjadi sangat sempit. Pada mulanya, anak-anak muda yang datang dari beberapa kademangan itu merasa sangat letih. Tetapi setelah mereka berada di padepokan itu sepekan, maka mereka mulai dapat menyesuaikan dirinya. Para murid dari Perguruan Awang-Awang yang memberikan latihan kepada mereka pun berpijak pada tatanan perguruan, sehingga terasa sangat keras bagi anak-anak muda itu. Tetapi karena mereka merasa mendapat beban dari para Demang mereka masing-masing, maka mereka pun berusaha untuk dapat berbuat sebaik-baiknya. Waktu yang hanya dua atau tiga bulan itu memang terlalu pendek untuk berlatih olah kanuragan. Tetapi dengan tempaan yang keras, maka agaknya hasilnya kelak akan memadai. Mereka tidak hanya menghadapi kesatuan prajurit atau murid-murid dari perguruan yang sudah berilmu tinggi. Tetapi mereka akan menghadapi para perampok, yang sebagian besar tidak mendasari ilmunya dari perguruan yang manapun. Mereka hanya berlandaskan keberanian, kebengisan, dan kadang-kadang diwarnai dengan dendam atas peristiwa-peristiwa yang telah menimpa diri mereka dan keluarganya. Sebagian dari mereka melakukan pekerjaan yang keliru itu karena tekanan kehidupan yang terasa sangat menekan keluarganya, sehingga akhirnya mereka mencari jalan yang paling mudah, meskipun dengan kemungkinan yang terburuk dalam hidupnya Ketika segala sesuatunya sudah berjalan lancar, maka Glagah Putih dan Rara Wulan pun telah mempersiapkan dirinya untuk meninggalkan padepokan itu, untuk melanjutkan perjalanan mereka. Namun sebelum keduanya minta diri, keduanya telah mendengar dari para tetua di padepokan itu, beberapa hal tentang dunia olah kanuragan yang mungkin akan dilewati oleh kedua orang suami istri itu. Dari beberapa orang yang dituakan di padepokan itu, Glagah Putih dan Rara Wulan mendengar beberapa nama dan orang-orang berilmu tinggi yang berkeliaran di dunia olah kanuragan. “Nampaknya selama pengembaraan, Angger berdua tidak menyelam sampai ke dasar. Angger belum banyak mengenal nama-nama orang berilmu tinggi, baik yang berlandaskan ilmu yang mapan dan berkiblat kepada Kang Murbeing Dumadi, tetapi juga mereka yang berkiblat kepada kuasa kegelapan.” “Ya,” sahut Glagah Putih, “selama ini kami hanya menapaki permukaan.” “Ternyata bahwa dunia olah kanuragan tidak ubahnya seperti lebarnya rimba raya. Pepohonan raksasa tumbuh dimana-mana. Sedangkan di sela-selanya, gerumbul-gerumbul rerungkutan liar dengan tumbuh-tumbuhan merambat dan berduri. Sulur-sulur liar serta dahan-dahan yang rapuh berpatahan silang-melintang. Di dalamnya hidup berbagai jenis binatang buas, binatang berbisa, serta serangga-serangga yang dapat membunuh dengan sengatnya.” Glagah Putih dan Rara Wulan pun menarik nafas panjang. Mereka sudah mempunyai cukup pengalaman dalam pengembaraan mereka. Tetapi ternyata bahwa banyak nama-nama yang masih belum mereka kenal. Beberapa tempat dan perguruan dari para penganut tuntunan yang berbeda, dan bahkan berlawanan. Glagah Putih dan Rara Wulan itu pun teringat kepada dua dunia yang dijumpainya di rumah tua yang semula mereka kenal dihuni oleh Ki Nawaskara. Dunia yang tenang tenteram dan damai. Tetapi di dunia itu pula mereka kemudian menjumpai kehidupan yang buas dan liar. Yang satu menghancurkan yang lain. Semuanya berbuat bagi kepentingan diri masing-masing. Tanpa pengendalian diri dan apalagi apa yang disebut pengorbanan bagi kepentingan sesama. “Tetapi bukan berarti bahwa seluruh permukaan bumi ini sudah menjadi tlatah kuasa kegelapan, Ngger,” berkata Ki Umbul Telu, “masih ada orang yang dapat dipercaya. Masih ada orang yang bersikap jujur. Karena itu, tidak sepatutnya jika Angger berdua kehilangan sama sekali kepercayaan kepada sesama.” “Ya. Ki Umbul Telu,” sahut Glagah Putih sambil mengangguk-angguk, “tetapi bukankah sulit sekali untuk memilahkan yang mana yang pantas dipercaya dan yang mana sebaliknya?” “Kau benar, Ngger. Mereka yang licik dan julig justru akan menampakkan diri sebagai seorang yang jujur dan baik hati. Tetapi dalam kesempatan yang mereka tunggu, maka mereka akan menerkam tengkuk dari belakang. Sementara itu, mereka yang sungguh-sungguh jujur dan berpijak pada kebenaran justru akan tersingkir, karena mereka akan selalu mengganggu langkah-langkah selingkuh di berbagai sisi kehidupan.” Glagah Putih dan Rara Wulan pun mengangguk-angguk. Sepanjang pengalaman mereka menjelajahi kehidupan yang beraneka, maka mereka membenarkan pesan-pesan Ki Umbul Telu itu. Ternyata Ki Umbul Telu bukan seorang yang hanya hidup di seputar dinding padepokannya saja. Tetapi agaknya Ki Umbul Telu dan para tetua dari Perguruan Awang-Awang juga memiliki wawasan kehidupan yang luas. Namun hampir di luar sadarnya ketika Glagah Putih itu pun bertanya, “Ki Umbul Telu. Ki Umbul Telu sudah menyebut banyak nama dari orang-orang yang bergerak di dunia olah kanuragan. Bahkan mereka yang berkiblat kepada kuasa terang maupun mereka yang berada di bawah kuasa kegelapan. Tetapi Ki Umbul Telu tidak menyebut seorang yang namanya justru mengumandang sampai ke Tanah Perdikan Menoreh.” “Siapa, Ngger?” Glagah Putih termangu-mangu sejenak. Namun kemudian ia pun berkata, “Apakah Ki Umbul Telu pernah mendengar nama sebuah perguruan besar yang kini sedang menyusun diri kembali?” “Perguruan apa, Ngger?” “Perguruan Kedung Jati, di bawah pimpinan seorang yang memiliki tongkat baja putih. Tongkat baja putih itu memang pertanda kepemimpinan dari Perguruan Kedung Jati. Bukankah di Perguruan Awang-Awang juga ada pertanda kepemimpinan, yang baru saja kembali ke perguruan ini setelah beberapa lama dibawa oleh murid-murid yang berkhianat itu?” Ki Umbul Telu menarik nafas panjang. Katanya, “Ya. Aku sudah mendengar, Ngger. Bahkan pada suatu saat, seolah-olah sepasang tongkat baja putih pertanda kepemimpinan Perguruan Kedung Jati itu sudah kembali ke perguruan. Tetapi ternyata tidak. Tongkat baja putih yang satu adalah palsu.” “Ya. Aku juga pernah mendengar.” “Bukankah tongkat baja putih yang sebuah berada di Tanah Perdikan Menoreh?“ Ki Lampita justru bertanya. “Ya. Demikian menurut pendengaranku. Satu dari sepasang tongkat baja putih itu berada di Tanah Perdikan Menoreh.” “Ngger,” berkata Ki Umbul Telu, “aku memang pernah mendengar kegiatan para murid Perguruan Kedung Jati, yang sudah terpecah dan bahkan tenggelam untuk beberapa lama sejak Jipang dikalahkan oleh Pajang. Namun sebenarnyalah aku ingin berterus-terang kepada Angger berdua. Aku tidak tahu apakah Angger terlibat dalam usaha menghimpun kembali para murid dari Perguruan Kedung Jati atau tidak.” “Kami tidak terkait dengan Perguruan Kedung Jati itu, Ki Umbul Telu. Aku berkata sebenarnya.” “Aku percaya, Ngger.“ Ki Umbul Telu itu terdiam sejenak. Lalu katanya, “Berapa waktu yang lalu, orang-orang dari Perguruan Kedung Jati itu memang pernah menghubungi perguruan kami. Mereka menyatakan keinginan mereka agar kami bergabung dengan Perguruan Kedung Jati yang sedang menghimpun kekuatan. Tetapi kami mengatakan bahwa tidak seorangpun di antara kami yang pernah menjadi murid Perguruan Kedung Jati.” “Apakah kata mereka, Ki Umbul Telu?” “Menurut mereka, meskipun seseorang belum pernah menjadi keluarga Perguruan Kedung Jati, namun mereka akan dapat masuk dalam keluarga besar Perguruan Kedung Jati. Baru kemudian akan disusun kaitan serta tatanan kekeluargaan dari Perguruan Kedung Jati itu. Mereka yang sekarang berniat membangunkan kembali perguruan itu mengangankan kebesaran dan kejayaan perguruan itu, sebagaimana pada masa Jipang masih tegak. Meskipun satu dari sepasang tongkat baja putih itu belum berada di tangan mereka, namun mereka yakin bahwa pada saatnya tongkat itu akan mereka kuasai. Sehingga sepasang tongkat pertanda kebesaran itu akan dapat dijadikan perlambang kebersaran Perguruan Kedung Jati sebagaimana sebelumnya.” “Bagaimana tanggapan Ki Umbul Telu?” “Aku belum dapat mengambil sikap. Aku belum dapat membayangkan apa yang akan terjadi kemudian. Apakah kami tidak hanya akan menjadi sekedar pengikut-pengikut yang kelak akan dienyahkan. Menurut pendengaran kami, yang sekarang berada di bawah pengaruh para pemimpin Perguruan Kedung Jati itu sudah cukup banyak. Tetapi dari bermacam-macam perguruan, gerombolan dan kelompok yang mempunyai latar belakang kehidupan yang berbeda-beda. Ada di antara mereka para murid sebuah perguruan yang benar-benar ingin mengembangkan ilmu untuk diamalkan. Tetapi ada di antara mereka yang muncul dari sarang-sarang gerombolan penjahat yang kotor, yang akan menumpang kegiatan mereka yang berniat menegakkan kembali panji-panji Perguruan Kedung Jati itu. Dengan demikian, mereka yang berniat membangun kembali perguruan itu bekerja sama dengan kepentingan yang berbeda dengan gerombolan-gerombolan penjahat itu.” “Apakah mereka akan menghubungi Ki Umbul Telu lagi?” “Agaknya demikian. Tetapi aku tidak tahu, kapan dan kebenaran dari keterangannya itu. Namun mereka sempat meninggalkan ancaman, bahwa siapapun yang berusaha menghalangi bangkitnya Perguruan Kedung Jati akan dibabat, dan bahkan akan digali sampai ke akarnya sehingga tidak akan mungkin bangkit kembali. Menurut mereka yang datang, sampai saat ini Perguruan Kedung Jati itu telah mampu menghimpun kekuatan yang tidak kalah besarnya dengan pasukan prajurit di Demak. Sebentar lagi, maka Perguruan Kedung Jati akan dapat menandingi kekuatan prajurit Mataram.” “Ki Umbul Telu percaya?” “Ngger. Aku percaya bahwa mereka mempunyai kekuatan yang besar. Tetapi tentu tidak akan dapat menandingi kekuatan prajurit Mataram. Meskipun demikian, dengan cara yang mereka tempuh, tampil dan kemudian menghilang, maka mereka pada suatu saat memang akan dapat merepotkan Mataram.” Glagah Putih mengangguk-angguk. Namun kemudian ia pun bertanya, “Siapakah menurut pendengaran Ki Umbul Telu, orang yang memimpin perguruan yang sedang berusaha bangkit itu?” “Pemimpin yang menguasai tongkat baja itu adalah Ki Saba Lintang. Tetapi ia mempunyai beberapa orang pendukung yang dapat diandalkan. Ki Saba Lintang bukanlah seorang yang berilmu sangat tinggi. Tetapi ada dua atau tiga orang yang ilmunya dapat diandalkan, sebagaimana Gagak Bergundung suami istri.” “Bagaimana dengan Gagak Bergundung?” Ki Umbul Telu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian ia pun bertanya, “Maksud Angger dalam hubungannya dengan Perguruan Kedung Jati?” “Ya.” “Aku tidak tahu, Ngger, apakah Gagak Bergundung itu akan menjadi salah seorang di antara para pendukung Perguruan Kedung Jati yang sedang menyusun diri itu. Tetapi jika benar ia akan berada di antara mereka yang berniat menyusun kembali Perguruan Kedung Jati, maka ia tidak akan memusuhi kami, karena Perguruan Kedung Jati pun berniat untuk menyeret kami ke dalam lingkungan mereka.” Glagah Putih menarik nafas panjang. Tetapi ia tidak memberikan tanggapan apa-apa lagi tentang Perguruan Kedung Jati itu. Ia tidak tahu, sikap apakah yang akan diambil oleh Ki Umbul Telu terhadap tawaran Perguruan Kedung Jati untuk bergabung ke dalamnya. Bahkan Glagah Putih pun kemudian telah mengalihkan pembicaraan. “Bagaimana pendapat Ki Kumuda dengan bualan Gagak Bergundung?” “Maksud Angger?” “Tentang goloknya yang besar itu. Apakah benar golok itu golok Kiai Pupus Kendali? Sebelumnya ia mengatakan bahwa golok itu adalah pusaka turun temurun. Namun sejak semula aku sudah menduga bahwa ia hanya sekedar membual.” “Gagak Bergundung memang menyebut golok itu bernama Kiai Naga Padma.” “Tetapi bukankah Kiai Naga Padma sudah dibuat beratus tahun yang lalu?” “Menurut bualannya, ayahnya-lah yang telah mengambil alih golok itu dari Kiai Pupus Kendali. Jika demikian, bukankah kakeknya tidak atau belum pernah mempergunakannya?” Ki Umbul Telu-lah yang menyahut, “Gagak Bergundung memang seorang pembual. Tetapi mungkin saja ayahnya telah mencuri golok itu semasa kakeknya masih hidup. Apakah Kiai Pupus Kendali itu terbunuh atau tidak, tidak ada beritanya sama sekali. Tetapi sudah lama sekali nama Kiai Pupus Kendali tidak pernah disebut lagi.” “Ki Umbul Telu,“ bertanya Glagah Putih kemudian, “apakah Ki Umbul Telu mengetahui, dimanakah letak padepokannya?” “Angger akan mencarinya?” “Kami adalah pengembara. Apakah salahnya jika kami berusaha melacak beberapa nama dari orang-orang yang memiliki kelebihan, namun yang sudah tidak pernah disebut lagi namanya?” Ki Umbul Telu menarik nafas panjang. Katanya, “Kami pun baru mendengar namanya saja. Kiai Pupus Kendali adalah seseorang yang berilmu tinggi, seangkatan dengan guruku. Bahkan mungkin umurnya lebih tua.” “Jika guru Ki Umbul Telu tidak dikhianati, bukankah ia masih ada sekarang ini?” Ki Umbul Telu menarik nafas panjang. Katanya, “Ya. Tetapi guru sudah tua. Kau lihat, bahwa kami pun sudah setua ini. Sudah pantas menjadi ayahmu.” “Kami akan mencoba melacak keberadaan Kiai Pupus Kendali itu, Ki Umbul Telu. Kami pun ingin membuktikan, apakah Gagak Bergundung tidak membual tentang golok Kiai Naga Padma itu, yang juga dikatakannya pusaka turun temurun.” “Tentu ada yang sisip pada bualannya itu, Ngger. Tetapi jika kau benar-benar ingin meyakinkan kebenaran tentang Kiai Pupus Kendali, aku hanya dapat memberi ancar-ancar. Kiai Pupus Kendali bukan seorang yang berilmu tinggi yang mendirikan sebuah perguruan. Tetapi Kiai Pupus Kendali adalah seorang pertapa, yang hanya diikuti oleh tiga atau empat orang murid utamanya. Itu pun hanya menurut pendengaran kami.” “Baiklah, Ki Umbul Telu. Agaknya kami benar-benar ingin melacaknya. Apakah aku dapat menemui atau tidak, biarlah kesempatan yang menentukan. Tetapi ancar-ancar Ki Umbul Telu sangat kami perlukan.” “Ngger. Segalanya hanyalah menurut pendengaran kami. Kami tidak berani memastikan kebenarannya.” “Kami mengerti, Ki Umbul Telu.” “Kiai Pupus Kendali berada di sebuah pertapaan yang terasing di kaki gunung Sumbing yang menghadap ke Gunung Sindara. Menurut kata orang, pertapaannya sudah berada di daerah yang sangat dingin. Dengan demikian, maka pertapaan itu tentu berada di tempat yang agak tinggi.“ “Terima kasih, Ki Umbul Telu. Dari bukit ini, kami akan menuju Gunung Sumbing.” “Kapan Angger akan berangkat?” “Kami sepakat akan melanjutkan pengembaraan kami esok pagi.” “Esok pagi? Begitu cepat?” “Bukankah kami sudah cukup lama di padepokan ini? Mudah-mudahan pada kesempatan lain kami akan dapat singgah di padepokan ini.” “Berhati-hatilah, Ngger. Kami tahu bahwa Angger berdua ternyata memiliki ilmu yang sangat tinggi, sehingga Angger berdua mampu mengalahkan Gagak Bergundung. Meskipun demikian, Angger akan memasuki belantara yang buas, liar dan penuh menyimpan bahaya. Yang kasat mata maupun yang tidak.” Glagah Putih dan Rara Wulan saling berpandangan sejenak. Keduanya sudah memiliki pengalaman yang cukup luas. Namun agaknya mereka belum menukik ke dalam rimba olah kanuragan yang buas dan liar itu. “Ki Umbul Telu,” berkata Glagah Putih kemudian, “kami mengucapkan terima kasih atas kepedulian Ki Umbul Telu terhadap pengembaraan kami. Kami akan berhati-hati di perjalanan. Pengenalan kami atas beberapa nama akan sangat membantu perjalanan kami. Ciri-ciri unsur gerak yang Ki Umbul Telu beritahukan kepada kami dari beberapa orang di antara mereka, memberikan gambaran kepada kami, dunia seperti apakah yang akan dapat kami lewati.” “Baiklah, Ngger. Jika pada suatu saat Angger merasa jemu menempuh perjalanan dalam pengembaraan Angger, datanglah kembali ke padepokan kami.” “Terima kasih, Ki Umbul Telu.” Ternyata keempat orang tetua dari Perguruan Awang-Awang itu telah memberikan bekal yang cukup banyak bagi Glagah Putih dan Rara Wulan. Mereka pun dapat membayangkan, bahwa mereka memang akan ngambah hutan yang dipenuhi duri bebandotan serta rawa-rawa lumpur yang kental, yang dihuni oleh buaya-buaya yang buas serta ular-ular air yang berbisa. Ketika kemudian malam turun, Glagah Putih dan Rara Wulan yang berada di bilik yang disediakan bagi mereka berdua, telah membuka-buka kembali kitab yang diberikan oleh Kiai Namaskara dengan cara yang aneh itu. Beberapa petunjuk mereka tekuni untuk menambah kematangan diri yang sudah mereka warisi. Meskipun mereka memasuki bilik mereka agak awal, namun hampir semalam suntuk mereka tidak tidur. Baru di dini hari keduanya sempat memejamkan mata beberapa saat. Ketika fajar menyingsing, keduanya telah siap untuk melanjutkan perjalanan mereka. Namun Ki Umbul Telu masih menahan mereka. Ki Umbul Telu mempersilahkan kaduanya untuk minum minuman hangat serta makan pagi lebih dahulu sebelum mereka melanjutkan perjalanan. “Kalian akan menempuh perjalanan yang berat di medan yang berat pula. Karena itu, sebaiknya kalian makan pagi lebih dahulu. Meskipun barangkali kalian akan melewati beberapa padukuhan yang cukup besar, tetapi pada umumnya pasar yang ada di padukuhan-padukuhan itu menjadi sepi, sehingga jarang ada kedai yang masih membuka usahanya.“ Glagah Putih dan Rara Wulan tidak dapat menolak. Baru setelah mereka makan pagi serta beristirahat sebentar, maka mereka pun minta diri. Tidak hanya keempat orang tetua dari Perguruan Awang-Awang itu saja yang melepas kepergian Glagah Putih dan Rara Wulan. Tetapi beberapa orang penghuni padukuhan serta para cantrik telah ikut melepas mereka pula di pintu gerbang. “Terima kasih,” berkata Glagah Putih dan Rara Wulan ketika mereka meninggalkan pintu gerbang. “Kami menunggu kalian datang kembali,” berkata Ki Umbul Telu. “Kami akan berusaha untuk kembali lagi,” sahut Glagah Putih. Demikianlah, keduanya pun meninggalkan padepokan di atas bukit itu. Beberapa lamanya mereka menuruni lereng yang rendah, sehingga akhirnya mereka pun sampai di sebuah dataran yang subur, yang mendapat air dari bukit kecil yang masih menyimpan kelompok-kelompok pepohonan raksasa, yang untuk melindunginya, pepohonan itu telah dikeramatkan, sehingga tidak seorangpun yang mengusiknya. Ketika matahari mulai naik, maka dedaunan yang basah nampak berkilat-kilat memantulkan cahayanya. Beberapa titik embun masih hinggap di dedaunan itu. Burung-burung liar yang hinggap di pepohonan terdengar bersiul gembira menyambut kehadiran hari yang baru. Panas matahari yang mulai menggatalkan kulit mengiringi perjalanan Glagah Putih dan Rara Wulan. Beberapa ratus langkah di hadapan mereka, nampak sebuah padukuhan yang memanjang, seakan-akan memotong jalan yang akan dilalui oleh Glagah Putih dan Rara Wulan. “Ketika Kakang dan Ki Umbul Telu berbicara tentang rencana untuk membangunkan keberanian anak-anak mudanya, apakah Kakang juga singgah di padukuhan itu?” “Kami hanya menemui para Demang, Rara. Kademangan yang membawahi padukuhan itu-lah yang mengaturnya. Tetapi padukuhan itu tentu sudah terlibat pula untuk mengirimkan dua atau tiga anak mudanya.” Rara Wulan mengangguk-angguk. Katanya, “Dengan demikian, jika kita nanti berjalan melalui jalan itu, Kakang tentu belum dikenal oleh para penghuninya.” “Tentu belum.” Rara Wulan mengangguk-angguk. Katanya, “Ada juga baiknya, karena perjalanan kita tidak akan terganggu.” Glagah Putih tersenyum. Katanya, “Jika mereka belum mengenal kita, bukan berarti bahwa tidak akan ada yang menyapa kita.” “Jika seorang menyapa kita, maka kita cukup menjawab satu dua patah kata. Kita tidak akan memerlukan waktu yang cukup lama untuk menunggu sapaan mereka.” Glagah Putih mengangguk. Katanya, “Tetapi bukan berarti bahwa kita tidak mau diusik sama sekali.” “Ya,” Rara Wulan pun mengangguk. Ketika kemudian mereka berjalan di tengah-tengah bulak panjang, maka mereka sempat menebak-nebak jenis padi yang sedang tumbuh dengan suburnya. Nampaknya air yang mengalir di parit yang memanjang menyilang jalan bulak itu tidak pernah kering di segala musim. “Arah parit ini tentu mengalir dari bukit itu,” berkata Rara Wulan. “Ya, para pemimpin di padepokan itu mempunyai cara tersendiri untuk menyelamatkan hutan di pebukitan mereka,” sahut Glagah Putih. Demikianlah mereka berjalan di kesegaran udara pagi hari. Ketika mereka memasuki padukuhan yang memanjang dan terhitung besar di ujung bulak, maka padukuhan itu terasa sudah sibuk menapaki hari baru. Beberapa orang masih belum selesai menyapu halaman yang pada umumnya cukup luas. Seorang perempuan membawa kelenting di lambungnya untuk mengisi gentong yang diletakkannya di sebelah pintu regol halaman rumahnya, yang disediakannya bagi para pejalan kaki yang kehausan. Glagah Putih dan Rara Wulan berpapasan pula dengan beberapa orang anak yang menggiring kambing mereka ke padang rumput untuk digembalakan. Seorang yang sudah setengah baya memanggul bajaknya menuju ke pintu gerbang padukuhan, sementara anaknya yang sedikit lewat remaja menggiring dua ekor lembu di belakangnya. “Padukuhan ini nampak sibuk,” berkata Rara Wulan. “Ya. Agaknya penghuni padukuhan ini adalah orang-orang yang terbiasa bekerja keras.” Rara Wulan mengangguk. Katanya kemudian, “Kakang dengar suara orang menumbuk padi?” “Ya. Padukuhan ini benar-benar diramaikan dengan kerja keras oleh penghuninya.” Di sebelah simpang empat, keduanya terhenti sesaat. Seorang ibu muda sedang sibuk menyuapi anaknya yang menangis sambil meronta-ronta. “Anak itu belum lapar,” desis Glagah Putih. “Bukankah terbiasa seorang ibu menyuapi anaknya dengan paksa, agar anak itu menjadi kenyang dan segera tidur? Sementara itu ibunya dapat mengerjakan pekerjaan-pekerjaan yang lain. Mencuci pakaian atau masak di dapur.” Glagah Putih mengangguk-angguk. Tetapi ia pun berdesis, “Nasi dengan gula kelapa.” “Ya. Nasi dengan gula kelapa yang dilumatkan dengan sedikit air yang sudah masak.” Glagah Putih masih saja mengangguk-angguk. Sejenak kemudian, mereka telah berada di tengah-tengah padukuhan. Beberapa orang yang nampaknya juga hanya sekedar lewat di padukuhan itu, berjalan dengan cepat melintas. Ada yang berjalan searah, tetapi ada juga yang berlawanan arah. Seperti yang dikatakan oleh Glagah Putih, maka tidak seorangpun yang mengenalnya. Baik mereka yang tinggal di padukuhan itu maupun orang-orang yang lewat. Karena itu, maka Glagah Putih dan Rara Wulan sama sekali tidak terhambat. Beberapa saat kemudian, mereka pun telah meninggalkan padukuhan itu. Mereka memasuki lagi sebuah bulak yang panjang di sebuah ngarai yang datar dan luas. Mereka melewati jalan yang termasuk jalan yang lebar. Tetapi agaknya jalan itu tidak terlalu ramai. Yang melewati jalan itu hanyalah orang-orang padukuhan yang pergi ke sawah, atau orang orang-orang yang bepergian dari satu padukuhan ke padukuhan lain yang tidak terlalu jauh. “Jalan ini tentu kepanjangan jalan yang tidak aman itu,” berkata Rara Wulan. “Ya,” sahut Glagah Putih, “tetapi jika beberapa kademangan bersama-sama Perguruan Awang-Awang itu sudah benar-benar bangkit, maka jalan ini akan menjadi ramai kembali. Para pedagang tidak merasa perlu untuk menunggu-nunggu yang satu dengan yang lain agar mereka dapat melintasi jalan ini dalam kelompok-kelompok yang besar. Bahkan para pedagang yang dapat mengupah satu atau dua orang pengawal. Jika jalan ini menjadi aman, maka pedagang-pedagang sedang dan pedagang kecil pun akan berani melintasi meski seorang diri.” Dalam pada itu, matahari pun menjadi semakin tinggi. Panasnya mulai terasa mengusik kulit mereka. Sementara itu nampak beberapa orang petani sedang sibuk bekerja di sawah. Tidak ada yang menghambat perjalanan Glagah Putih dan Rara Wulan. Ketika matahari mencapai puncak langit, mereka telah berada di sebuah padukuhan yang terhitung besar. Ada sebuah pasar di padukuhan itu. Tetapi pasar itu nampaknya sepi-sepi saja. Bukan karena hari sudah menjadi semakin siang, tetapi nampaknya sejak pagi pasar itu tidak terlalu banyak dikunjungi orang. Bahkan beberapa kedai di depan pasar itu pun tidak lagi dibuka, karena jarang orang yang datang untuk makan dan minum. Yang terbiasa datang ke pasar itu hanyalah orang-orang yang tinggal di padukuhan itu atau padukuhan sekitarnya saja, sehingga mereka tidak perlu singgah di kedai yang ada di depan pasar itu. Namun di pasar itu, ada juga yang menjual nasi. Nasi tumpang, berdekatan dengan penjual dawet cendol. Dibentangkannya sehelai tikar pandan yang tidak terlalu lebar, yang warnanya kekuning-kuningan serta sudah koyak di sudutnya. “Kita berhenti sebentar, Rara,” desis Glagah Putih. “Untuk apa?” “Ada dawet cendol dan nasi tumpang.” “Apa Kakang sudah lapar?” “Aku sudah mulai haus, meskipun belum lapar. Tetapi kita akan dapat berbincang-bincang dengan penjual nasi tumpang dan penjual dawet itu.“ Rara Wulan termangu-mangu sejenak. Namun kemudian ia pun mengangguk. “Kita dapat duduk di tikar itu.” “Siapa yang membentangkan tikar itu? Penjual nasi atau penjual dawet?” “Siapapun yang membentangkan. Kita akan membeli nasi dan dawet.” Keduanya pun kemudian berhenti di pasar itu. Mereka pun duduk di atas tikar yang dibentangkan di bawah sebatang pohon waru yang rimbun. Glagah Putih dan Rara Wulan pun kemudian memesan nasi tumpang dan dawet cendol yang segar. “Pasar ini nampak sepi sekali?“ bertanya Rara Wulan. “Tadi pagi pasar ini sedikit ramai,“ jawab penjual nasi tumpang. “Ketika matahari naik, pasar ini pun menjadi sepi.” “Apakah biasanya pasar ini juga sepi?” “Hari ini sebenarnya hari pasaran. Karena itu, tadi pagi pasar ini menjadi agak ramai. Meskipun demikian, pasar ini masih saja terlalu sepi dibandingkan dengan bulan-bulan sebelumnya.“ “Kenapa?“ “Lingkungan ini memang menjadi sepi. Para pedagang dari jauh tidak lagi mau singgah, karena pasar ini semakin terasa tidak aman.” “Sekarang masih juga tidak aman?” “Ya, sekarang.“ “Sejak beberapa waktu yang lalu,“ sahut penjual dawet. “Kenapa?” bertanya Glagah Putih. “Apakah kalian berdua bukan penghuni daerah ini?” “Kami hanya lewat saja, Ki Sanak.“ Penjual dawet itu mengangguk-angguk. Sementara itu, Glagah Putih mengacungkan mangkuknya yang telah kosong, “Lagi, Ki sanak. Aku haus sekali.“ Penjual dawet itu menerima mangkuk dari tangan Glagah Putih dan mengisinya lagi. “Nyai juga?” bertanya penjual dawet itu. “Tidak. Sudah cukup,“ jawab Rara Wulan. Glagah Putih menghirup dawet cendolnya. Kemudian ia pun bertanya pula, “Apakah sering ada orang-orang jahat yang datang kemari?” “Sasaran mereka adalah para pedagang yang lewat. Tetapi mereka biasanya lewat berkelompok, sehingga mereka mampu memberikan perlawanan. Kadang-kadang para pedagang itu berhasil menyelamatkan dagangan mereka. Tetapi kadang-kadang ada juga yang terpaksa harus ketinggalan, jika para penyamun itu menghadang mereka. Meskipun para pedagang itu sendiri mampu menghindar, tetapi sering terjadi beberapa bungkus dagangan mereka terjatuh atau tertinggal atau karena apapun, namun barang-barang itu akhirnya jatuh juga di tangan para perampok. Tetapi para perampok itu pun kadang-kadang harus mengorbankan satu dua orang kawan mereka yang terbunuh oleh para pedagang dan orang-orang upahan yang melindungi mereka.” “Apakah ada juga pedagang atau orang-orang upahannya yang menjadi korban?“ “Ya. Pernah juga terjadi. Tetapi biasanya kawan-kawannya berusaha membawa tubuh korban itu. Jika tubuh itu tertinggal, maka tubuh itu akan mengalami perlakuan yang buruk sekali, meskipun orang itu sudah mati.” Glagah Putih menarik nafas panjang. Sementara itu, penjual nasi tumpang itu pun berkata, “Kemarin ada sekelompok pedagang yang lewat. Pertempuran terjadi dengan para penyamun. Tetapi para pedagang itu berhasil lolos.” “Pertempuran itu terjadi di pasar ini?” “Tidak,“ sahut penjual dawet, “pertempuran itu terjadi di bulak sebelah. Bahkan seorang perampok terbunuh. Beberapa yang lain terluka. Karena itu, maka perampok itu menjadi sangat mendendam.” Namun permbicaraan mereka pun terputus. Mereka melihat beberapa orang yang berwajah garang datang dan berkerumun di depan pintu gerbang pasar. “Siapa mereka?” “Jangan memperhatikan mereka. Jika kalian berbuat wajar-wajar saja, mereka tidak akan menghiraukannya,” desis penjual dawet itu. Glagah Putih dan Rara Wulan pun kemudian beringsut. Mereka berpura-pura tidak menghiraukan lagi, beberapa orang yang berkumpul di depan pintu gerbang itu. “Siapa mereka itu?” Glagah Putih bertanya sekali lagi. Penjual dawet itu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian ia pun berkata, “Aku tidak mengenal mereka dengan pasti, tetapi mereka tentu sebagian dari para perampok itu.” Glagah Putih mengangguk-angguk. Menilik sikap, pakaian serta wajah-wajah mereka, maka mereka adalah orang-orang yang garang, menakutkan dan bengis. “Apa yang mereka bawa dalam karung itu?“ bertanya Glagah Putih pula. Penjual dawet itu menggeleng sambil menjawab, “Aku tidak tahu. Biasanya mereka merampas karung-karung seperti itu dari para pedagang yang lewat.” Glagah Putih dan Rara Wulan terdiam. Di tangan mereka masih terdapat sepincuk nasi tumpang yang masih belum mereka habiskan. Kehadiran orang-orang itu telah membuat Glagah Putih dan Rara Wulan lambat menyuapi mulut mereka. “Jika sempat, menyingkir sajalah,“ tiba-tiba saja penjual dawet itu berdesis. “Kenapa?“ “Kau orang asing di sini. Jika terjadi sesuatu, kau dapat menjadi korban.” “Bagaimana dengan Ki Sanak dan bibi penjual nasi itu?” “Setiap hari kami berada di sini. Tidak ada masalah bagi kami.” “Jika aku pergi, mereka tentu akan menjadi curiga.” “Jangan lewat pintu gerbang itu, tetapi lewat pintu butulan, di sebelah gubug bekas tempat pande besi itu menempa.” “Bekas? Jadi mereka tidak bekerja di gubug-gubug itu sekarang?” “Tidak. Para perampok itu melarang mereka membuat alat-alat pertanian, yang katanya akan dapat dipergunakan sebagai senjata.” “Tetapi sebaiknya duduk sajalah di situ,” berkata penjual nasi tumpang. “Jika kalian pergi, memang akan dapat menarik perhatian mereka. Tidak terlalu banyak orang di sini, sehingga satu atau dua orang di antara mereka akan melihat jika kedua orang ini bangkit dan pergi meninggalkan tempat ini.” Penjual dawet itu termangu-mangu sejenak. Ia sempat berpaling sekilas memandang sekelompok orang yang berkerumun di pintu gerbang itu. Katanya, “Ya. Sebaiknya kalian di sini saja.“ Glagah Putih dan Rara Wulan pun kemudian memutuskan untuk duduk saja di tikar, sambil makan nasi tumpang serta menghirup dawet cendol yang segar. Sementara itu, beberapa orang masih saja berkerumun di depan pintu gerbang pasar. Mereka meletakkan tiga buah karung yang penuh terisi di sebelah pintu gerbang pasar itu. Glagah Putih dan Rara Wulan memang tidak ingin meninggalkan pasar itu. Mereka ingin melihat, apa yang akan dilakukan oleh sekelompok orang yang berkerumun di depan pintu pasar itu. Beberapa orang yang masih berkerumun di pasar itu pun telah meninggalkan pasar. Satu dua orang yang berjualan justru berpura-pura tidak melihat apa-apa, sebagaimana penjual nasi tumpang dan penjual dawet itu. Mereka melakukan pekerjaan mereka dengan wajar-wajar saja tanpa memperhatikan orang-orang yang berkumpul di depan pintu pasar itu. Namun beberapa saat kemudian, orang-orang yang masih ada di pasar itu menjadi berdebar-debar mendengar derap kaki kuda yang semakin lama semakin dekat. “Agaknya mereka sudah mencium berita bahwa akan ada sekelompok pedagang lewat,” desis penjual dawet itu. “Mereka akan mencegatnya?“ bertanya Rara Wulan. “Mungkin. Tetapi biasanya mereka tidak melakukannya di sini, tetapi di bulak sebelah.” Glagah Putih mengangguk-angguk. Ia melihat kedua orang penjual nasi dan dawet itu menjadi tegang. Tetapi sebenarnyalah Glagah Putih sendiri dan Rara Wulan juga menjadi berdebar-debar. Ketika suara derap kaki kuda itu menjadi semakin dekat, maka seorang di antara orang-orang yang berkumpul di pintu gerbang pasar itu melangkah ke tengah jalan sambil bersuit nyaring. Sejenak kemudian, sekelompok orang berkuda telah berhenti pula di depan pasar. Seorang di antara mereka bergeser ke depan sambil mengangkat tangan kanannya. “Delapan hasta dari utara,” berkata orang itu. Orang yang berdiri di tengah jalan itu pun menyaut, “Tujuh langkah dari selatan.” Orang yang duduk di punggung kuda itu bergerak beberapa langkah lagi mendekati orang yang berdiri di tengah jalan. “Lihat, apa yang kau bawa?” “Tujukkan dahulu mutiaramu itu,“ jawab orang yang berdiri di tengah jalan. Orang yang berkuda itu memberikan isyarat kepada seorang kawannya, yang bergeser mendekatinya sambil membawa sebuah peti kayu yang tidak begitu besar. Ketika peti itu dibuka, maka dua orang yang sejak semula nampaknya memang sedang menunggu di depan pasar itu mendekat. “Lihatlah,“ berkata orang yang berdiri di tengah jalan, “kau yang tahu benar tentang candu.” Kedua orang kawannya pun mendekat. Seorang di antara mereka menerima peti itu dan memperhatikan isinya dengan seksama. Namun Glagah Putih dan Rara Wulan menjadi terkejut karenanya. Agaknya di pasar itu telah terjadi jual beli barang terlarang. Candu. Ternyata ada pula sekelompok orang berkuda yang lewat di jalan yang tidak aman itu, sekelompok orang yang tidak kalah jahatnya dengan para perampok dan penyamun yang sering mengganggu perjalanan para pedagang. Orang-orang berkuda yang nampaknya juga sekelompok pedagang yang lewat, ternyata adalah sekelompok orang yang berdagang barang-barang terlarang. Kedua orang yang menilai candu yang ada di dalam peti itu mengangguk-angguk. Seorang di antaranya berkata, “Ya. Barangnya sesuai dengan pembicaraan.” “Nah,” berkata orang berkuda, “sekarang bawa kemari barang-barangmu.” Orang yang berdiri di tengah jalan dan menghentikan sekelompok orang berkuda itu memberi isyarat kepada orang-orangnya untuk membawa tiga buah karung itu mendekat. Orang berkuda itu pun kemudian meloncat turun. Dua orang kawanyannya pun meloncat turun pula. Meskipun mereka sedang melakukan pertukaran barang dengan orang-orang yang menunggu di depan pasar itu, namun agaknya kedua belah pihak nampak tetap bersiaga. Kedua belah pihak agaknya tidak dapat saling mempercayai begitu saja. Setelah melihat-lihat isi karung itu, maka orang berkuda itu pun bertanya, “Kalian dapat dari mana barang-barang ini?” “Kami adalah sekelompok perampok dan penyamun. Kami dapatkan barang-barang itu dengan cara kami.” “Baiklah. Kami akan membawanya. Tetapi kami tidak akan segera dapat menguangkannya. Kami harus meneliti bahwa barang-barang ini tidak akan menjebak kami.” “Terserah saja kepadamu. Persoalan di antara kita sudah selesai. Jika pada kesempatan lain kalian lewat dengan membawa barang-barang berharga atau sejenis mutiara itu, mungkin kami-lah yang akan merampokmu.” “Tetapi mungkin pula kami-lah yang akan membinasakan kalian.” “Persetan dengan kesombonganmu.“ Orang berkuda itu tidak menjawab. Diperintahkannya orang-orangnya untuk membawa karung-karung itu di punggung kuda. “Jika kami memerlukannya lagi, dengan siapa kami harus berhubungan?” “Kau akan menghubungi kami?” “Ya.” “Bagaimana dengan perantara itu?” “Aku sudah membunuhnya. Ia telah mengkhianati kami. Untunglah kami segera mengetahui. Jika kami terlambat, maka pertukaran hari ini tentu tidak akan terjadi.” “Aku tidak berkeberatan. Kau sudah tahu, kemana perantaramu itu harus pergi. Tetapi kami-lah yang akan menentukan kapan kami membutuhkannya.” “Baiklah. Hampir setiap pasaran kami berada di pasar Seca. Setelah kami melewati jalan-jalan yang berbahaya, maka kami akan menyatukan diri dengan orang-orang lain.” “Apakah sekelompok pedagang yang sering lewat di jalan ini juga kelompok yang sekarang berada di sini?” “Ternyata kau sangat dungu. Tentu bukan. Yang datang bersamaku sekarang adalah mereka yang bersedia bekerja sama bersamaku, khususnya dalam perdagangan mutiara itu. Tidak seorangpun dari kawan-kawan pedagang yang mengetahui, bahwa aku berdagang candu. Tidak seorangpun dari mereka yang pantas dipercaya.“ Namun orang itu pun kemudian memandang berkeliling dan berkata, “Bagaimana dengan seisi pasar ini?” Tetapi orang yang agaknya pemimpin dari mereka yang berkumpul di depan pasar itu pun tertawa. Katanya, “Tidak seorangpun yang akan berani mengkhianati kami di pasar ini. Jika itu terjadi, maka kami akan membuat pasar ini menjadi debu dan membaurkannya ke sungai yang sedang banjir. Kami berkuasa di sini untuk berbuat apa saja sekehendak kami.“ Orang yang membawa candu itu mengangguk-angguk. Namun sejenak orang itu pun berkata, “Baiklah. Kami akan pergi. Jika kalian dapat dipercaya, maka hubungan di antara kita ini dapat berlanjut.“ “Aku pun akan menilai apakah kau tidak berkhianat.“ Orang yang membawa candu itu tidak menjawab. Namun sejenak kemudian, orang-orang berkuda itu pun telah meninggalkan pasar yang sepi itu, justru menuju ke arah dari mana mereka datang. Glagah Putih dan Rara Wulan termangu-mangu sejenak. Namun Gagah Putih pun kemudian segera membayar harga nasi tumpang dan dawet cendol itu. “Mereka telah pergi. Bukankah aku pun dapat pergi?” desis Glagah Putih. “Tetapi mereka masih berada di situ.” “Baiklah. Kami akan menunggu di sebelah regol pasar. Bukankah di dekat regol itu ada orang berjualan mentimun? Agaknya masih ada beberapa buah ketimun yang belum laku.“ “Hati-hatilah,” desis penjual nasi tumpang itu. Glagah Putih dan Rara Wulan tersenyum. Namun mereka pun kemudian bangkit dan berjalan menuju ke regol. “Kita tidak dapat berbuat apa-apa di sini,” desis Glagah Putih. “Kita dapat merampas candu itu dan memusnahkannya.” “Tetapi akibatnya akan buruk sekali bagi orang-orang sepasar. Bahkan untuk selanjutnya pasar ini akan mati. Tidak seorangpun yang akan berani lagi pergi ke pasar ini.“ “Lalu, apa yang harus kita lakukan?“ “Jika mereka pergi, kita akan mengikuti mereka. Kita memang tidak dapat membiarkan candu itu jatuh ke tangan orang banyak.“ Rara Wulan agaknya dapat mengerti. Jika mereka harus berbuat sesuatu, maka mereka tidak akan mengorbankan orang-orang yang berada di pasar itu. Demikianlah, sejenak kemudian ketika orang-orang yang semula berkumpul di depan pasar itu pergi, maka Glagah Putih dan Rara Wulan itu pun keluar pula dari pasar itu. Mereka akan mengikuti sekelompok orang yang membawa candu itu, tetapi tanpa ada kesan bahwa keduanya keluar dari dalam pasar. Karena itu, maka untuk beberapa saat Glagah Putih dan Rara Wulan hanya memperhatikan arah perjalanan mereka. Ketika di kejauhan mereka berbelok ke kiri, maka Glagah Putih dan Rara Wulan pun baru melangkah meninggalkan pasar itu. Namun dengan cepat keduanya melangkah menyusul perjalanan sekelompok orang yang membawa candu itu. Di jalan simpang, mereka masih melihat sekelompok orang itu berbelok ke kanan. “Sekarang kita akan menyusul mereka.” Glagah Putih dan Rara Wulan pun kemudian berjalan cepat melintasi jalan yang dilalui oleh sekelompok orang yang membawa candu itu. Mereka pun kemudian berbelok ke kanan. Memasuki sebuah bulak panjang itu, mereka telah berhasil menyusul sekelompok orang yang membawa peti candu itu. “Sekitar sepuluh orang,” berkata Glagah Putih. “Ya. Kita tidak tahu tataran kemampuan mereka. Apakah kita harus berusaha menghentikan perlawanan mereka secepatnya?” “Ya,“ jawab Glagah Putih, “kita tidak ingin terjebak dalam putaran kekuatan yang tidak terlawan.“ Rara Wulan mengangguk-angguk. Sejenak kemudian, maka Glagah Putih dan Rara Wulan itu pun sudah mulai mengambil sikap. Rara Wulan telah menyingsingkan kain panjangnya, sehingga yang dikenakan kemudian adalah pakaian khususnya. Namun Glagah Putih masih berdesis, “Jangan sebut candu, Rara.” “Kenapa?” “Mereka akan dapat menganggap orang-orang yang berada di pasar itu-lah yang berkhianat, dengan membuka rahasia candu itu kepada kita.“ “Baiklah, Kakang. Kakang sajalah yang berbicara dengan mereka.” Glagah Putih menganguk. Namun sebelum keduanya menghentikan orang-orang yang membawa peti berisi candu itu, pemimpin mereka telah memerintahkan mereka untuk berhenti. “Agaknya dua orang itu sengaja mengikuti kita,” berkata pemimpin sekelompok orang itu. Glagah Putih dan Rara Wulan pun menyadarinya. Karena itu, maka Glagah Putih pun berhenti pula beberapa langkah dari mereka. “Apakah kalian berdua sengaja mengikuti kami?“ bertanya pemimpin kelompok itu. “Ya,“ jawab Glagah Putih. “Siapa kalian, dan apakah maksud kalian?” “Kalian tentu gerombolan perampok yang dipimpin oleh Kasan Barong.” “Siapa? “Kasan Barong.” Orang-orang itu saling berpandangan sejenak. Namun kemudian pemimpinnya itu pun menjawab, “Aku tidak mengenal orang yang bernama Kasan Barong. Bahkan namanya pun aku belum pernah mendengarnya.” “Jadi siapakah yang memimpin kelompok ini?” “Aku. Namaku Jati Ngarang.” “Bohong,“ jawab Glagah Putih sambil tertawa. Suara tertawanya bagaikan mengguncang bulak panjang itu. Bahkan jantung Rara Wulan pun telah tergetar pula mendengar suara tertawa Glagah Putih itu. Di antara derai tertawanya Glagah Putih pun berkata, “Ternyata Kasan Barong adalah seorang pengecut. Kenapa kau mengelak, ketika kau sudah bertemu dengan aku sekarang ini?” “Kau siapa?” “Namaku Lemah Bengkah. Perempuan ini adalah istriku. Nah, sekarang kau tahu, dengan siapa kau berhadapan. Kau pun tentu tahu, persoalan apa yang ada di antara kita.” “Persoalan apa?” “Jangan ingkar,” geram Glagah Putih, “kau curi kitab yang berisi ilmu kanuragan, yang disebut Kitab Mega Mendung. Nah, aku datang mengemban perintah Guru untuk mengambil kitab itu.” Wajah pemimpin sekelompok orang, yang menyebut dirinya Jati Ngarang itu, memandang beberapa orang pengikutnya berganti-ganti. Hampir di luar sadarnya ia pun bertanya, “Siapa pernah mendengar nama Kasan Barong? Dan siapakah yang pernah mendengar sebuah kitab yang disebut Kitab Mega Mendung?” Para pengikutnya itu menggeleng. “Tentu fitnah,” geram orang yang disebut Jati Ngarang. “Seandainya benar bahwa aku adalah orang yang kau sebut Kasan Barong, yang mencuri kitab gurumu, bagaimana kau tahu bahwa orang itu adalah aku?” “Aku sudah mendapat ancar-ancar dari Guru. Orang yang namanya Kasan Barong adalah seorang yang bertubuh tinggi, tegap, bermata tajam seperti mata elang, cerdik dan licik.” “Bukankah ada beribu orang yang bertubuh tinggi, tegap dan bermata elang?” “Orang itu berkeliaran dan menjadi pemimpin sekelompok penyampun di daerah ini. Jelas. Tidak ada dua atau tiga, tetapi hanya ada satu orang saja. Kau. Meskipun namamu akan berganti seribu kali, tetapi bayangan di kepalaku adalah tepat terungkap pada wajah, ujud dan sifat-sifatmu.” “Persetan dengan igauanmu. Seandainya aku adalah Kasan Barong, apa yang akan kau lakukan?” “Aku akan mengambil kembali kitab itu.” “Seandainya aku berhasil mencurinya, aku tentu tidak akan mengembalikannya kepadamu atau memberikannya kepada siapapun. Kecuali jika ada orang yang membelinya dengan harga yang sangat mahal.” “Apakah aku harus memaksamu dengan caraku?“ Orang yang menyebut dirinya Jati Ngarang itu tertawa. Beberapa orang pengikutnya pun tertawa pula. Seorang yang berkumis lebat berkata di sela-sela derai tertawanya, “Kau hanya dua orang. Itupun seorang di antara kalian perempuan. Kami semuanya berjumlah sepuluh orang. Bagaimana mungkin kau akan memaksa kami untuk melakukan sesuatu? Apalagi yang harus kami lakukan itu tidak kami mengerti sama sekali.” “Meskipun kami hanya berdua, jika Guru tidak mempercayai kami, maka kami tidak akan mendapat perintah untuk mengambil kembali kitab itu. Beberapa pekan aku berkeliaran di daerah ini, sekarang aku menemukan orang yang aku cari. Aku tentu tidak akan melepaskan Kasan Barong yang licik itu.” “Persetan dengan celotehmu. Pergi, atau kami akan membunuhmu,” geram seorang yang tubuhnya agak gemuk. Lengannya yang besar itu hampir sebesar kentongan tunggak bambu petung. “Aku akan pergi dengan membawa Kitab Mega Mendung, sebagaimana diperintahkan oleh Guru.” Pemimpin sekelompok orang yang membawa candu itu pun kemudian berkata, “Selesaikan mereka berdua. Aku akan membawa peti itu pulang.” Namun tiba-tiba saja Glagah Putih hampir berteriak berkata, “Kitab itu tentu kalian simpan di dalam peti itu! Berikan peti itu kepadaku!” “Kau gila. Ini peti berisi perhiasan. Aku memang merampoknya dari beberapa orang pedagang yang lewat.” “Omong kosong. Jika peti itu berisi perhiasan, tunjukkan kepadaku. Aku tidak akan merampasnya.” “Kau tidak berhak melihat hasil rampokanku. Kau bukan keluarga kelompokku.” “Tetapi aku membawa wewenang guruku untuk mengambil kembali kitab itu.” “Apapun yang kau katakan, kau akan mati.” Orang yang tubuhnya agak gemuk itu pun melangkah maju, sedangkan orang yang berkumis lebat itu pun bergeser pula sambil berkata, “Aku akan menangkap perempuan ini saja. Keberadaannya di sarang kita akan memberikan banyak manfaat.” “Persetan kau,” geram orang yang agak gemuk, “aku akan membunuh laki-laki yang sombong ini.” Dalam pada itu, Jati Ngarang sendiri seakan-akan tidak menghiraukan lagi keberadaan Glagah Putih dan Rara Wulan. Bersama seorang yang membawa peti berisi candu itu, mereka meninggalkan tempat itu. Glagah Putih dan Rara Wulan pun segera mempersiapkan diri. Mereka tidak boleh terpancang terlalu lama dalam pertempuran melawan kedua orag itu, agar mereka segera dapat menyusul Jati Ngarang dan para pengikutnya yang membawa peti itu pergi. Karena itu maka Glagali Putih pun kemudian berkata lantang, “Bersiaplah untuk mati!” Namun kemudian ia pun berteriak, “Kasan Barong! Jangan tinggalkan mayat kawanmu itu di sini. Jika kau pergi, kau harus membawa mayat mereka dan meninggalkan peti yang berisi Kitab Mega Mendung itu!” Jati Ngarang menggeram. Tetapi ia hanya berpaling saja. Kemudian ia pun melanjutkan langkahnya. “Bagus,” geram Glagah Putih, “kalian berdua akan menjadi tumbal. Tetapi setelah membunuh kalian berdua, aku akan memburu Kasan Barong itu.” “Kau masih saja nekad menyembutnya Kasan Barong,” geram orang yang agak gemuk itu, “tetapi aku akan segera membungkam mulutmu.” Orang yang agak gemuk itu pun segera meloncat menyerang. Tetapi Glagah Putih sudah siap menghadapinya, sehingga serangan itu sama sekali tidak menyentuh sasaran. Namun orang itu tidak membiarkan Glagah Putih lepas dari serangannya. Meskipun tubuhnya agak gemuk, tetapi orang itu meloncat dengan cekatan. Ketika tubuhnya berputar, maka kakinya pun terayun mendatar mengarah ke kening. Glagah Putih bergeser selangkah surut. Serangan itu tidak mengenainya. Bahkan Glagah Putih-lah yang kemudian dengan cepat meloncat menyerang. Orang yang bertubuh gemuk itu terkejut. Tetapi ia pun mampu bergerak cepat menghindar. Namun serangan kedua Glagah Putih, tidak mampu dihindarinya. Kaki Glagah Putih terjulur lurus menggapai dadanya. Orang bertubuh gemuk itu terlempar beberapa langkah surut, kemudian jatuh tercebur ke dalam air yang mengalir di parit yang menjulur di pinggir jalan itu. Yang tertawa justru Rara Wulan. Katanya kepada orang berkumis lebat itu, “Lihat, kawanmu sempat mandi.” Orang berkumis lebat itu menggeram. Katanya, “Jangan meremehkan kawanku itu. Jika ia sudah melepaskan kemampuan puncaknya, maka suamimu akan lebur menjadi abu.” Rara Wulan tidak menjawab. Bahkan seolah-olah ia tidak mendengarnya. Bahkan ia pun bertanya, “Apakah kau juga akan mandi?” Rara Wulan tidak memberi kesempatan orang berkumis lebat itu menjawab. Tiba-tiba saja Rara Wulan pun meloncat menyerang. Tangannya-lah yang terjulur lurus mengenai dada orang berkumis lebat itu. Orang itu tidak mengira bahwa perempuan itu mampu bergerak demikian cepatnya. Karena itu, maka ia pun tidak sempat menghindari serangan Rara Wulan itu. Demikian kerasnya serangan Rara Wulan, maka orang itu pun bergetar surut. Bahkan ia tidak mampu mempertahankan keseimbangannya. Ternyata orang itu pun telah terdorong dan tercebur ke dalam parit itu pula. Dengan cepat orang itu pun bangkit dan meloncat ke tanggul. Tetapi seluruh pakaiannya sudah terlanjur basah, sebagaimana orang yang agak gemuk itu. Kejadian itu ternyata menarik perhatian beberapa orang kawannya yang masih belum terlalu jauh. Empat orang di antara mereka menghentikan langkahnya dan bahkan berbalik kembali. Jati Ngarang pun berpaling. Tetapi kemudian ia berjalan terus sambil berkata, “Jangan ragu-ragu. Selesaikan kedua orang itu dengan cepat.” “Baik, Lurahe,” jawab seorang di antara empat orang yang berbalik itu. Dalam pada itu, orang yang bertubuh gemuk itu pun mengumpat kasar. Dengan geram ia pun berkata, “Setan yang tidak tahu diri. Aku benar-benar akan membunuhmu.” “Lakukan saja kalau kau mampu. Kalau tidak, maka aku-lah yang akan membunuhmu.” Orang yang bertubuh gemuk yang pakaiannya menjadi basah kuyup itu pun segera meloncat menyerang. Tetapi Glagah Putih pun sudah benar-benar bersiap. Karena itu, maka serangan-serangannya menjadi sia-sia. Tangan dan kakinya tidak pernah dapat menyentuh tubuh Glagah Putih. Demikian pula orang yang berkumis itu. Serangan-serangannya pun tidak berarti sama sekali bagi Rara Wulan. Bahkan yang sangat menyakitkan hati, sekali lagi orang itu terlempar ke dalam parit, setelah tubuhnya membentur pohon turi yang menjadi pohon perindang di jalan bulak itu. Sambil bangkit berdiri orang berkumis lebat itu mengumpat. Sementara itu, keempat orang yang berbalik itu telah berdiri memperhatikan pertempuran itu. Mereka pun segera menyadari, bahwa orang yang menyebut dirinya bernama Lemah Bengkah dan menuntut diserahkan Kitab Mega Mendung itu adalah seorang yang berilmu tinggi. “Pantas gurunya mempercayainya untuk mencari kitab itu,” berkata seorang di antara keempat orang yang berbalik itu. “Tetapi apakah Ki Lurah benar-benar telah mencuri kitab itu dari gurunya?” “Tentu tidak. Yang dicarinya adalah orang yang bernama Kasan Barong. Tetapi orang itu agaknya sangat yakin, bahwa Lurahe itu-lah yang dicarinya.” “Mereka harus menebus kesalahpahaman ini dengan nyawa mereka,” geram seorang yang bertubuh raksasa, berambut panjang bergerai di bawah ikat kepalanya sampai ke bawah bahunya. Tetapi percakapan itu pun terhenti. Mereka melihat orang yang bertubuh agak gemuk itu terpelanting jatuh. Punggungnya telah menimpa tanggul parit yang berbatu-batu padas. “Edan!” teriak orang yang bertubuh gemuk itu, “Kau patahkan tulang punggungku.” Glagah Putih berdiri termangu-mangu. Dibiarkannya orang itu bangkit berdiri sambil menyeringai kesakitan. “Aku akan membunuhmu, keparat,” geram orang itu sambil menarik senjatanya. Sebuah golok yang panjang, berwarna kehitam-hitaman. Agaknya bukan golok kebanyakan. Glagah Putih termangu-mangu sejenak. Namun agaknya kawan-kawannya itu pun akan segera melibatkan diri pula. Karena itu, maka Glagah Putih pun kemudian telah mengurai ikat pinggangnya. Orang yang bertubuh agak gemuk itu mengerutkan dahinya. Ia mendengar beberapa orang kawannya yang berbalik itu tertawa. Seorang di antara mereka berkata, “Apakah perguruanmu begitu miskin, sehingga tidak mampu membekalimu dengan senjata apapun?” Glagah Putih bergeser surut. Dipandanginya orang yang mentertawakannya itu sambil berkata, “Inilah senjataku. Ini memang senjataku.” “Apa yang dapat kau lakukan dengan senjatamu itu?” “O. Kau ingin tahu?” Tiba-tiba saja Glagah Putih meloncat sambil mengayunkan senjatanya ke arah leher lawannya yang agak gemuk itu. Ia berharap lawannya itu menangkis serangannya dengan goloknya yang panjang. Sebenarnyalah bahwa lawannya yang agak gemuk itu telah menyilangkan goloknya untuk membentur serangan Glagah Putih. Orang itu berharap akan dapat menebas putus ikat pinggang lawannya itu. Namun ketika benturan itu terjadi, orang yang agak gemuk itu terkejut. Demikian pula orang-orang yang memperhatikan pertempuran itu. Mereka melihat golok yang panjang itu bergetar. Bahkan golok itu telah terlepas dari tangannya. Golok yang membentur ikat pinggang Glagah Putih itu seakan-akan telah terbentur dengan sebatang bindi baja sebesar lengan orang yang agak gemuk itu. Orang yang kehilangan goloknya itu meloncat surut. Tetapi ia tidak sempat memungut goloknya, karena tiba-tiba saja di luar perhitungannya, Glagah Putih dengan kecepatan yang sangat tinggi telah berdiri sambil menginjak goloknya itu dengan satu kakinya. “Iblis keparat,” geram orang yang bertubuh agak gemuk itu. Glagah Putih memandangi orang-orang yang berdiri di luar lingkaran pertempuran itu sambil berkata, “Nah, kau lihat sekarang. Apa yang dapat aku lakukan dengan ikat pinggangku ini.” Orang-orang itu pun menjadi tegang. Namun seorang di antara mereka pun berkata, “Kita akan menyelesaikan orang itu bersama-sama.” Namun ketika keempat orang itu mulai bergeser, orang berkumis lebat itu mengaduh tertahan. Selendang Rara Wulan yang menyambar pundak kanannya, membuat tangan kanannya seakan-akan menjadi lumpuh. Bahkan orang itu tidak sempat menarik senjatanya, sebilah pedang yang tergantung di lambung kirinya. Keempat orang yang mulai bergerak itu berpaling. Mereka melihat kawannya yang berkumis lebat itu menyeringai kesakitan sambil mengumpat, “Perempuan terkutuk. Iblis manakah yang telah memberikan selendang itu kepadamu?” “Kenapa dengan selendangku?” Orang berkumis lebat itu mengelus pundaknya yang tulangnya bagaikan retak. Dalam pada itu, keempat orang yang berbalik itu pun segera membagi diri. Dua di antara mereka akan membantu orang yang tubuhnya agak gemuk itu. Sedangkan dua orang yang lain akan bertempur bersama orang yang berkumis lebat. “Bagaimana dengan perempuan ini?” bertanya seorang di antara kedua orang yang akan membantu orang yang berkumis lebat itu. “Bukan perempuan kebanyakan. Tetapi ia adalah iblis betina. Selendangnya sangat berbahaya.” “Bagaimana dengan selendangnya?” bertanya yang lain. “Jangan sampai tersentuh. Selendang itu dapat meretakkan tulang.” “Omong kosong,“ geram kawannya, “aku akan memotong selendang itu dengan pedangku.” Orang itu pun kemudian telah menggenggam pedang yang tajamnya berkilat-kilat memantulkan cahaya matahari. “Pedangku ini dapat memotong segenggam kapuk randu yang ditiupkan ke tajamnya. Apalagi selendang itu. Aku akan memangkasnya menjadi potong-potongan kecil.” Rara Wulan sama sekali tidak menanggapinya. Tetapi ia pun segera mempersiapkan diri untuk melawan ketiga orang yang kemudian berdiri memencar. Namun seorang di antara mereka sebelah tangannya sudah tidak begitu bertenaga. Justru tangan kanannya. Sejenak kemudian Glagah Putih dan Rara Wulan telah terlibat dalam pertempuran melawan masing-masing tiga orang. Namun ternyata bahwa keenam orang itu pun segera mengalami kesulitan. Pedang yang dibanggakan, yang dapat memotong selembar kapuk yang dihembus ke tajamnya, tidak mampu mengoyakkan selendang Rara Wulan. Bahkan selendang itu jika terjulur seakan-akan telah berubah menjadi sebatang tongkat baja yang sangat berbahaya. Dengan demikian, maka ketiga orang lawan Rara Wulan itu pun segera terdesak. Ketika orang yang tangan kanannya serasa telah menjadi lumpuh itu mencoba meloncat menyerang dengan kakinya, maka selendang Rara Wulan telah menyambar lambungnya. Dengan derasnya orang berkumis lebat itu terlempar ke samping. Tubuhnya terbanting dengan kerasnya di tanah yang berbatu padas. Orang itu pun mengerang kesakitan. Ia tidak lagi dapat segera bangkit. Tulang-tulangnya bagaikan telah berpatahan. Kedua orang kawannya menjadi sangat marah. Sambil menggeram mereka pun segera menyerang dengan senjata masing-masing, yang berputaran seperti baling-baling. Sementara itu, ketiga orang lawan Glagah Putih telah mendesak lawan-lawannya pula. Meskipun orang yang agak gemuk itu sudah dapat memungut senjata kembali, tetapi ketiga orang itu sama sekali tidak mampu menembus pertahanan Glagah Putih. Bahkan senjata Glagah Putih-lah yang mulai menyentuh tubuh lawan-lawannya itu. Seorang lawannya berteriak kesakitan sambil mengumpat ketika ikat pinggang Glagah Putih mengenai lengannya. Lengan itu pun telah terkoyak, seakan-akan tergores sebilah pedang yang sangat tajam. Namun dengan demikian orang-orang yang bertempur melawan Glagah Putih dan Rara Wulan itu pun harus menyadari, bahwa kedua orang laki-laki dan perempuan yang mengaku mendapat perintah dari guru mereka itu benar-benar orang yang berilmu tinggi. Karena itu, maka seorang di antara mereka pun segera bersuit nyaring untuk memberi isyarat kepada kawan-kawannya yang mendahuluinya, agar mereka pun segera kembali untuk mengatasi kesulitan keenam orang itu. “Kalau bukan Lurahe Jati Ngarang sendiri, maka sulit untuk mengatasi dua orang ini,” desis seorang di antara mereka. Sementara itu, para pengikut Jati Ngarang itu sudah mengerahkan segenap kemampuan mereka. Namun mereka sama sekali tidak mampu untuk menguasai orang yang menyebut namanya Lemah Bengkah bersama istrinya itu. Jati Ngarang yang sudah berjalan semakin jauh, masih mendengar isyarat pengikutnya. Namun ia justru berkata, “Cepat. Kita harus segera pergi. Kedua orang itu tidak boleh menyusul kita.” “Tidak ada gunanya, Lurahe. Meskipun kita sudah menjadi semakin jauh, maka salah seorang dari kawan-kawan kita itu tentu akan dapat menunjukkan sarang kita, jika mereka tidak berhasil mengalahkan kedua orang yang sedang mencari Kitab Mega Mendung itu. Agaknya mereka sedang menemui kesulitan, sehingga mereka telah memberi isyarat.” “Mereka tidak akan berkhianat dengan menunjukkan sarang kita.” “Tetapi kedua orang suami istri itu tentu mempunyai seribu cara untuk memaksa agar kawan-kawan kami itu berbicara.” “Jadi menurut pendapatmu?” “Kita kembali kepada kawan-kawan kita itu. Kita membantu mereka. Kedua orang suami istri itu harus kita bunuh. Jika mereka belum mati, maka mereka tentu akan memburu Ki Lurah, karena mereka yakin bahwa Ki Lurah adalah orang yang mereka sebut Kasan Barong, yang telah mencuri Kitab Mega Mendung.” Pemimpin segerombolan penyamun itu termangu-mangu. Namun pada saat itu mereka membawa candu di dalam peti kayu kecil itu. Candu yang harganya mahal sekali, sehingga candu yang mereka bawa itu nilainya adalah beberapa ratus keping uang perak. Namun akhirnya Jati Ngarang itu pun berkata, “Baiklah. Kita kembali. Kita akan membantu keenam kawan-kawan kita yang mengalami kesulitan itu.” Dengan tergesa-gesa keempat orang itu pun melangkah kembali. Mereka tidak menyangka, bahwa dua orang laki-laki dan perempuan itu mampu mengalahkan enam orang di antara mereka. Sedangkan para perampok dan penyamun itu adalah orang-orang yang telah berpengalaman bermain dengan taruhan darah dan bahkan nyawa. Ketika mereka sampai di arena pertempuran, maka kawan-kawan mereka sudah hampir tidak berdaya. Dua orang yang bertempur melawan Rara Wulan hampir tidak mampu lagi berbuat apa-apa. Sedangkan yang seorang lagi telah pingsan, terbaring di tanggul parit. Sedangkan yang bertempur melawan Glagah Putih pun sudah menjadi tidak berdaya pula. Jati Ngarang menggeram marah. Kedua orang suami istri itu seakan-akan dengan sengaja mempermainkan para pengikutnya. “Selesaikan perempuan itu,” geram Jati Ngarang, “jika kau mampu menangkapnya hidup-hidup, lakukanlah. Jika kalian mengalami kesulitan, bunuh saja. Aku akan membunuh laki-laki ini.” “Baik, Ki Lurah.” Demikianlah, maka tiga orang telah bergeser mendekati Rara Wulan. Mereka meletakkan peti kecil berisi candu itu di atas tanggul parit, dekat sebatang pohon turi. Kepada orang yang bertubuh tinggi kekurus-kurusan, orang yang meletakkan peti itu berkata, “Kau sudah tidak mampu berkelahi lagi. Jaga peti itu. Taruhannya adalah nyawamu.” “Baik. Baik, Kakang,“ jawab orang itu sambil berjalan tertatih-tatih mendekati peti yang terletak di bawah pohon turi itu. Dalam pada itu, maka Rara Wulan pun harus bertempur lagi melawan tiga orang yang baru saja memasuki arena pertempuran. Mereka masih memiliki tenaga dan kemampuan mereka sepenuhnya. Selebihnya, seorang yang sudah mengalami kesakitan masih mampu bergabung dengan ketiga orang kawannya itu. “Menyerah sajalah,” berkata seorang yang hidungnya cacat. Agaknya bekas goresan senjata yang menyilang. Untunglah bahwa luka itu tidak menggores di matanya. “Kau lihat kawan-kawanmu?” sahut Rara Wulan, “Karena itu, kalian sajalah yang menyerah.” “Perempuan tidak tahu diri. Kami akan dapat menangkapmu dan mencincangmu menjadi sayatan-sayatan kecil. Tetapi kami pun dapat berbuat lain atasmu. Jika kau menyerah, maka keadaan akan menjadi lebih baik daripada masa-masa lalumu.” Rara Wulan tertawa. Tetapi ia tidak menjawab. Sementara itu selendangnya telah berputar. Terdengar putaran selendang itu bergaung seperti sendaren. “Gila perempuan ini,” desis salah seorang lawannya. Seorang yang lain pun menggeram, “Marilah. Kita selesaikan saja perempuan itu secepatnya. Kita akan berpacu dengan Ki Lurah yang akan membunuh laki-laki yang sombong itu.” Orang-orang yang sudah siap bertempur melawan Rara Wulan itu pun mulai bergeser. Yang akan mereka lakukan adalah menangkap perempuan itu. Tetapi jika sulit dilakukan dan bahkan tidak mungkin, maka mereka akan membunuh saja perempuan binal itu. Sementara itu, Jati Ngarang sudah berhadapan dengan Glagah Putih. Glagah Putih menyadari, bahwa pemimpin sekelompok penyamun itu tentu orang yang berilmu tinggi, dilandasi oleh keberanian dan pengalamannya yang luas. Dengan pedang di tangan, maka Jati Ngarang pun telah siap untuk menyerang. “Siapapun kau, maka kau tidak akan mampu melawan pedangku ini.” Glagah Putih sempat memandangi pedang lawannya. Pedangnya yang berwarna kehitam-hitaman itu menyiratkan pantulan cahaya matahari dari pamornya yang berkeredipan. “Hanya pedang-pedang pilihan yang dibuat dengan pamor seperti itu,” berkata Glagah Putih di dalam hati. Namun Glagah Putih pun percaya penuh bahwa senjatanya adalah senjata yang tidak ada duanya. Dengan landasan tenaga dalamnya yang sangat tinggi, maka senjata itu merupakan senjata yang sangat berbahaya. Karena itu, maka Glagah Putih harus berhati-hati menghadapinya. Meskipun demikian, Glagah Putih sama sekali tidak menjadi gentar. Sejenak kemudian, maka pedang itu pun telah berputaran. Kilatan cahaya matahari yang terpantul dari pamornya, kadang-kadang terasa bagaikan menusuk mata Glagah Putih. Tetapi Glagah Putih pun segera menyadarinya, sehingga ia tidak lagi selalu memandangi daun pedang lawannya. Ketika lawannya meloncat sambil mengayunkan pedangnya, maka Glagah Putih pun bergeser untuk menghindar. Namun ketika ujung pedang itu bagaikan memburunya, maka Glagah Putih telah menepis pedang itu dengan senjatanya. Jati Ngarang menyadari bahwa senjata lawannya bukan senjata kebanyakan. Tetapi ketika pedangnya bersentuhan dengan senjata lawannya yang mengaku bernama Lemah Bengkah itu, maka ia pun bergumam di dalam hatinya, “Iblis manakah yang telah memberikan senjata itu kepadanya?” Demikianlah, maka mereka pun segera terlibat dalam pertempuran yang sengit. Jati Ngarang berloncatan dengan cepat, sementara pedangnya terayun-ayun mengerikan. Berkali-kali pedang itu menebas dengan kecepatan yang sangat tinggi. Namun jika ujung pedang itu gagal menyentuh tubuh lawannya, maka pedang itu pun terjulur, mematuk seperti seekor ular bandotan. Tetapi Glagah Putih mampu mengimbangi kecepatan gerak Jati Ngarang. Bahkan sekali-sekali Glagah Putih mendahului serangan-serangan yang akan dilancarkan oleh lawannya. Dengan demikian, maka serangan-serangan Jati Ngarang itu masih belum mampu menembus pertahanan Glagah Putih, dan apalagi menyentuh sasarannya. Tetapi justru serangan-serangan Glagah Putih-lah yang telah berhasil menggores di tubuh Jati Ngarang. Jati Ngarang itu meloncat surut sambil mengumpat kasar ketika terasa ikat pinggang lawanya itu menggores lengannya. Bahkan kemudian ternyata bahwa goresan ikat pinggang itu telah mengoyakkan kulit dan dagingnya, sebagaimana tajamnya sebilah pedang. “Gila!” teriak Jati Ngarang, “Apa yang telah kau lakukan dengan ikat pinggangmu?” “Aku mampu memenggal kepalamu dengan sekali tebas,” sahut Glagah Putih, “belum tentu kau dapat melakukannya dengan pedangmu itu.” “Tentu aku dapat melakukannya. Menunduklah. Aku akan menebas lehermu sehingga putus dengan sekali ayun.” “Aku tidak akan dapat mengerti apakah kau benar-benar melakukannya atau tidak. Jika kau ingin memamerkannya kepadaku, cobalah menebas leher salah seorang pengikutmu yang tidak berguna itu.” Jati Ngarang menggeram. Katanya, “Kau memang gila. Kami telah menyatakan diri menjadi satu keluarga. Jika aku ingin menebas leher, maka itu tentu lehermu. Pedangku yang sudah keluar dari wrangkanya, sudah menjadi haus.” Glagah Putih tertawa. Katanya, “Aku hanya mempunyai sebuah leher. Karena itu, aku tidak akan menyerahkannya kepadamu dengan suka rela.” “Dengan suka rela atau tidak, akibatnya tidak akan berbeda. Akhirnya kepalamu akan terpenggal juga.” “Kau bermimpi. Marilah kita buktikan, kepala siapakah yang akan terpenggal di arena pertempuran ini.” Jati Ngarang tidak menyahut. Tetapi ia pun segera meloncat sambil menjulurkan pedangnya ke arah dada. Namun Glagah Putih dengan cepat mengelak. Ditepisnya pedang lawannya menyamping. Dengan gerak yang sangat cepat, Glagah Putih telah mengayunkan senjata. Jati Ngarang mengaduh tertahan. Ujung ikat pinggang itu telah menggores lambungnya. Meskipun luka yang kemudian menyilang tidak begitu dalam, namun terasa luka itu menjadi sangat pedih dibasahi oleh keringatnya. Kemarahan Jati Ngarang rasa-rasanya telah membuat darah di seluruh tubuhnya mendidih. Namun ia tidak dapat mengingkari kenyataan. Lawannya dengan senjatanya yang aneh, terlalu sulit untuk dikalahkan. Karena itu, maka Jati Ngarang itu telah berpaling sekilas untuk mengetahui apa yang terjadi dengan kawan-kawannya. Jati Ngarang itu terkejut melihat apa yang terjadi dengan mereka. Juga satu kenyataan yang harus dihadapinya. Orang-orangnya yang bertempur melawan seorang perempuan itu ternyata sudah tidak berdaya. Dua orang tidak mampu melakukan perlawanan lagi. Meskipun mereka masih berdiri dengan senjata di tangan, tetapi rasa-rasanya mereka harus mengerahkan sisa-sisa tenaga mereka hanya untuk menyelamatkan keseimbangan mereka. Sementara itu, dua orang yang lain masih mencoba untuk bertempur. Namun mereka tidak berdaya lagi mengatasi serangan-serangan selendang Rara Wulan. Glagah Putih membiarkan lawannya untuk melihat kenyataan itu. Karena itu, Glagah Putih tidak tergesa-gesa menyerang Jati Ngarang yang menjadi sangat gelisah. “Kasan Barong,” berkata Glagah Putih, “kau harus melihat kenyataan itu. Serahkan saja kitab yang kau curi itu. Aku akan membawanya kepada Guru. Setelah itu, kau boleh meninggalkan arena ini.” “Persetan kau, Lemah Bengkah,” geram Jati Ngarang, “kau tidak akan dapat lari dari tanganku.” “Apakah kau tidak melihat kenyataan yang kau hadapi?” bertanya Glagah Putih. Jati Ngarang tidak menjawab. Tetapi ia pun segera meloncat menyerang dengan sisa tenaganya. Namun yang terjadi, justru sebaliknya dari yang diharapkannya. Senjata aneh Glagah Putih itu telah mengenai pundaknya. Jati Ngarang meloncat surut. Tetapi kali ini Glagah Putih memburunya. Senjatanya itu pun terjulur lurus menyentuh dada. Jati Ngarang tidak mampu mengelak. Luka pun telah menganga pula di dadanya. Sambil mengerang kesakitan Jati Ngarang meloncat surut mengambil jarak. Glagah Putih membiarkannya berdiri termangu-mangu. Dibiarkannya Jati Ngarang itu melihat orang-orangnya yang bertempur melawan Rara Wulan. Mereka semuanya sudah tidak berdaya lagi. “Jangan mengingkari kenyataan ini, Kasan Barong,” berkata Glagah Putih, “pergilah. Tinggalkan peti yang berisi Kitab Mega Mendung itu.” Jati Ngarang termangu-mangu sejenak. Ia memang tidak dapat berbuat lain jika ia masih ingin tetap hidup. Karena itu, maka Jati Ngarang itu pun berkata, “Baiklah jika kau menghendaki peti itu. Ambillah. Tetapi dengan syarat.” “Syarat apa?” “Jangan kau buka sebelum kau sampai ke hadapan gurumu.” “Kenapa?” “Kitab yang kau maksudkan adalah kitab yang keramat. Aku pun belum pernah membukanya. Aku hanya membawanya kemana aku pergi, agar tidak jatuh ke tangan orang lain. Namun ternyata aku masih belum berhasil membukanya. Bahkan akhirnya niatku untuk membuka aku batalkan, setelah saudara tua seperguruanku memberitahukan bahwa kitab itu adalah kitab keramat. Tidak setiap orang dapat dan boleh membukanya.” “Kenapa kalau aku buka di sini?” “Terserah kepadamu. Tetapi aku sudah memperingatkanmu, bahwa sebaiknya kau buka di hadapan gurumu. Jika terjadi sesuatu, gurumu akan dapat menyelamatkanmu.” “Baik. Aku akan melakukannya.” Jati Ngarang itu termangu-mangu sejenak. Lalu ia pun memberi isyarat kepada orang-orangnya untuk meninggalkan tempat itu. “Tinggalkan peti itu di situ.“ “Tetapi…” desis seorang kawannya. Jati Ngarang tidak menjawab. Tetapi ia membelalakkan matanya kepada orangnya itu. Sejenak kemudian Jati Ngarang dan orang-orangnya pun segera pergi. Sambil berjalan menjauh. Jati Ngarang pun berkata, “Biarlah mereka mengambil candu itu, daripada nyawa kita. Bukankah kita dapat menukarnya dengan benda-benda yang dapat kita rampas dari para pedagang yang lewat?” “Tetapi candu itu harganya mahal sekali.” “Mana yang lebih mahal? Candu itu atau nyawamu?“ Pengikutnya itu tidak menjawab lagi. Sementara Jati Ngarang itu berkata pula, “Selagi nyawa kita masih ada, kita akan mendapat kesempatan untuk mencarinya. Tetapi jika nyawa kita sudah tidak lagi berada di dalam tubuh kita, maka kita sudah tidak akan dapat berbuat apa-apa.” Orang-orangnya tidak menjawab. Sementara itu, mereka berjalan semakin jauh. Ada di antara mereka yang harus dipapah oleh kawannya yang masih sanggup berjalan dengan tegak. Namun Jati Ngarang sendiri tubuhnya terasa menjadi semakin lemah. Dari luka-lukanya, darah masih tetap mengalir. Akhirnya mereka memutuskan untuk berbelok masuk ke sebuah pategalan, untuk mengobati luka-luka mereka. Setidak-tidaknya memampatkan darah yang mengalir dari luka-luka di tubuh mereka, yang ternyata terdapat dimana-mana. Bahkan selendang perempuan itu mampu menggoreskan luka di tubuh mereka. Sementara itu Rara Wulan dan Glagah Putih berdiri termangu-mangu di atas tanggul parit. Dengan nada ragu, Rara Wulan pun bertanya, “Kenapa kita melepaskan mereka semuanya, Kakang?” “Apakah kita harus membunuh mereka semua? Sementara itu tentu kita tidak dapat menawan mereka, karena kita berada di perjalanan.” “Aku mengerti. Tetapi dengan demikian, kita hanya melakukan pekerjaan ini sepotong. Sementara itu, mereka masih saja memperdagangkan barang yang terlarang itu.” “Kita akan berbicara dengan Ki Demang di kademangan ini. Biarlah Ki Demang melaporkannya kepada para petugas, meskipun mungkin Ki Demang akan menempuh perjalanan yang agak jauh.” “Agaknya daerah ini tidak terjangkau oleh tangan-tangan para petugas. Terbukti para perampok dan para penyamun masih saja berkeliaran di daerah ini.” “Ya. Tetapi laporan tentang perdagangan yang terlarang itu mudah-mudahan dapat mempertajam kerisauan daerah ini, sehingga daerah ini akan mendapat perhatian lebih besar. Tidak hanya sekedar perampok dan penyamun, tetapi justru peredaran barang-barang terlarang.” “Apakah Ki Demang berani melakukannya?” Glagah Putih menarik nafas panjang. Katanya, “Aku tidak tahu. Tetapi jika niat Ki Umbul Telu itu dapat terlaksana, maka persoalannya akan berbeda. Suasana di daerah ini akan berubah.” Rara Wulan mengangguk-angguk. “Para Demang di daerah ini pun mudah-mudahan juga tersembul nafas keberanian yang ditimbulkan oleh Ki Umbul Telu di sekitar bukit kecilnya itu, sehingga mereka akan berani memberikan perlawanan kepada para perampok dan penyamun.” “Tetapi jika hal itu dimaksudkan untuk memberikan ketenangan kepada para pedagang, maka akan dapat terjadi salah langkah, Kakang. Ternyata ada juga para pedagang yang langkahnya jauh lebih buruk dari para perampok dan penyamun. Mereka telah bekerja sama dengan para perampok dan penyamun untuk mengadakan barang-barang terlarang.” “Ya, itu juga merupakan masalah yang besar. Karena itu, persoalannya harus ditangani dengan sungguh-sungguh. Bukan sekedar sambil lalu. Jika para Demang dan beberapa perguruan membantu membuka jalan perdagangan agar daerah mereka menjadi ramai kembali, itu harus disadari bahwa jalan perdagangan itu tidak akan menjadi jalan peredaran barang-barang terlarang itu.” “Kita memang harus menemui salah seorang Demang yang terdekat dan membawahi lingkungan pasar itu.” Namun Glagah Putih itu pun kemudian berkata, “Lalu sekarang, apa yang akan kita lakukan atas peti itu?” “Kita akan memusnahkannya. Tetapi kita harus menyimpannya sedikit, sebagai bukti bahwa perdagangan barang terlarang ini memang ada. Kita akan menunjukkannya kepada Ki Demang yang membawahi pasar itu.” Demikianlah, keduanya pun kemudian telah membawa peti itu menjauhi tempat yang berpenghuni. Mereka berjalan menyusuri sebatang sungai ke arah udik, sehingga mereka sampai di tempat yang jarang didatangi seseorang. Ketika mereka naik tebing sungai itu, mereka telah berada di sebuah padang perdu. “Kita akan membakarnya, setelah kita menyimpan sedikit.” Keduanya pun kemudian mencari ranting-ranting kayu kering dan ditimbun di atas tebing sungai itu. Setelah mengambil sedikit contoh dari barang terlarang dan disimpan, maka peti itu beserta isinya diletakkan di atas setumpuk kekayuan kering. Glagah Putih pun kemudian telah membuat api, dan kemudian menyalakan kayu-kayu kering yang ditimbunnya itu. Sejenak kemudian, maka peti serta isinya pun telah terbakar. Angin yang bertiup di atas tebing perdu itu telah menaburkan asapnya ke arah hutan yang lebat. Setelah peti dan isinya itu lebur menjadi abu, maka keduanya pun segera meninggalkan tempat itu. Mereka segera kembali ke pasar yang sudah menjadi lebih sepi. Kepada orang-orang yang masih ada di depan pasar, Glagah Putih dan Rara Wulan pun bertanya kepada mereka, dimanakah letak rumah Ki Demang yang membawahi pasar itu. “Rumahnya tidak begitu jauh, Ki Sanak,“ jawab seorang laki-laki berperawakan sedang, “ambil jalan ini. Jalan ini adalah jalan utama padukuhan ini. Di simpang tiga, kalian akan menjumpai sebatang pohon beringin yang besar. Nah, ambil jalan ke kiri. Jika kau berjalan terus, kau akan sampai ke banjar.” “Terima kasih, Ki Sanak,“ jawab Glagah Putih. Bersama Rara Wulan, maka Glagah Putih pun telah menelusuri jalan utama padukuhan itu. Seperti yang dikatakan oleh laki-laki di depan pasar, ketika mereka sampai di simpang tiga, maka mereka pun telah berbelok ke kiri. Tidak sampai seratus langkah, maka mereka pun telah sampai di regol halaman sebuah rumah yang besar dan berhalaman luas. Menurut dugaan Glagah Putih dan Rara Wulan, maka rumah itu tentu rumah Ki Demang. Namun untuk meyakinkannya, maka Glagah Putih pun bertanya kepada seorang remaja yang lewat sambil membawa walesan bambu. “Apakah rumah ini rumah Ki Demang, Tole?” Remaja itu berhenti. Sejenak ia termangu. Namun kemudian ia pun mengangguk, “Ya, Kakang. Rumah itu adalah rumah Ki Demang. Apakah kau akan menemuinya?” bersambung ♦ 15 Juli 2010 Ki Murdaka pun akhirnya sampai pada satu pilihan yang menentukan. Dengan geram ia pun bergumam, “Aku tidak peduli jika tubuh perempuan itu akan menjadi lumat.” Dengan tangkasnya Ki Murdaka pun segera berloncatan surut untuk mengambil jarak. Tiba-tiba saja dilepaskannya pedang pusakanya itu. Rara Wulan terkejut. Ia segera menyadari, apa yang akan dilakukan oleh lawannya. Karena itu, dengan cepat dikalungkannya selendangnya di lehernya, serta mempersiapkan diri menghadapi ilmu puncak lawannya yang belum diketahuinya seberapa tingginya. Dengan demikian, maka Rara Wulan tidak berani meremehkan lawannya, la tidak ingin hancur dalam benturan ilmu yang tidak akan dapat dielakkannya lagi. Sebenarnyalah Ki Murdaka telah memusatkan nalar budinya. Dengan sepenuh daya kemampuan ilmunya, Ki Murdaka itu telah melontarkan serangannya ke arah Rara Wulan. Seleret sinar kemerah-merahan telah meluncur dari telapak tangannya, mengarah ke dada Rara Wulan. Namun pada saat yang hampir bersamaan, Rara Wulan pun telah meluncurkan ilmu puncaknya pula. Ilmunya yang disebutnya Aji Namaskara. Kedua kekuatan ilmu yang nggegirisi itu pun akhirnya saling berbenturan. Udara di halaman banjar itu pun telah terguncang. Glagah Putih dan Ki Saba Lintang yang sedang bertempur pun sempat berloncatan surut untuk mengambil jarak. Akibat dari benturan itu pun ternyata sangat mendebarkan jantung. Rara Wulan tergetar beberapa langkah surut. Sejenak ia terhuyung-huyung untuk mempertahankan keseimbangannya. Namun ternyata Rara Wulan itu pun jatuh pada lututnya. Untuk beberapa saat Rara Wulan berusaha untuk bangkit berdiri. Meskipun masih agak goyah, namun akhirnya Rara Wulan pun berhasil berdiri tegak. Sementara itu, ternyata Aji Namaskara benar-benar memiliki kekuatan yang sangat tinggi. Kekuatan ilmu Ki Murdaka tidak mampu menembus kekuatan Aji Namaskara. Ki Murdaka tidak saja tergetar surut, tetapi Ki Murdaka telah terlempar beberapa langkah dan kemudian terbanting jatuh. Agaknya kekuatan serta daya tahannya benar-benar tidak mampu mengatasi getar kekuatan ilmu lawannya, yang meskipun telah tertahan dalam benturan dengan ilmunya sendiri, namun Aji Namaskara itu masih mampu menusuk sampai ke jantung. Tubuh Ki Murdaka memang tidak hancur lumat menjadi debu. Tubuhnya masih tampak utuh tergolek di halaman banjar. Namun nafas Ki Murdaka itu pun telah putus. Ki Sela Aji berlari ke arahnya. Ia pun segera berjongkok dan mencoba untuk mengangkat kepala Ki Murdaka. Namun Ki Murdaka itu telah tidak bernafas lagi. Ki Sela Aji menggeram. Tetapi ia pun tidak dapat mengingkari kenyataan. Setinggi-tinggi ilmu Ki Sela Aji, masih belum setataran dengan ilmu Ki Murdaka. Ketika ia berpaling, dilihatnya Rara Wulan berdiri tegak memandanginya dengan tajamnya. Wajahnya yang tegang nampak menantangnya. Perempuan itu sama sekali tidak menunjukkan akibat dari benturan yang baru saja terjadi. Dalam pada itu, tiba-tiba saja Ki Demung Pugut pun mendekatinya. “Kau tidak akan dapat melawannya,” desis Ki Demung Pugut. “Bagaimana dengan Paman?” “Aku sudah menyelesaikan lawanku.” “Kita lawan perempuan itu berdua.” “Lihat keadaan Ki Saba Lintang. Nampaknya keadaan kita akan menjadi sulit.” “Aku telah membunuh banyak orang.” “Tetapi lawan Ki Saba Lintang itu adalah orang yang sangat tinggi ilmunya. Sementara perempuan itu telah menghentikan perlawanan Ki Murdaka.” “Jadi?” Sejenak keduanya termangu-mangu. Sementara Rara Wulan yang masih berdiri tegak itu pun sedang mengatur pernafasannya. Jika kedua orang itu siap melawannya, maka Rara Wulan harus mempergunakan sisa-sisa tenaganya. Benturan yang telah terjadi itu sangat mempengaruhinya. Tetapi Rara Wulan berhasil menyembunyikan keadaannya yang sebenarnya setelah benturan itu terjadi. Meskipun demikian, jika terpaksa, ia masih akan sanggup bertempur melawan kedua orang itu. Sejenak suasana menjadi sangat tegang sepeninggal Ki Murdaka. Beberapa orang berilmu tinggi dari Perguruan Kedung Jati yang masih bertahan, menjadi berdebar-debar pula. Dalam pada itu, Ki Panji Kukuh yang bertempur melawan Watu Kenari pun menjadi gelisah. Ia melihat Sutasuni tersungkur di tanah. Sementara itu, lawannya benar-benar seorang yang berilmu tinggi. Dengan demikian maka harapan Ki Panji Kukuh tinggal suami istri yang mengaku bernama Nagagundala itu. Ketika Rara Wulan dapat menghentikan perlawanan Ki Murdaka, Ki Panji Kukuh pun bergumam, “Habislah cerita tentang Ki Saba Lintang.” “Bodoh kau,” geram Watu Kenari. “Orang itu bukan Ki Saba Lintang.” “Ia menyebut dirinya Ki Saba Lintang.” “Kau memang dungu,” geram Watu Kenari. Sementara itu, ia pun meningkatkan serangan-serangannya pula. Agaknya Watu Kenari pun menjadi tidak sabar lagi. Ia melihat Ki Saba Lintang yang sebenarnya juga mulai mengalami kesulitan. Meskipun tongkat baja putihnya berputaran menyambar-nyambar, namun agaknya senjata lawannya mampu mengimbangi kegarangan tongkat baja putih itu. Karena itu, maka Watu Kenari pun ingin segera menyelesaikan pertempuran dengan cepat. “Jika aku berhasil, biarlah aku segera berhasil. Jika aku harus mati, biarlah aku tidak melihat Ki Saba Lintang mengalami tekanan yang tidak teratasi.” Dengan demikian, maka Watu Kenari pun segera meningkatkan ilmunya hingga ke puncaknya. Ki Panji Kukuh adalah seorang pemimpin dari sekelompok orang yang berada pada jalur perdagangan terlarang. Ki Panji Kukuh pun memiliki ilmu yang diandalkan pula. Karena itu, sejenak kemudian, maka keduanya telah siap dengan ilmu pamungkas mereka. Ketika masing-masing melontarkan serangan yang dilandasi dengan ilmu puncak mereka, maka dua percik sinar meluncur dari arah yang berlawanan. Benturan yang dahsyat pun telah terjadi. Kedua ilmu yang tinggi yang berbenturan itu seakan-akan telah meledakkan halaman banjar. Udara pun bergetar. Dedaunan berguncang, sehingga daun-daun yang kuning pun telah runtuh berguguran. Ternyata ilmu Watu Kenari lebih tinggi selapis tipis dari ilmu Ki Panji Kukuh. Karena itu, maka Ki Panji Kukuh itu pun telah terlempar beberapa langkah surut. Tubuhnya terhuyung-huyung sejenak. Kemudian Panji Kukuh itu pun terguling di tanah. Tiga orang pengikutnya dengan cepat berlarian mendekatinya. Seorang segera berjongkok di sampingnya. “Gila orang itu,” Ki Panji Kukuh menggeram. Namun dadanya terasa sangat sakit. Ketika ia berusaha untuk bangkit, maka seorang pengikutnya yang berjongkok itu membantunya. Tetapi ia pun berkata, “Jangan bangkit berdiri dahulu, Ki Panji. Duduk sajalah untuk mengatur pernafasan.” Ki Panji sempat memperhatikan keadaan di sekelilingnya. Ia melihat Nyi Nagagundala masih berdiri termangu-mangu. Sementara itu, Watu Kenari juga terguncang dan jatuh terlentang. Tetapi dibantu oleh seorang kawannya dari Perguruan Kedung Jari, Watu Kenari pun bangkit berdiri. Keadaannya ternyata masih lebih baik dari Ki Panji Kukuh. Namun dalam pada itu, Ki Saba Lintang-lah yang benar-benar mengalami kesulitan. Glagah Putih ternyata mampu mendesak Ki Saba Lintang, sehingga Ki Saba Lintang setiap kali harus berloncatan mundur. Tetapi kesetiaan para pengikutnya benar-benar mengagumkan. Dalam keadaan yang rumit itu, maka perhatian para pengikutnya tertumpah seluruhnya kepadanya. Ki Sela Aji, Ki Demung Pugut, dan bahkan kemudian Watu Kenari, telah berloncatan mendekati Ki Saba Lintang yang terdesak. Glagah Putih harus bergeser surut untuk mengambil jarak. Ia mencoba untuk menilai lingkaran pertempuran yang dihadapinya. Beberapa orang telah siap bertempur melawannya. Meskipun Watu Kenari yang baru saja berbenturan ilmu dengan Ki Panji Kukuh itu masih nampak goyah, namun ia telah memaksa diri untuk membantu Ki Saba Lintang. Beberapa orang pengikut Ki Panji Kukuh masih bertempur dengan garangnya. Namun korban yang jatuh ternyata sudah sangat banyak. Demikian pula orang-orang Perguruan Kedung Jati pun telah kehilangan banyak orang pula. Ketika Glagah Putih sedang memperhitungkan kemungkinan yang dihadapinya, tiba-tiba saja Rara Wulan berdiri beberapa langkah darinya, “Kita akan menyelesaikannya, Kakang.” Glagah Putih mengerti bahwa keadaan Rara Wulan masih belum pulih kembali. Tetapi keadaannya sudah menjadi berangsur baik. Namun dalam pada itu, ternyata bahwa Ki Saba Lintang dan beberapa orang yang berada di sekitarnya telah mengambil keputusan lain. Mereka tidak lagi berniat meneruskan pertempuran. Tetapi dengan isyarat yang kurang di mengerti oleh Glagah Putih dan Rara Wulan, mereka telah mengambil satu sikap. Ki Sela Aji dan Ki Demung Pugut tiba-tiba saja telah menyerang Glagah Putih dan Rara Wulan dengan garangnya. Mereka menerkam seperti seekor singa yang lapar. Glagah Putih dan Rara Wulan tidak mengira bahwa kedua orang itu akan menyerangnya dengan serta merta. Karena itu, maka keduanya telah bergeser surut untuk mengambil jarak. Namun Ki Sela Aji dan Ki Demung Pugut tidak memberi keduanya waktu. Dengan tangkas keduanya pun telah meloncat menyerang pula. Serangan mereka datang beruntun. Demikian cepatnya, sehingga sekali lagi Glagah Putih dan Rara Wulan bergeser surut. Tetapi Glagah Putih dan Rara Wulan tidak membiarkan diri mereka terdesak lagi. Dengan tangkasnya keduanya pun sengaja membentur serangan yang berikutnya. Rara Wulan yang masih belum pulih sepenuhnya itu masih juga goyah. Beberapa langkah ia terdesak surut. Sementara itu Ki Demung Pugut pun telah tergetar pula. Namun dalam pada itu, Ki Sela Aji yang serangannya telah membentur tenaga Glagah Putih yang menangkis serangan itu, telah terlempar dan terpelanting jatuh. Tetapi sementara itu, Glagah Putih telah melihat Ki Saba Lintang telah melarikan diri di bawah perlindungan Watu Kenari serta dua orang pengikutnya yang lain. “Gila Ki Saba Lintang,” geram Glagah Putih yang berusaha untuk memburunya. Tetapi Glagah Putih itu pun berhenti ketika ia melihat Watu Kenari itu berbalik menghadap ke arahnya. Glagah Putih menjadi berdebar-debar. Ia melihat Watu Kenari bersiap untuk melontarkan aji pamungkasnya. Tidak ada pilihan lain bagi Glagah Putih. Ia pun segera mempersiapkan diri pula. Ketika seleret sinar meluncur ke arahnya, maka Glagah Putih pun telah meluncurkan serangannya pula. Akibatnya telah menggetarkan jantung mereka yang sempat menyaksikannya. Serangan Watu Kenari yang baru saja membenturkan ilmunya dengan Ki Panji Kukuh itu masih terlalu lemah untuk meluncurkan serangannya lagi. Apalagi serangannya itu telah membentur kekuatan ilmu pamungkas Glagah Putih. Karena itu, maka benturan itu telah benar-benar menghancurkan Watu Kenari. Tubuhnya terlempar jauh ke belakang, membentur dinding halaman banjar. Terdengar derak dinding halaman banjar yang tertimpa tubuh Watu Kenari itu roboh. Watu Kenari tidak sempat mengaduh. Beberapa ruas tulangnya benar-benar berpatahan. Tetapi karena daya tahan tubuh Watu Kenari yang tinggi, maka tubuh itu tidak lumat menjadi debu. Namun dalam pada itu, Ki Saba Lintang sudah tidak nampak lagi. Dua orang pengikutnya telah membawanya lari ke dalam gelap. Kemudian meloncati dinding halaman belakang banjar Kademangan Seca itu. Glagah Putih memang tidak mendapat kesempatan. Ketika ia siap meloncat berlari untuk memburu Ki Saba Lintang sampai ke luar halaman, maka Ki Sela Aji telah menyerangnya. Kemarahan Glagah Putih tidak tertahankan lagi. Ketika Ki Sela Aji meloncat menerkamnya, maka Glagah Putih telah mengangkat, dan kemudian mengayunkan tangannya dengan lambaran Aji Sigar Bumi. Ki Sela Aji masih sempat menjerit, namun kemudian terdiam. Bukan saja suaranya, tetapi juga detak jantungnya. Glagah Putih menggeram marah. Namun ia masih berniat untuk mencari Ki Saba Lintang yang tentu belum terlalu jauh. Tetapi ketika ia berpaling, ia melihat Rara Wulan terjatuh pada lututnya. Dengan susah payah Rara Wulan mencoba bertahan untuk tidak jatuh terlentang. Glagah Putih tidak berpikir panjang. Ia pun segera berlari ke arah istrinya itu. Dilihatnya orang yang bernama Ki Demung Pugut itu telah terbaring diam di hadapan Rara Wulan. “Rara. Bagaimana keadaanmu?” Rara Wulan terduduk. Glagah Putih mencoba untuk menahan agar Rara Wulan tetap duduk. “Duduklah. Atur pernafasanmu. Aku akan menungguimu.” Rara Wulan tidak menjawab. Ia pun mencoba untuk duduk bersila di halaman banjar itu untuk mengatur pernafasannya. Glagah Putih kemudian bangkit berdiri di belakangnya sambil mengawasi keadaan halaman banjar Kademangan Seca itu. Halaman itu telah menjadi lengang. Kedua belah pihak yang tersisa telah meninggalkan banjar. Sementara itu tubuh Ki Panji Kukuh pun sudah tidak ada lagi di halaman banjar kademangan itu. “Kita telah ditinggalkan oleh orang-orang yang bertengkar itu, Rara,” desis Glagah Putih. Rara Wulan menarik nafas panjang. Namun dadanya masih terasa sakit. Seakan-akan ada sepucuk duri yang terselip di antara tulang-tulang iganya. “Apa yang akan kita lakukan, Kakang?” “Kita pun akan meninggalkan tempat ini.” “Bagaimana dengan mayat-mayat itu?” “Ini adalah tugas Ki Demang dan Ki Bekel.” Glagah Putih pun kemudian telah membantu Rara Wulan berdiri. Mereka segera berjalan perlahan-lahan ke pintu. Rara Wulan yang terluka itu bergayut di pundak suaminya, sedang suaminya mencoba untuk memapahnya. Ketika mereka melangkah melewati regol halaman banjar, mereka melihat dalam kegelapan sekelompok orang yang mengawasinya. Perlahan-lahan hampir berbisik Rara Wulan pun bertanya, “Siapakah mereka, Kakang?” “Agaknya mereka adalah para petugas di Kademangan Seca.” “Apakah mereka akan menangkap kita?” “Entahlah, Rara. Tetapi agaknya mereka tidak bergerak sama sekali.” Rara Wulan itu pun menyahut perlahan, “Ya Agaknya mereka tidak akan bergerak. Tetapi Kakang harus tetap berhati-hati. Biarkan aku berjalan sendiri, Kakang, agar Kakang dapat bergerak lebih cepat jika sesuatu terjadi.” “Kau masih terlalu lemah.” “Tetapi aku sanggup berjalan sendiri. Perlahan-lahan.” “Tidak akan ada apa-apa. Nampaknya mereka tidak ingin terlibat langsung. Mereka tidak tahu siapakah yang telah menyerang Ki Saba Lintang. Mereka tidak akan berani menerima akibat buruk dari satu kelompok yang telah berani menyerang Perguruan Kedung Jati.” Rara Wulan menarik nafas panjang. Namun kemudian ia pun bertanya, “Sekarang kita akan pergi kemana, Kakang? Tentu tidak ke penginapan.” “Tentu tidak,” jawab Glagah Putih, “kita akan langsung meninggalkan Kademangan Seca. Kita akan mencari tempat yang aman, setidak-tidaknya untuk memberimu kesempatan memperbaiki keadaanmu. Mengatur pernafasanmu serta tatanan urat syaratmu.” Keduanya berjalan di kegelapan malam, menyusuri lorong sempit di Kademangan Seca, langsung menuju ke bulak panjang. Demikian mereka keluar dari regol butulan di ujung lorong sempit itu, maka terasa udara menjadi bertambah segar. “Kita akan mencari tempat yang terpisah dari kesibukan kademangan ini.” “Kemana?” “Ke ujung hutan itu. Ke tempat yang menjadi arena pertempuran antara gerombolan Ki Panji Kukuh dengan gerombolan Ki Guntur Ketiga.” “Apakah Ki Panji Kukuh tidak pergi ke sana?” “Agaknya ia tidak akan pergi ke sana. Ki Panji Kukuh terluka. Ia akan dibawa oleh para pengikut setianya ke tempat yang jauh, untuk menghindari perburuan yang akan dilakukan oleh Ki Saba Lintang.” “Tetapi orang-orang Kedung Jati akan mengalami kesulitan untuk mencari keterangan tentang gerombolan Ki Panji Kukuh.” “Jika ada seorang di antara pengikut Ki Panji Kukuh yang dapat ditangkap dan dibawa oleh orang-orang dari Perguruan Kedung Jati.” “Apakah kita tidak memburu salah seorang pengikut Ki Saba Lintang yang mungkin terluka? Mungkin orang itu dapat memberikan petunjuk kepada kita, kemana kita harus melacak, dimana letak pusat Perguruan Kedung Jati yang besar itu.” “Di halaman banjar itu terdapat beberapa sosok yang tergolek diam. Mungkin mereka sudah mati. Tetapi mungkin ada satu dua yang masih hidup. Tetapi menilik kesetiaan orang-orang dari Perguruan Kedung Jati, mustahil ada di antara mereka yang bersedia berkhianat. Demikian pula orang-orang dari gerombolan Ki Panji Kukuh. Mereka akan memilih mati daripada harus berbicara tentang pemimpin mereka serta kedudukan mereka.” Rara Wulan mengangguk-angguk. Sementara itu, mereka masih saja berjalan menuju ke ujung hutan. Mereka melintasi jalan-jalan sepi. Kemudian mereka pun melintasi padang perdu. Mereka menuju ke sebuah tebing sungai yang tidak begitu besar. Di tepian sungai itulah gerombolan Ki Panji Kukuh dan gerombolan Ki Guntur Ketiga terlibat dalam pertempuran yang sengit. Namun pagi itu, seperti yang diperhitungkan oleh Glagah Putih, tepian sungai itu nampak sepi-sepi saja. Tidak ada seorangpun yang turun ke sungai atau melewati jalan setapak di atas tanggul sungai menuju ke ujung hutan. “Kita akan beristirahat di sini, Rara. Kau harus mencoba memperbaiki keadaanmu. Sebaiknya kau menelan sebutir obat yang akan dapat membantu memperbaiki keadaan bagian dalam tubuhmu. Bukankah kau juga membawanya?” “Ya, Kakang.” Rara Wulan pun kemudian mengambil sebutir obat dari bumbung kecil yang dibawa di dalam kampilnya dan diselipkan di setagennya. Setelah menelan obat itu, maka Rara Wulan pun segera duduk bersila, kedua tangannya diletakkan di atas lututnya. Sejalan kerja obat yang ditelannya serta sikapnya mengatur pernafasannya, maka terasa keadaan tubuhnya menjadi berangsur mapan kembali. Terasa darahnya mengalir semakin lancar. Detak jantungnya pun mulai teratur. Suhu badannya tidak lagi bergejolak tidak menentu. Meskipun nyeri-nyeri di tubuhnya masih terasa, namun Rara Wulan menjadi berangsur baik. Sementara itu, Glagah Putih pun tidak jauh dari Rara Wulan yang sedang memusatkan nalar budinya. Dengan seksama Glagah Putih memperhatikan perkembangan keadaan Rara Wulan. Dari tarikan nafasnya, serta sikap duduknya, Glagah Putih pun mengetahui bahwa keadaan Rara Wulan sudah berangsur menjadi baik. “Bagaimana keadaanmu, Rara?” bertanya Glagah Putih. Rara Wulan menarik nafas panjang. Katanya, “Sudah berangsur baik, Kakang.” “Apakah aku sudah dapat turut campur untuk memulihkan, setidaknya memperbaiki keadaanmu?” Rara Wulan nampak agak ragu. Namun kemudian ia pun mengangguk sambil berdesis, “Sudah, Kakang.” Glagah Putih pun kemudian duduk di belakang Rara Wulan. Ia mulai menyentuh-nyentuh punggung dan bahu Rara Wulan dengan jari-jarinya. Beberapa kali ia menekan dengan kedua ibu jarinya, simpul syaraf di sebelah-menyebelah tulang belakangnya. Namun ketika ujung jarinya menekan pundaknya, Rara Wulan menggeliat. “Sakit, Kakang,” desis Rara Wulan. “Ada yang masih belum mapan,” sahut Glagah Putih. Beberapa lama Glagah Putih memperbaiki keadaan Rara Wulan langsung dengan menyentuh simpul-simpul syarafnya, sehingga akhirnya seluruh tubuhnya terasa menjadi longgar kembali. Tidak terasa lagi ketegangan di dalam tubuhnya. Bahkan tulang-tulang yang nyeri. “Rasa-rasanya keadaanku telah pulih kembali, Kakang. Meskipun tenaga dan kekuatanku belum terasa utuh.” “Bersyukurlah, Rara.” “Aku bersyukur, Kakang. Ternyata aku dan Kakang masih mendapat perlindungannya.” Glagah Putih mengangguk-angguk. Namun kemudian katanya, “etapi aku menyesali apa yang sudah terjadi.” “Kenapa, Kakang?” “Kau lihat korban begitu banyak. Sementara itu kita tidak berhasil mengambil tongkat baja putih itu. Bukankah dengan demikian korban itu menjadi sia-sia.” “Tetapi orang-orang dari gerombolan Ki Panji Kukuh itu adalah orang-orang yang hidupnya seutuhnya sudah diserahkan kepada sikap-sikap yang mengandalkan kekerasan. Mereka adalah orang-orang yang telah siap mengalami nasib buruk di setiap pertarungan yang sering terjadi, sebagaimana terjadi pertarungan berebut jalur perdagangan gelap antara Ki Panji Kukuh dengan Ki Guntur Ketiga.” “Benar, Rara. Tetapi kali ini kita-lah yang telah menyeret mereka ke dalam pertarungan yang tidak menghasilkan apa-apa, kecuali kematian di kedua belah pihak.” “Bukankah kita sedang berusaha? Kali ini usaha kita gagal, Kakang.” “Dalam usaha kita ini, kita telah menyebabkan kematian sekian banyak orang.” Rara Wulan terdiam. Ia melihat kepedihan yang dalam di wajah Glagah Putih yang menyesali langkah yang diambilnya. Ia telah menyeret gerombolan Ki Panji Kukuh dengan berbagai macam cara, untuk terlibat dalam pertempuran melawan orang-orang dari Perguruan Kedung Jati. Namun pertempuran yang menelan banyak korban itu tidak menghasilkan apa-apa. Sehingga kematian dari para pengikut Ki Panji Kukuh dan orang-orang dari Perguruan Kedung Jati itu sia-sia saja. Namun pendapat Rara Wulan agak berbeda. Katanya, “Kakang. Dari sisi tugas kita, kita memang telah gagal. Kematian itu seakan-akan adalah kematian yang sia-sia. Tetapi jika kita lihat dari sisi yang lain, maka kematian itu mempunyai arti pula. Kita telah ikut membersihkan jalur perdagangan gelap yang berada di bawah permukaan di Kademangan Seca yang tenang ini. Bukankah dengan demikian, kita telah ikut mengaduk kotoran yang mengendap didasar i tu, mengangkatnya dan sekaligus menguranginya?” “Kita memang dapat menghibur penyesalan kita dengan kenyataan itu, Rara. Kita pun sudah mengurangi kekuatan orang-orang terbaik dari Perguruan Kedung Jati. Tetapi kenyataan itu tidak akan berarti apa-apa. Sesaat lagi, Ki Panji Kukuh telah membangun jalurnya kembali. Perguruan Kedung Jati telah melengkapi lagi kelompok kepercayaan Ki Saba Lintang.” “Tetapi satu hal yang pasti, Kakang, Ki Saba Lintang tidak lagi berniat membangun salah satu landasan kekuatannya di Seca.” “Bukankah dengan demikian, Ki Panji Kukuh atau orang lain yang mempunyai pikiran sejalan dengan Ki Panji Kukuh, justru akan menguasai perdagangan gelap di bawah permukaan di Seca ini?” “Setidak-tidaknya kita sudah mengetahuinya. Pada kesempatan lain, mungkin dengan sosok yang lain, kita dapat memperingatkan Ki Demang Seca tentang perdagangan gelap yang akan dapat menimbulkan bahaya yang sangat besar itu, Kakang.” “Ya. Kita akan memanfaatkannya. Perdagangan gelap itu tidak kalah berbahayanya dengan semakin berkembangnya Perguruan Kedung Jati, yang akan menempatkan diri berseberangan dengan kuasa Mataram. Berbeda dengan sebuah kadipaten yang kasat mata, yang dengan jelas dapat dijajagi kekuatannya serta diketahui dengan pasti keberadaannya, sehingga Mataram dapat bertindak dengan perhitungan yang lebih cermat, maka Perguruan Kedung Jati itu mempunyai sifat yang sangat berbeda.” “Ya, Kakang.” “Kita memang sedikit dapat terhibur dengan keberhasilan kita melihat arus perdagangan gelap di bawah permukaan yang tenang dan tenteram di Seca ini.” Rara Wulan mengangguk-angguk. Namun tiba-tiba ia pun bertanya, “Lalu sekarang, apa yang akan kita lakukan?” Glagah Putih menarik nafas panjang. “Apakah kita akan melacak perjalanan Ki Saba Lintang yang telah meninggalkan Seca? Ki Saba Lintang yang kehilangan sebagian besar pengawal-pengawal terbaiknya itu tentu akan menjauhi Seca dalam penyamaran yang lebih ketat.” Glagah Putih menarik nafas panjang. Katanya, “Tentu akan sangat sulit melacak perjalanan Ki Saba Lintang, Rara. Jika saja kita tidak terlalu bodoh untuk menyerangnya, jika saja kita bersabar menunggu Ki Saba Lintang meninggalkan Seca dalam keadaan damai. Mungkin kita akan dapat melacaknya. Atau jika kita bersabar, bahwa pada suatu saat Ki Saba Lintang akan berada kembali di Seca, sehingga kita dapat minta Kakang Agung Sedayu dan pasukannya datang untuk menangkapnya. Tetapi sekarang kita justru telah kehilangan kesempatan itu.” “Tetapi bukankah apa yang kita lakukan bukannya tidak kita perhitungkan? Kita melihat satu kesempatan. Kita mencoba untuk menangkap kesempatan itu. Tetapi kita gagal.” Glagah Putih mengangguk-angguk. Katanya, “Ya. Aku mengerti.” “Kakang. Apa yang kita lakukan adalah suatu kegagalan. Bukankah wajar jika dalam satu usaha itu mempunyai kemungkinan berhasil, tetapi juga mempunyai kemungkinan gagal? Tetapi jika kita tidak berbuat apa-apa sama sekali, maka hanya ada satu kemungkinan. Kita tidak menghasilkan apa-apa.” Glagah Putih masih saja mengangguk-angguk. Katanya, “Kau benar, Rara.” “Nah, sekarang kita pikirkan. Kita akan pergi kemana?” “Rara. Bagaimana menurut pendapatmu, jika kita membelokkan arah pengembaraan kita ke selatan?” “Ke selatan? Jika kita terus ke selatan, maka kita akan sampai ke Tanah Perdikan Menoreh.” “Ya. Kita melaporkan kegagalan kita. Bukankah dengan kegagalan kita kali ini, kita harus mulai dari permulaan lagi?” “Ya. Kita akan mulai dari permulaan. Tetapi bukankah kita sudah beberapa kali memulai perburuan ini dari permulaan?” Glagah Putih tersenyum. Katanya, “Kau benar, Rara.” Ternyata keduanya pun sepakat untuk kembali ke Tanah Perdikan Menoreh, untuk memberikan laporan kegagalan mereka di Kademangan Seca. Selain itu, mereka tidak dapat mengingkari kenyataan, bahwa bekal mereka pun sudah hampir habis pula. Di Seca mereka telah memboroskannya untuk menginap di penginapan yang terhitung mahal. Sedangkan sebenarnya mereka terbiasa bermalam di pategalan atau di banjar-banjar padukuhan. “Tetapi tanpa menginap di penginapan itu, kita tidak akan mengetahui gerak di bawah permukaan di Seca. Kita pun tidak mengetahui bahwa Ki Saba Lintang berada di Seca,” desis Rara Wulan. “Ya,” Glagah Putih mengangguk angguk. Namun tiba-tiba saja ia pun berkata, “Yang menjadi sangat sibuk adalah para petugas di Kademangan Seca. Mereka harus membersihkan halaman banjar. Menyelenggarakan penguburan mereka yang terbunuh, dan merawat mereka yang terluka berat dari kedua belah pihak.” “Yang terluka agaknya telah dibawa oleh kawan-kawannya,” sahut Rara Wulan. “Apakah mereka sempat melakukannya?” “Pada saat-saat terakhir, mereka tidak bertempur lagi. Mereka sibuk melarikan kawan-kawan mereka yang terluka.” “Yang parah?” “Bukankah Kakang tahu kebiasaan mereka? Pada saat kakang menyelesaikan pertempuran dengan Ki Saba Lintang, maka yang tidak kita bayangkan itu terjadi. Sekilas aku melihatnya, bagaimana seorang yang terluka parah justru harus mengakhiri penderitaanya karena tangan kawan sendiri.” Glagah Putih mengangguk. Katanya, “Ya. Agaknya hal seperti itu terjadi pada kedua belah pihak.” “Untung aku tidak diperlakukan seperti itu, ketika aku terpelanting dalam benturan ilmu dengan orang yang bernama Murdaka itu.” “Kau tidak kehilangan kesempatan. Kau masih dapat segera bangkit, meskipun kau menjadi lemah. Apalagi kau bukan pengikut yang sebenarnya dari Ki Panji Kukuh. Kau tidak banyak mengetahui tentang gerombolan itu.” Rara Wulan tersenyum. Sementara Glagah Putih masih melanjutkannya, “Jika kau akan diperlakukan seperti itu, maka kau-lah yang akan membunuhnya.” Rara Wulan bahkan tertawa. Katanya, “Tentu saja tidak, Kakang. Aku tidak terkapar dalam keadaan parah.” Glagah Putih menarik nafas panjang. Dalam pada itu, maka langit pun menjadi merah. Glagah Putih masih duduk di rerumputan kering. Sementara Rara Wulan justru berbaring. Katanya, “Anggap saja kita tidur d dalam bilik yang hangat di penginapan itu. Suara gemercik air dengan iramanya yang khusus itu kita dengar sebagai suara gamelan yang ngerangin. Burung-burung liar yang mulai berkicau itu adalah suara pesinden yang merdu.” “Tetapi sekarang kita berada di wayah gagat raina. Tidak di wayah sepi uwong.” “Ya, itulah bedanya. Tetapi bukankah suara burung-burung liar itu terdengar penuh gairah dan ketegaran menyambut datangnya hari yang baru?” “Ya. Kita pun dapat bersiul seperti burung-burung itu.” “Ya. Aku juga dapat bersiul, Kakang.” Glagah Putih tertawa. Katanya, “Jarang aku mendengar perempuan bersiul.” “Kakang tidak percaya?” Glagah Putih tertawa semakin keras. Katanya, “Percaya. Aku percaya, Rara. Karena aku pernah mendengar kau bersiul.” Rara Wulan memandang Glagah Putih dengan kerut di dahinya. Namun kemudian Rara Wulan itu pun tertawa pula. Namun kemudian Rara Wulan itu pun bertanya, “Lalu, apakah kita mengurungkan niat kita pergi ke Gunung Sumbing yang menghadap ke Gunung Sindara?” “Menemui Kiai Pupus Kendali?” “Ya. Bukankah kita ingin mempertanyakan golok pusaka yang disebut Kiai Naga Padma?” “Kita akan pergi ke kaki Gunung Sumbing pada kesempatan pertama, Rara. Tetapi bukankah sebaiknya kita melaporkan keadaan Kademangan Seca ini lebih dahulu kepada Kakang Agung Sedayu, bahkan kemudian kepada Ki Patih Mandaraka?” Rara Wulan mengangguk-angguk. Katanya, “Ya. Sebaiknya kita memang melaporkannya lebih dahulu kepada Kakang Agung Sedayu.” “Baiklah. Kita akan pulang.” “Apakah kita dapat mencapai Tanah Perdikan Menoreh dalam sehari perjalanan?” “Jika kita berjalan terus, mungkin kita akan dapat mencapainya. Tetapi perjalanan kita akan menempuh daerah yang agaknya kurang bersahabat.” “Maksud Kakang, kita tidak perlu memaksa diri untuk sampai di Tanah Perdikan malam nanti?” “Ya. Kita tidak terlalu tergesa-gesa. Seandainya kita besok siang sampai di Tanah Perdikan, bukankah laporan kita tidak terlalu lambat?” “Jadi kita berjalan seenaknya saja? Jika kita ingin berhenti, kita akan berhenti.” Glagah Putih mengangguk. Katanya, “Bukankah itu lebih baik? Kita akan berjalan pulang sambil melepaskan segala ketegangan kita selama ini.” Rara Wulan mengangguk-angguk. Sementara Glagah Putih berkata, “Nah, marilah kita berbenah diri. Bukankah keadaanmu sudah berangsur baik, sehingga kita dapat mulai dengan perjalanan pulang?” “Sudah, Kakang. Aku siap menempuh perjalanan pulang. Bukankah kita akan berjalan seenaknya saja?” Demikianlah, keduanya pun segera berbenah diri, bersiap untuk menempuh perjalanan panjang. Tetapi mereka akan menempuh jalan pintas ke Tanah Perdikan Menoreh, meskipun mereka akan melintasi jalan yang agak sulit. Mereka akan melewati daerah pegunungan, melintasi hutan, jurang dan ngarai. Menyeberang sungai besar dan kecil, serta padang perdu yang luas. Tetapi di beberapa bagian dari perjalanan mereka, mereka akan melewati kademangan dan pedukuhan besar dan kecil. Melintasi daerah yang terhitung padat penghuninya. Ketika langit menjadi semakin terang, maka keduanya pun telah bersiap. Keduanya pun segera menapak melangkah meninggalkan tempat itu. Keduanya pun telah memilih jalan menghindari padukuhan Seca. Mereka merasa bahwa para petugas di Seca tentu ada yang sempat memperhatikan mereka semalam, ketika terjadi pertempuran di Banjar. Beberapa orang petugas yang memperhatikan pertempuran itu dari luar halaman akan dapat mengenalinya, jika mereka memasuki pedukuhan Seca siang hari. Setelah terjadi pertempuran semalam, para petugas tentu akan memperketat penjagaan di mana-mana. “Mudah-mudahan kita tidak bertemu dengan Ki Panji Kukuh atau pengikutnya,” desis Rara Wulan. “Mereka tentu tidak lagi bersikap bersahabat dengan kita, setelah mereka kehilangan beberapa orang pengikut mereka di halaman banjar itu.” “Agaknya Ki Panji Kukuh telah berada di tempat yang lebih jauh lagi, Rara. Apalagi agaknya Ki Panji Kukuh sendiri telah terluka.” Rara Wulan mengangguk-angguk. Dengan demikian, maka keduanya pun menghindari untuk melewati pedukuhan Seca, meskipun mereka sebenarnya ingin. Tetapi mereka sengaja melewati jalan yang menuju ke arah Seca. Ketika matahari terbit, beberapa orang tengah berjalan menuju ke pasar Seca, meskipun tidak di hari pasaran. Tetapi Glagah Putih dan Rara Wulan pun juga berpapasan dengan orang yang agaknya sudah pulang dari pasar. Seorang laki-laki yang memikul gula kelapa berjalan diikuti oleh seorang perempuan yang agaknya adalah istrinya. “Mungkin dalam dua atau tiga hari pasar itu masih sepi, Nyi,” berkata laki-laki yang memikul gula kelapa. “Sia-sia saja kita berjalan di pagi-pagi buta,” sahut istrinya. Glagah Putih dan Rara Wulan yang mendengar pembicaraan itu dapat mengambil kesimpulan, bahwa pada hari itu pasar Seca menjadi sepi. Orang-orang yang berdatangan dari jauh tidak tahu apa yang telah terjadi semalam, sehingga seperti biasanya mereka datang untuk menjual dagangan atau hasil tanah mereka. “Kita tidak tahu, apakah peristiwa semalam akan mempunyai pengaruh yang dalam di padukuhan ini,” berkata Glagah Putih. “Seca memang harus mendapat peringatan, Kakang. Jika mereka masih saja terlena tanpa mengetahui bahwa ada urusan perdagangan gelap di bawah permukaan, maka pada suatu saat, pengaruh perdagangan gelap itu justru akan menelan Seca.” Glagah Putih pun mengangguk-angguk. Katanya, “Kita akan melaporkannya kepada Kakang Agung Sedayu. Mungkin Kakang Agung Sedayu dapat memberikan petunjuk. Meskipun Kakang Agung Sedayu seorang pemimpin dari satu kesatuan prajurit, bukan seorang yang memimpin pemerintahan atas suatu daerah, tetapi Kakang Agung Sedayu tentu mempunyai wawasan yang lebih luas dari kita berdua.” “Ya, Kakang,” sahut Rara Wulan. Sementara itu, mereka pun telah berbelok turun ke jalan simpang, sehingga mereka tidak memasuki padukuhan Seca. Ketika mereka berjalan di belakang dua orang perempuan yang menggendong bakul di punggungnya, mereka menjadi semakin yakin bahwa pasar Seca menjadi sepi. Bahkan seorang di antara kedua perempuan itu mengatakan, “Kedai-kedai di sekitar pasar pun tidak membuka pintunya.” Dua orang laki-laki yang berjalan bersama dengan seorang perempuan justru mengatakan bahwa semalam di Seca telah terjadi ontran-ontran. “Geger, Yu,” berkata laki-laki itu. “Darimana kau tahu?” bertanya perempuan itu “Petugas di pasar itu yang bercerita. Seorang di antara petugas di pasar itu kemenakanku. Kemenakanku mengatakan bahwa mayat tergeletak bujur-lintang di halaman banjar.” “Mengerikan.” “Orang Seca hari ini tidak berani keluar rumah, Yu.” “Ah, sudah, sudah. Jangan ceritakan lagi tentang mayat-mayat itu.” “Aku kan sudah tidak bercerita tentang mayat. Aku hanya mengatakan bahwa orang-orang Seca hari ini tidak berani keluar rumah.” “Tetapi kau bercerita tentang mayat-mayat yang terbujur-lintang di halaman banjar.” “Tadi. Tetapi bukankah ceritaku tidak berlanjut?” “Tetapi anak siapa saja yang mati di halaman banjar itu?” Laki-laki yang seorang lagi yang menyahut, “Kau sendiri yang bertanya, Yu.” “Ya, sudah, sudah.” Ketiga orang itu terdiam sejenak. Namun perempuan itu-lah yang berkata lebih dahulu, “Aku membawa uwi jero dan melinjo. Sekarang aku bawa pulang lagi. Padahal aku memerlukan garam dan terasi.” “Mungkin dua atau tiga hari lagi, Yu.” “Tetapi aku memerlukan garam. Apakah kau dapat pisah dengan garam sampai dua atau tiga hari?” “Nanti suruh saja anakmu yang kuncungan itu pergi ke rumahku. Aku masih mempunyai persediaan sedikit.” “Terima kasih, Adi. Nanti aku suruh si Kuncung pergi ke rumahmu.” “Baik, Yu,” jawab laki-laki itu. Glagah Putih dan Rara Wulan-lah yang justru mengangguk-angguk. Perlahan-lahan Rara Wulan berkata, “Kasihan perempuan itu. Ia kehabisan garam.” “Untungnya tetangganya itu baik hati.” “Mungkin bukan sekedar tetangga, tetapi ada hubungan keluarga di antara mereka.” Namun keduanya tidak mengikuti ketiga orang itu lebih jauh lagi. Glagah Putih dan Rara Wulan berjalan tidak secepat perempuan dan kedua orang laki-laki yang baru saja pulang dari pasar Seca yang sepi. Bahkan ketika mereka sampai di simpang empat, Glagah Putih dan Rara Wulan mengambil jalan yang lain dari perempuan dan kedua orang laki-laki itu. Dalam pada itu, langit pun menjadi semakin cerah. Matahari yang mulai memanjat langit melontarkan sinarnya yang hangat ke segenap penjuru. Di kejauhan masih terdengar burung-burung liar yang berkicau menyambut dalangnya hari baru. Angin yang semilir menyentuh dedaunan. Air yang jernih mengalir di parit yang menjelujur sepanjang jalan bulak. Agaknya air di parit itu mengalir sepanjang musim. Glagah Putih dan Rara Wulan berjalan terus. Semakin lama mereka menjadi semakin jauh dari Seca. Kademangan yang sebelum disentuh oleh Ki Saba Lintang adalah kademangan yang tenang dan tenteram. Namun yang luput dari perhatian para bebahu di Seca adalah arus perdagangan gelap yang berada di bawah permukaan. Menjelang tengah hari, maka Glagah Putih dan Rara Wulan mulai menapaki jalan-jalan yang semakin sulit. Mereka mulai mendaki jalan-jalan di perbukitan. Mereka mulai melintasi jalan-jalan yang sulit di antara padukuhan-padukuhan kecil, yang agaknya berada di lingkungan yang tanahnya tidak begitu subur. “Kenapa penghuni padukuhan ini tidak mencari tempat-tempat yang lebih baik?” desis Rara Wulan, “nampaknya di sini tanahnya tidak begitu subur. Bukankah mereka dapat mencari tempat yang lebih baik dengan menebas hutan yang luas di dataran yang lebih rendah?” “Kadang-kadang kita tidak dapat mengerti jalan pikiran mereka, Rara. Agaknya mereka masih merasa terikat dengan kampung halaman tempat mereka dilahirkan. Mereka masih terikat kepada kesetiaan mereka terhadap keluarga besar mereka yang menghuni satu padukuhan, tanpa menghiraukan keadaan tempat tinggal mereka. Tanah warisan itu merupakan beban kewajiban bagi mereka untuk tetap merawat dan memeliharanya.” Rara Wulan mengangguk-angguk. Katanya, “Ya. Bahkan seandainya mereka hidup dalam kesulitan. Panen yang kurang memadai, air yang tidak cukup, bahkan sumur-sumur yang sangat dalam. Mereka harus bekerja keras untuk dapat makan ajeg setiap hari.” “Ya. Jika saja mereka bersedia berbicara dengan Ki Demang untuk mendapatkan ijin membuat daerah pemukiman baru. Mereka dapat melakukannya bersama-sama seluruh padukuhan, jika mereka tidak ingin terpisah-pisah yang satu dengan yang lain.” Sebenarnyalah padukuhan kecil itu nampak kekeringan. Dedaunan menjadi agak ke kuning-kuningan. Sawah yang menghampar di sebelah pedukuhan itu ditanami jagung, yang nampak tidak begitu subur. Ketika Glagah Putih dan Rara Wulan berjalan di jalan utama padukuhan itu, mereka melihat anak-anak yang nampaknya tidak begitu gembira, meskipun ada pula di antara mereka yang sibuk bermain. Mereka pada umumnya tidak berbaju, agak kekurus-kurusan dengan rambut yang agak kemerah-merahan. Namun ketika Glagah Putih dan Rara Wulan berjalan terus, mereka melihat kesibukan di ujung padukuhan. Beberapa orang sedang sibuk di sebuah sungai kecil yang mengalir lewat ujung padukuhan mereka. Agaknya orang-orang padukuhan itu sedang membendung aliran sungai yang tidak begitu besar itu untuk dinaikkan ke dalam parit, sehingga airnya dapat mengaliri sawah mereka. “Syukurlah,” desis Glagah Putih, “agaknya lahir juga seorang yang berani mengambil langkah-langkah penting di padukuhan kecil yang tandus itu.” “Ya, Kakang. Alam yang keras telah menempa penghuninya untuk tidak saja bekerja keras, tetapi juga berpikir keras.” Seakan-akan di luar kehendaknya, Glagah Putih dan Rara Wulan pun berhenti sejenak melihat orang-orang yang sibuk mengisi brunjung bambu dengan bebatuan. Kemudian meletakkannya menyilang aliran air di sungai itu. Onggokan slangkrah yang diikat dengan kuat diletakkan di sela-sela brunjung bambu itu, untuk menutup celah-celah agar air tidak menyusup melewati celah-celah itu. Glagah Putih tersenyum. Ia merasa seakan-akan ikut serta membantu orang-orang yang sedang bekerja keras itu. Namun kemudian keduanya pun meninggalkan orang-orang padukuhan yang membuat bendungan di ujung padukuhan, dekat jalan ulama yang membujur menusuk bulak panjang yang kering. Pohon-pohon perindang yang tumbuh di sebelah-menyebelah jalan pun daunnya nampak agak kekuning-kuningan. Satu-satu berguguran disentuh angin perbukitan. Glagah Putih dan Rara Wulan pun berjalan terus. Ada beberapa padukuhan yang nampak tandus telah dilewati. Sejenak kemudian Glagah Putih dan Rara Wulan pun telah memasuki padang perdu yang luas. Dengan mengikuti jalan setapak, maka keduanya pun berjalan menuju ke tepi sebuah hutan yang masih nampak lebat dan jarang di sentuh kaki manusia. Nampaknya masih banyak binatang buas yang menghuni hutan itu. Tetapi bagi Glagah Putih dan Rara Wulan, hutan tidak harus dijauhi. Mereka pernah tinggal di hutan untuk menjalani laku. Bahkan mereka pernah hidup sebagai bagian dari keutuhan hutan itu, ketika mereka menjalani laku dengan Tapa Ngidang. Karena itu, ketika mereka mendengar aum harimau, keduanya sama sekali tidak terkejut, apalagi menjadi ketakutan. Mereka tahu bahwa jika dalam keadaan yang khusus, harimau itu tidak akan menyerangnya, meskipun mereka mencium bau manusia. Bahkan seandainya seekor harimau yang kelaparan yang tidak mendapatkan mangsa lain datang menyerang mereka, keduanya pun akan siap melawannya. Beberapa saat lamanya mereka berjalan di pinggir hutan. Mereka merasakan jalan itu menurun. Hutan itu pun terasa tumbuh lebat di tanah yang miring. Beberapa lama mereka menyusuri jalan di pinggir hutan. Namun ketika matahari menjadi semakin tinggi hingga sampai di puncak, Glagah Putih dan Rara Wulan sudah meninggalkan hutan itu. Mereka memilih jalan setapak yang memasuki padang perdu menuju ke dataran yang lebih rendah. Jalan setapak itu agaknya sering dilalui orang yang mencari kayu di hutan. “Apakah orang-orang yang mencari kayu itu tidak takut bertemu dengan binatang buas?” desis Rara Wulan. “Biasanya mereka tidak seorang diri, Rara. Tetapi mereka pun mencermati kebiasaan binatang buas, terutama harimau. sehingga mereka mengerti kapan mereka dapat pergi ke hutan untuk mencari kayu.” Rara Wulan mengangguk-angguk. Sementara itu mereka telah berada di seberang padang perdu, dan mulai merambah tanah ngarai yang luas. “Jalan yang kita lalui ini agak aneh, Kakang,” berkata Rara Wulan kemudian. “Apa yang aneh?” bertanya Glagah Putih. “Nampaknya jalan ini sering sekali dilalui orang. Padahal jalan ini menuju ke ujung hutan yang menjorok itu.” “Mereka adalah pencari kayu dari padukuhan terdekat.” “Tetapi padukuhan yang terdekat itu letaknya jauh sekali, Kakang. Apakah mereka memerlukan mencari kayu sampai ke ujung hutan ini?” Glagah Putih yang semula tidak begitu memperhatikan jalan setapak yang dilaluinya itu, mulai tertarik pula. Bahkan tiba-tiba saja dia berdesis, “Kau lihat jejak kaki kuda?” “Ya.” Glagah Putih semakin memperhatikan jalan setapak yang dilaluinya itu. Jalan setapak di padang perdu yang banyak ditumbuhi gerumbul-gerumbul liar. Beberapa batang pohon yang lebih besar tumbuh pula di padang perdu itu. Beberapa onggok batu padas yang mencuat terdapat di mana-mana, terbalut oleh tanaman perdu yang liar, yang bahkan sering terdapat pepohonan perdu yang berduri. “Tentu ada sesuatu di ujung hutan yang menjorok itu, Rara,” berkata Glagah Putih. “Apakah kita akan melihatnya?” “Lain kali saja, Rara. Sebaiknya kita berjalan terus menuju ke Tanah Perdikan. Rasa-rasanya semakin cepat kita membuat laporan tentang Ki Saba Lintang, akan menjadi semakin baik. Mungkin Kakang Agung Sedayu akan membawa kita menghadap Ki Patih Mandaraka.” “Ki Patih itu tentu sudah menjadi semakin tua, Kakang.” “Ia memang sudah tua. Bahkan sangat tua.” “Tetapi ia masih nampak tegar.” “Ya. Ia masih nampak tegar.” Keduanya pun berjalan terus menyusuri jalan setapak yang menarik perhatian mereka itu. Mereka melihat jejak kaki kuda yang berjalan ke kedua arah yang berlawanan. Bahkan jalan setapak itu nampaknya memang sering dilalui oleh orang-orang berkuda. Orang-orang itu tentu akan sangat menarik perhatian. Tetapi Glagah Putih dan Rara Wulan agaknya tidak ingin mendapat hambatan di perjalanan. Mereka ingin segera sampai ke Tanah Perdikan Menoreh, meskipun mereka sadari bahwa mereka akan kemalaman di perjalanan. Namun langkah mereka pun tiba-tiba terhenti. Mereka melihat sebatang lembing bambu yang tertancap di sebelah sebatang pohon cangkring tua yang daunnya sudah menjadi sangat jarang. Pohon yang besar itu nampak meranggas dan bahkan beberapa ujung dahannya mulai nampak mengering. “Lembing itu, Kakang,” desis Rara Wulan. Glagah Putih yang juga sudah melihat lembing itu melangkah mendekatinya, tetapi ia tidak menyentuhnya. “Satu pertanda, Rara.” Rara Wulan mengangguk. Ia melihat seikat benang lawe putih terikat pada lembing bambu itu. Beberapa buah batu yang dirangkai dengan benang putih pula, serta sepotong tulang yang sudah kering, bergayut pada lembing bambu itu. Untuk beberapa saat Glagah Putih dan Rara Wulan memperhatikan lembing itu. Namun Glagah Putih pun kemudian berbisik, “Ada beberapa orang bersembunyi di balik gerumbul di sekeliling kita, Rara.” “Ya,” sahut Rara Wulan, “tentu mereka yang telah memasang lembing ini.” “Jika kita tidak menyentuhnya, agaknya kita pun tidak akan diganggu.” Rara Wulan mengangguk-angguk. Meskipun demikian, keduanya pun telah mempersiapkan diri menghadapi segala kemungkinan. Tetapi seperti yang dikatakan oleh Glagah Putih, karena mereka tidak menyentuh dan tidak mengganggu lembing itu, maka mereka pun tidak diganggu pula. “Agaknya lembing ini merupakan satu pertanda, bahwa daerah ini merupakan daerah kekuasaan sebuah gerombolan. Entah gerombolan apa yang agaknya menghuni ujung hutan yang menjorok itu.” Rara Wulan mengangguk. “Marilah, kita tinggalkan tempat ini, Rara. Kita tidak berkepentingan dengan mereka.” Rara Wulan tidak menjawab. Namun ia pun beranjak dari tempatnya berdiri. Keduanya pun kemudian melintas padang perdu itu mengikuti jalan setapak, tetapi yang sudah sering dilalui para penunggang kuda. Ternyata keduanya memang tidak diganggu oleh orang-orang yang bersembunyi di balik gerumbul-gerumbul perdu yang liar itu. Orang-orang yang bersembunyi di balik gerumbul-gerumbul perdu itu membiarkan saja Glagah Putih dan Rara Wulan lewat. Ternyata tidak hanya ada satu lembing yang ditancapkan sepanjang padang perdu itu. Selain lembing yang ditemuinya di sebelah sebatang pohon cangkring tua itu, Glagah Putih dan Rara Wulan masih menjumpai beberapa batang lembing lagi yang menancap di sebelah-menyebelah jalan setapak itu. Agaknya daerah itu benar-benar telah dikuasai oleh sebuah gerombolan yang kokoh. “Jangan-jangan daerah ini adalah alas kekuasaan Ki Panji Kukuh,” desis Rara Wulan. “Terlalu jauh dari Seca, Rara.” “Tidak. Baru setengah hari perjalanan. Mungkin mereka telah membangun landasan baru yang lebih dekat.” “Nampaknya watak gerombolan ini agak lain. Gerombolan ini tentu gerombolan yang lebih keras dan lebih kasar dari gerombolan Ki Panji Kukuh. Tetapi itu bukan berarti bahwa kemampuan gerombolan ini lebih tinggi dari kemampuan gerombolan Ki Panji Kukuh.” Rara Wulan mengangguk sambil menjawab, “Ya. Menilik benda-benda yang mereka kaitkan pada lembing-lembing mereka itu, gerombolan ini adalah gerombolan yang keras.” Beberapa saat kemudian, Glagah Putih dan Rara Wulan itu pun berjalan di antara sepasang pohon jambe yang juga sudah tua. Mereka melihat beberapa macam benda yang ditempelkan pada sepasang pohon jambe itu. Bahkan pedang yang sudah karatan, bebatuan dan berbagai macam akar, tulang-tulang yang sudah kering. Dan yang telah membuat tengkuk Rara Wulan meremang, di sepasang pohon jambe itu bergantung pula masing-masing tengkorak manusia yang sudah kering pula. “Kakang,” desis Rara Wulan. “Agaknya sepasang pohon jambe ini merupakan gapura dari pintu gerbang keluar dan masuk lingkungan gerombolan itu. Jika benar, maka kita sekarang sudah berada di luar lingkungan mereka, Rara.” “Ya, Kakang. Tetapi apakah mereka pasti tak akan mengganggu kita, setelah kita berada di luar daerah kekuasaan mereka di padang perdu ini?” “Mudah-mudahan, Rara. Tetapi kita tidak boleh menjadi lengah. Jika saja tiba-tiba mereka menyerang, maka kita harus mempertahankan diri.” “Aku tidak akan berbaik hati terhadap gerombolan yang telah menggantungkan sepasang tengkorak manusia di pintu gerbangnya. Aku siap melontarkan Aji Namaskara pada seranganku yang pertama. Apalagi jika jumlah mereka cukup banyak.” Namun Glagah Putih pun berdesis, “Agaknya kita sudah menjadi semakin jauh dan orang-orang yang mengendap-endap mengamati kita itu.” “Ya. Agaknya memang demikian.” Sebenarnyalah bahwa mereka telah berada di luar pengamatan sebuah gerombolan yang terhitung garang yang bersarang di ujung hutan itu. Mereka telah membersihkan ujung hutan yang menjorok dari gerumbul-gerumbul perdu yang liar, dan mendirikan gubug-gubug di antara pepohonan raksasa di ujung hutan itu. Dalam pada itu, maka Glagah Putih pun berkata, “Rara. Menurut dugaanku, tanah ngarai ini adalah tanah yang memungkinkan untuk digarap menjadi sawah dan ladang. Tetapi agaknya gerombolan perampok itulah yang manakut-nakuti orang yang berniat menggarap tanah ngarai ini, sehingga menjadi padang ilalang dan gerumbul-gerumbul perdu yang lebat, dengan satu dua pohon-pohon yang besar dan tua.” “Rasa-rasanya aku telah menginjak pematang, Kakang.” “Bekas pematang, maksudmu?” “Ya. Tanah ngarai ini agaknya pernah menjadi tanah garapan. Tetapi entah karena apa, maka tanah ini telah ditinggalkan.” Glagah Putih dan Rara Wulan pun kemudian mulai memperhatikan tanah di sebelah-menyebelah jalan sempit yang mereka lalui. Seperti yang dikatakan oleh Rara Wulan yang berjalan di luar jalur jalan sempit itu, mereka memang mendapatkan jalur tanah yang agaknya bekas pematang sawah. “Ya. Tanah ini pernah menjadi tanah garapan,” berkata Glagah Putih. “Tetapi tanah ini sudah lama ditinggalkan. Tetapi pohon-pohon besar itu tentu sudah ada pada saat tanah ini menjadi tanah garapan.” Rara Wulan mengangguk-angguk. Namun beberapa ratus patok di hadapan mereka, nampak tanah garapan yang luas terbentang sampai ke cakrawala. Beberapa padukuhan nampak di kejauhan, bagaikan pulau-pulau kecil yang berada di tengah lautan yang tenang. “Ada beberapa kemungkinan, kenapa tanah ini tidak lagi digarap Rara.” Rara Wulan tidak menyahut. “Mungkin karena keberadaan gerombolan yang jahat, sehingga para petani menjadi ketakutan. Tetapi mungkin para petani tidak mempunyai cukup tenaga yang menggarap sawah yang demikian luas.” “Ya, Kakang,” sahut Rara Wulan sambil memandangi tanah yang sedemikian luasnya. Keduanya pun kemudian menuruni sebuah tebing yang rendah, dan memasuki jalan yang sedikit lebih lebar dari jalan yang baru saja dilaluinya. “Kita pergi ke padukuhan yang nampak itu, Rara.” Rara Wulan mengangguk-angguk. Sementara itu, panas matahari pun terasa semakin menyengat. Namun ketika mereka mulai memasuki tanah persawahan, maka di sebelah-menyebelah jalan terdapat pohon-pohon perindang. Ternyata penghuni padukuhan yang memiliki sawah yang luas itu menanami tanggul parit di sepanjang jalan yang panjang itu dengan pohon turi. Pohon yang berbunga putih, yang merupakan jenis sayuran yang banyak digemari. Semakin dekat dengan padukuhan di hadapan mereka, maka Glagah Putih dan Rara Wulan melihat semakin jelas bahwa padukuhan di hadapan mereka adalah sebuah padukuhan yang besar. Sebuah padukuhan yang memanjang, yang dilingkari dengan dinding padukuhan yang cukup tinggi. “Agaknya padukuhan itu telah melindungi dirinya dari para penjahat yang tinggal di hutan itu,” desis Glagah Putih. “Ya. Ternyata dengan dinding padukuhan yang tinggi. Mungkin memang terdapat permusuhan antara orang-orang padukuhan itu dengan gerombolan yang tinggal di ujung hutan itu.” Glagah Putih mengangguk-angguk. Dengan nada datar ia pun kemudian berkata, “Kita akan melewati padukuhan itu, Rara. Kita akan dapat melihat keadaan di padukuhan yang berdinding tinggi itu.” Rara Wulan mengangguk, la memang ingin melihat, apa yang terdapat dalam padukuhan yang berdinding tinggi itu. Beberapa saat kemudian, maka mereka berdua telah berada di jalan yang lebih besar lagi, langsung menuju ke pintu gerbang padukuhan yang sudah menjadi semakin dekat. Sementara itu, panas matahari terasa semakin menyengat. Namun pohon turi yang tumbuh berjajar di pinggir jalan itu telah banyak memberikan perlindungan kepada Glagah Putih dan Rara Wulan. Pada saat matahari sedikit melewati puncaknya, maka mereka berdua pun telah sampai ke pintu gerbang padukuhan Itu. Ternyata pintu gerbang padukuhan itu terbuka lebar, meskipun nampaknya pintu itu sengaja dibuat demikian kokohnya. Sehingga kesan yang menyentuh jantung Glagah Putih dan Rara Wulan, padukuhan itu memang sengaja melindungi dirinya sebaik-baiknya. Namun Glagah Putih dan Rara Wulan belum tahu, padukuhan itu melindungi diri dari siapa? Mungkin dari para penjahat di ujung hutan. Tetapi mungkin ada ancaman lain yang membuat seisi padukuhan itu harus berhati-hati. Ketika Glagah Putih dan Rara Wulan memasuki padukuhan yang besar itu, maka yang dilihatnya adalah jalan utama yang cukup lebar. Dinding halaman yang tertata rapi. Halaman rumah yang pada umumnya cukup luas dan bersih. Ketika Glagah Putih dan Rara Wulan masuk semakin dalam, dilihatnya beberapa orang remaja yang berjalan menggiring kambing dan domba. Di lambung mereka tergantung pedang. “Pedang,” desis Rara Wulan, “bukan sekedar alat untuk mencari rumput. Tetapi benar-benar pedang.” Glagah Putih mengangguk-angguk. Katanya, “Ya. Setiap remaja di padukuhan ini telah mempersenjatai dirinya sendiri dengan pedang. Apa yang telah menyebabkan mereka harus bersenjata?” “Mungkin ada ancaman dari luar padukuhan ini. sehingga setiap orang, termasuk remajanya, harus bersenjata.” “Mungkin sekali. Agaknya penjahat di sudut hutan itu.” Sebenarnyalah setiap laki-laki di padukuhan itu membawa senjata apapun juga. Ada yang membawa pedang, tongkat besi, tombak pendek atau apa saja. Tetapi kebanyakan di antara mereka membawa pedang di lambungnya. Selain membawa senjata, agaknya penghuni padukuhan itu juga selalu berhati-hati terhadap orang yang dianggapnya asing. Glagah Putih dan Rara Wulan merasa bahwa beberapa pasang mata selalu memandanginya. Dari balik pintu-pintu regol halaman, atau mereka yang berpapasan di jalan utama padukuhan itu. Bahkan dua orang anak muda yang berpapasan, dengan tidak segan segan lagi berhenti dan memperhatikan Glagah Putih dan Rara Wulan. “Rasa-rasanya kita menjadi tontonan di sini, Kakang.” “Bukan tontonan. Tetapi kita menjadi sosok yang nampaknya sangat dicurigai.” “Tentu ada persoalan yang gawat yang terjadi di padukuhan ini.” “Tetapi persoalan itu tentu sudah makan waktu yang lama dan agaknya masih belum terselesaikan. Dinding padukuhan itu tentu tidak baru kemarin sore didirikan. Menilik ujudnya, dinding itu tentu sudah agak lama dibuatnya.” “Ya, Kakang.” Rara Wulan pun menjadi semakin mendekati Glagah Putih sambil berdesis, “Kita benar-benar menjadi perhatian orang banyak di padukuhan ini.” Sebelum Glagah Putih menjawab, mereka melihat dua orang anak muda yang muncul dari regol halaman. Ternyata regol itu adalah regol banjar padukuhan yang besar itu. Banjar padukuhan itu adalah banjar yang terhitung luas. Bangunannya termasuk bangunan yang bagus. Bahkan tiang regolnya terbuat dari kayu berukir dan disungging lembut. Apalagi tiang-tiang pendapa banjar itu. Sebuah bangunan joglo yang terhitung besar dan luas. Glagah Putih dan Rara Wulan berhenti ketika kedua orang anak muda dengan isyarat telah menghentikan mereka. “Siapakah Ki Sanak berdua?” bertanya salah seorang dari kedua orang anak muda itu. Glagah Putih termangu-mangu sejenak. Namun kemudian ia pun menjawab, “Kami adalah pengembara, Ki Sanak. Kami mengembara dari satu tempat ke tempat yang lain.” “Kademangan manakah yang Ki Sanak singgahi yang terakhir, sebelum Ki Sanak sampai ke padukuhan kami?” “Kami berada di Seca, Ki Sanak.” “Apakah kalian terlibat dalam bentrokan berdarah yang terjadi di Seca?” Glagah Putih dan Rara Wulan saling berpandangan sejenak. Ternyata berita tentang gejolak yang terjadi di Seca begitu cepatnya telah sampai ke telinga penghuni padukuhan itu. “Tidak, Ki Sanak. Bahkan kami tidak tahu bahwa di Seca telah terjadi pertumpahan darah. Bahkan menurut penglihatan kami, Seca adalah satu kademangan yang tenang, aman dan terasa damai.” “Itu yang nampak di permukaan.” Glagah Putih termangu-mangu pula sejenak. Dengan nada ragu ia bertanya, “Apa maksud Ki Sanak?” Anak muda itu seakan-akan tidak mendengar pertanyaan Glagah Putih. Bahkan anak muda itu bertanya, “Kapan kau meninggalkan Seca?” “Kemarin siang, Ki Sanak.” “Dimana kau berada semalam? Maksudku, di mana kau bermalam semalam?” “Kami adalah pengembara, Ki Sanak. Kami dapat bermalam dimana saja. Semalam kami bermalam di sebuah padukuhan yang kering, yang tanahnya tandus. Tetapi nampaknya padukuhan itu mempunyai masa depan yang berpengharapan, karena padukuhan itu telah bangkit. Agaknya ada juga seseorang yang seakan-akan membangunkan mereka dari sebuah mimpi buruk, sehingga rakyat padukuhan kering itu telah bersama-sama bekerja keras membuat bendungan.” Anak muda itu mengangguk-angguk. Katanya, “Ya Padukuhan Tangkil memang sedang membuat bendungan.” “Aku bermalam di pategalan yang kering, di sebelah padukuhan itu.” “Kenapa kau tidak bermalam di padukuhannya? Di banjar misalnya?” Glagah Putih mulai mencari-cari jawab. Katanya, “Aku bertemu dengan seseorang yang sedang berada di pategalannya. Kami berdua menemaninya tidur di gubugnya.” “Kenapa orang itu tidur di gubugnya di pategalan? Apakah ada tanaman yang perlu ditungguinya?” “Tidak, Ki Sanak. Orang itu tidak menunggui tanaman apapun. Tetapi menurut orang itu, ia sedang bertengkar dengan istrinya, sehingga malam itu ia lebih senang tidur di pategalan.” Anak muda itu mengerutkan dahinya Namun kemudian ia berdesis, “Edan.” Glagah Putih dan Rara Wulan berdiri termangu mangu. Mereka menjadi agak tegang, apakah kata-kata Glagah Putih itu dipercaya atau tidak. Namun tiba-tiba saja anak muda yang seorang lagi bertanya, “Sebelum sampai ke padukuhan ini, kalian berada dimana?” Glagah Putih pun menjawab, betapapun jantungnya terasa berdebar, “Ki Sanak, justru itulah yang ingin kami tanyakan. Kami berjalan menyusur jalan di sebelah hutan, turun ke ngarai. Ketika kami menyeberangi padang perdu yang cukup luas itu, kami melihat beberapa batang lembing yang tertancap di tanah. Bahkan kami berdua melewati sepasang pohon jambe yang mengerikan.” “Kenapa mengerikan?” “Ada beberapa macam benda terikat bergayutan di sepasang pohon jambe tua itu. Yang mengerikan, di pohon jambe itu juga bergantungan dua buah tengkorak manusia yang sudah kering.” “Kalian lewati padang perdu itu?” “Ya.” “Beruntunglah kalian, bahwa kalian masih sempat melihat padukuhan ini.” “Kenapa?” bertanya Glagah Putih. “Kalian tidak menyentuh apapun yang ada di padang perdu itu? Maksudku, lembing dan pohon jambe, serta benda-benda yang bergayut pada lembing serta pohon jambe itu?” “Tidak, kami hanya lewat. Itupun agak tergesa-gesa.” Namun yang seorang lagi tiba-tiba saja bertanya pula, “Kalau semalam kau bermalam di Tangkil, kenapa baru sekarang kau sampai di sini?” Dengan serta-merta pula Glagah Putih menjawab, “Kami terlambat bangun. Akhirnya kami diminta singgah ke rumah orang yang sedang bertengkar dengan istrinya itu. Ternyata istrinya baik dan menghidangkan makan dan minum bagi kami berdua, sementara laki-laki yang bermalam di pategalan itu pergi ke sungai, ikut membuat bendungan.” Agaknya jawaban-jawaban Glagah putih cukup meyakinkan. Karena itu, maka kedua orang anak muda itu pun kemudian berkata, “Silahkan melanjutkan perjalanan kalian.” “Terima kasih, Ki Sanak. Tetapi apakah aku boleh bertanya sedikit lagi?” “Bertanya apa?” “Apakah setiap orang lewat juga mendapat pertanyaan-pertanyaan seperti pertanyaan kalian kepada kami berdua?” “Jika orang itu mencurigakan, maka kami tentu akan bertanya sebagaimana kami tanyakan kepada Ki Sanak.” “Terima kasih. Kami minta diri.” “Silahkan, Ki Sanak. Tetapi kalian harus menyadari bahwa kalian berdua termasuk orang-orang yang mencurigakan. Kalian berjalan berdua di teriknya panas matahari. Tetapi kalian seakan-akan berjalan di terang bulan. Kalian melihat-lihat setiap regol halaman, memperhatikan setiap rumah, dan bahkan anak-anak kami yang akan keluar menggembalakan kambing.” “Memang ada yang menarik perhatian kami, Ki Sanak.” “Apa?” “Aku melihat semua orang laki-laki di padukuhan ini bersenjata apa saja, seolah-olah padukuhan ini sedang dalam suasana perang. Bahkan anak-anak remaja yang menggembalakan kambing itu pun membawa senjata pula di lambungnya. Bukankah itu sangat menarik perhatian bagi para pengembara?” Kedua orang anak muda itu saling berpandangan. Namun kemudian seorang di antara mereka menjawab, “Tidak. Tidak ada hubungan apa-apa antara senjata yang dibawa oleh setiap laki-laki di sini dengan perang. Kami tidak sedang berperang dengan siapa-siapa. Senjata bagi laki-laki di padukuhan ini merupakan kelengkapan pakaian mereka.” “Hanya sekedar kelengkapan?” “Ya.” “Apakah ada ancaman dari mereka yang memasang pertanda di padang perdu itu, sehingga padukuhan ini harus membuat dinding yang tinggi, serta setiap laki-laki harus membawa senjata?” “Tidak, kau dengar?” bentak seorang di antara kedua orang anak muda itu. “Sudah aku katakan, senjata adalah sekedar kelengkapan pakaian bagi kami. Laki-laki yang tidak membawa senjata, menurut adat di padukuhan ini dianggap pengecut. Sekali lagi aku katakan, kami tidak sedang berperang dengan siapa-siapa.” “Maaf, Ki Sanak,” sahut Glagah Putih, “sebenarnyalah aku menjadi ketakutan. Apalagi istriku ini. Itulah sebabnya maka kami berjalan dengan ragu-ragu di jalan utama padukuhan ini. Dalam ketakutan, kami memperhatikan setiap regol halaman, karena kami mengira bahwa tiba-tiba saja kami akan mendapat perlakuan yang kurang baik.” “Jika kau terlalu banyak berbicara, maka kalian berdua justru akan mendapat perlakuan yang tidak baik. Jika kalian berdua tidak segera pergi, maka mungkin sekali kalian akan benar-benar kami tangkap.” “Baik, baik. Kami minta diri, Ki Sanak.” Glagah Putih dan Rara Wulan itu pun segera meninggalkan kedua orang anak muda yang menjadi marah itu. Agaknya pertanyaan-pertanyaan Glagah Putih telah menyinggung perasaan mereka. Ternyata padukuhan itu memang sebuah padukuhan yang panjang. Glagah Putih dan Rara Wulan memerlukan waktu beberapa lama untuk mencapai ujung jalan utama yang lain. Beberapa saat kemudian, maka Glagah Putih dan Rara Wulan pun telah berada di luar pintu gerbang padukuhan di ujung yang lain itu. Namun di sepanjang jalan utama, keduanya memang merasakan bahwa orang-orang padukuhan itu yang melihat mereka berdua nampak menjadi curiga. Bahkan beberapa orang anak muda sengaja berdiri di pinggir jalan memperhatikan Glagah Putih dan Rara Wulan lewat Tetapi mereka sama sekali tidak mengganggu. Bahkan mereka bergeser melekat dinding halaman ketika Glagah Putih dan Rara Wulan berjalan di depan mereka. “Selamat siang, Ki Sanak,” Glagah Putih pun memberikan salam kepada anak-anak muda itu. Ternyata ada di antara anak-anak muda itu yang menyahut, “Selamat siang.” “Tentu sesuatu telah terjadi di padukuhan itu,” desis Rara Wulan. “Suasananya terasa tegang. Semua orang rasa-rasanya siap untuk bertempur.” “Agaknya ada hubungannya dengan pertanda yang pernah kita lihat di padang perdu itu, meskipun mereka mengatakan tidak.” “Ya. Agaknya memang demikian. Agaknya padukuhan ini telah bermusuhan dengan penghuni ujung hutan itu untuk waktu yang lama.” “Jika permusuhan itu tidak kunjung berakhir, maka tatanan kehidupan di padukuhan itu pun akan selalu dibayangi oleh kecemasan. Setiap saat orang-orang di ujung hutan itu dapat datang menyerang. Bahkan mungkin mereka dapat berbuat jahat terhadap orang-orang yang sedang berada di sawah atau perempuan yang pergi ke pasar.” “Jika permusuhan itu sudah berlangsung lama, maka penghuni padukuhan itu pun tentu sudah dapat menyesuaikan diri.” “Tetapi anak-anak dan remaja yang tumbuh dalam suasana yang tegang itu akan dapat terpengaruh. Sifat dan wataknya pun akan dibentuk dalam suasana permusuhan.” Keduanya pun kemudian terdiam. Mereka berjalan semakin jauh dari padukuhan yang berdinding tinggi itu. Mereka menempuh jalan bulak yang panjang untuk sampai ke padukuhan yang lain. Panas matahari terasa semakin membakar kulit. Pohon-pohon perindang menjadi semakin jarang. Agaknya padukuhan berikutnya tidak begitu tertarik untuk menanam pohon turi di pinggir jalan bulak. Yang ditemui oleh Glagah Putih adalah justru pohon gayam. Tetapi jarak batang gayam yang satu dengan yang lain agak panjang. Namun daun gayam memang lebih rimbun dari daun turi. Tetapi semakin besar batangnya, maka akar-akarnya akan membuat pangkal batangnya menjadi besar, sehingga mengurangi lebar jalan. Bahkan di sisi lain akan dapat mengganggu tanggul parit. Keduanya pun terhenti sejenak, ketika mereka berada di atas sebuah jembatan kayu yang menyilang susukan yang airnya cukup deras. Agaknya air di susukan itu tidak pernah kering meskipun di musim kemarau. “Susukan inilah yang agaknya membuat daerah ini nampak subur,” desis Glagah Putih. “Ya. Tanahnya subur, sehingga tanaman di sawah pun nampak subur. Tetapi suasana tegang di padukuhan itu terasa agak mengganggu.” Namun Glagah Putih dan Rara Wulan terkejut ketika mereka mendengar suara anak-anak yang berteriak-teriak. Ketika mereka berpaling, mereka melihat beberapa orang remaja berdiri di atas tanggul. Ternyata para remaja itu tidak hanya sekedar berteriak-teriak. Tetapi mereka melempari batu ke arah seberang susukan. Glagah Putih dan Rara Wulan melihat beberapa orang remaja yang lain berada di seberang susukan. Namun mereka tidak membalas. Mereka justru pergi menjauhi susukan itu. Agaknya remaja di seberang susukan itu sedang menunggui burung yang dapat merampas hasil panenan mendatang. Karena yang berterbangan di atas batang padi yang mulai merunduk itu bukan saja sepuluh dua puluh, tetapi sekelompok burung pipit, sehingga menyerupai awan yang kelabu bergerak rendah dan cepat di atas batang-batang padi. “Apa yang sebenarnya terjadi?” desis Rara Wulan. “Para remaja yang melempari batu itu tentu remaja dari padukuhan yang baru saja kita lewati.” “Ya. Mereka pun bersenjata. Mereka membawa parang atau pedang atau senjata-senjata yang lain.” Glagah Putih dan Rara Wulan masih saja termangu-mangu menyaksikan beberapa orang remaja yang melempari batu itu. Tetapi ketika beberapa orang remaja di seberang susukan itu pergi, maka mereka pun segera berhenti. Beberapa saat mereka masih berdiri di atas tanggul. Namun kemudian ketika mereka melihat Glagah Putih dan Rara Wulan, mereka pun berlari-lari mendatanginya. “Apa yang akan mereka perbuat?”desis Rara Wulan. “Entahlah.” “Apakah kita harus lari untuk menghindari mereka?” “Tidak, Rara. Kita akan berada di sisi lain dari jembatan ini. Maksudku di seberang susukan.” Glagah Putih dan Rara Wulan pun kemudian beringsut dan berdiri di ujung jembatan. Ternyata anak-anak remaja itu tidak mau mendekati mereka. Mereka berhenti di ujung jembatan yang lain. “Bukankah kalian yang kami jumpai di padukuhan kami tadi?” Glagah Putih dan Rara Wulan mengangguk. Mereka teringat kepada beberapa orang remaja bersenjata yang menggiring binatang peliharaan mereka. Mereka tidak sekedar membawa alat-alat untuk menyabit rumput, tetapi mereka benar-benar membawa pedang atau senjata yang lain. “Sekarang kalian akan pergi kemana?” “Kami adalah pengembara. Kami berjalan saja tanpa tujuan.” “Apakah kalian telik dari Kademangan Prancak di pinggir Kali Elo?” “Kademangan Prancak?” “Ya. Yang bersebelahan dengan Kademangan Payaman.” “Tidak, anak-anak. Kami adalah pengembara. Kami belum pernah tinggal di Kademangan Prancak. Apakah kademangan Prancak masih jauh?” “Kalian sekarang berada di Kademangan Prancak.” Glagah Putih dan Rara Wulan termangu-mangu sejenak. Baru kemudian dengan nada datar Glagah Putih berkata, “Jika aku sekarang berada di Kademangan Prancak, kenapa kalian bertanya apakah aku telik dari Kademangan Prancak? Bukankah kalian telah mengenal orang-orang Kademangan Prancak? Jika kalian belum mengenal, kakak-kakak kalian atau ayah kalian atau siapapun yang melihat kami, tentu akan dapat mengenali kami.” “Yang menjadi telik bagi Kademangan Prancak tidak harus orang Prancak. Orang Prancak dapat mengupah orang yang tidak dikenal di padukuhan kami, untuk melihat sejauh mana kesiapan kami menghadapi Kademangan Prancak.” “Aku menjadi bingung, tole. Aku tidak tahu apa yang kau maksud?” Anak itu masih akan menjawab. Tetapi tiba-tiba saja kawannya menariknya sambil berkata, “Sudahlah. Jika mereka tidak tahu, biar saja tidak tahu. Kita kembali ke kambing-kambing kita.” Anak-anak remaja itu pun segera berlari menghambur meninggalkan Glagah Putih dan Rara Wulan. “Apakah yang dimaksud anak-anak itu?” desis Rara Wulan. “Masih belum jelas, Rara. Tetapi yang aku tangkap adalah satu kenyataan bahwa ada gejolak di Kademangan Prancak.” “Ternyata padukuhan itu tidak mempersiapkan diri atau justru dalam permusuhan yang lama dengan orang-orang yang bersarang di ujung hutan. Tetapi justru persoalan yang tumbuh di Kademangan Prancak ini sendiri.” Selagi Glagah Putih dan Rara Wulan termangu-mangu, mereka melihat beberapa orang anak remaja dari seberang susukan itu mendatangi mereka pula. Tetapi sikap mereka agak berbeda. Anak-anak dari seberang susukan itu nampak ragu-ragu, meskipun mereka berjalan terus ke arah Glagah Putih dan Rara Wulan. “Nampaknya mereka tidak bersikap bermusuhan,” desis Rara Wulan. “Ya. Meskipun demikian, kita harus tetap berhati-hati. Mungkin sesuatu yang tidak pernah kita duga akan terjadi.” Beberapa saat Glagah Putih dan Rara Wulan menunggu. Mereka tidak beringsut lagi dari tempat mereka berdiri di seberang jembatan. Agaknya anak-anak itu mempunyai sifat dan watak yang berbeda dengan anak-anak padukuhan yang baru saja mereka tinggalkan. Beberapa langkah dari Glagah Putih dan Rara Wulan, beberapa orang anak remaja itu berhenti. Mereka nampak semakin ragu-ragu. Namun Glagah Putih-lah yang kemudian berkata, “Kemarilah. Mendekatlah. Mungkin kita dapat berbincang.” Anak-anak itu masih nampak ragu-ragu. Namun kemudian dua orang di antara mereka pun melangkah mendekat, sedangkan yang lain berdiri saja seakan-akan membeku di tempatnya. “Paman dan Bibi,” bertanya seorang di antara kedua orang remaja yang mendekat itu, “siapakah Paman dan Bibi?” “Kami adalah pengembara, tole. Kami kebetulan saja lewat Kademangan Prancak ini.” “Apakah Paman dan Bibi belum mengenal anak-anak yang tadi menemui Paman dan Bibi?” “Belum,” jawab Glagah Putih, “kami belum mengenal mereka. Tetapi kami tadi melihat mereka di padukuhan sebelah.” “Padukuhan Babadan.” “Jadi padukuhan itu namanya padukuhan Babadan?” “Ya,” jawab anak itu. “Apakah kalian bermusuhan dengan anak-anak Babadan, sehingga mereka melempari kalian?” “Babadan menganggap kami sebagai musuh-musuh. Bukan hanya anak-anak sebaya kami, tetapi juga orang-orang tua kami.” “Kenapa?” “Padukuhan Babadan sebenarnya termasuk lingkungan Kademangan Prancak. Tetapi dua padukuhan besar, yang satu di antaranya adalah Babadan, menyatakan bahwa seharusnya padukuhan induk Kademangan Prancak itu adalah Babadan. Demangnya harus orang Babadan, sementara padukuhan-padukuhan lain akan menjadi wilayah Kademangan Prancak, yang padukuhan induknya adalah padukuhan Babadan.” “Apakah dengan demikian, maka orang-orang Babadan memusuhi orang-orang padukuhan lain di Kademangan Prancak?” “Ya. Anak-anak Babadan juga memusuhi kami.” Glagah Putih dan Rara Wulan pun mengangguk-angguk. Persoalan yang timbul di Prancak itu sangat menarik perhatian mereka. Tetapi apakah perselisihan yang terjadi di Prancak itu sudah demikian parahnya sehingga orang-orang Babadan telah membangun dinding padukuhan yang tinggi serta membekali setiap orang dengan senjata? Glagah Putih dan Rara Wulan terkejut ketika seorang di antara kedua orang remaja itu bertanya, “Apakah Paman dan Bibi akan singgah di padukuhan kami?” “Dimana padukuhanmu?” “Kami tinggal di padukuhan itu, padukuhan Karang Lor.” Glagah Putih dan Rara Wulan memandang ke arah remaja itu menunjuk. Sebuah padukuhan di seberang bulak. Nampaknya juga sebuah padukuhan yang besar, sebesar padukuhan Babadan. Namun agaknya gaya hidup orang Karang Lor berbeda dengan gaya hidup orang Babadan, meskipun sebenarnya keduanya termasuk satu kademangan. “Jika kami singgah di padukuhanmu, apakah kami tidak dicurigai sebagaimana kami berada di Babadan?” “Seandainya demikian, bukankah Paman dan Bibi dapat menjelaskan siapakah Paman dan Bibi sebenarnya ? Bukankah Paman dan Bibi dapat mengatakan bahwa Paman dan Bibi adalah seorang pengembara?” Glagah Putih dan Rara Wulan termangu-mangu sejenak. Jika keberadaan mereka di padukuhan Karang Lor justru menimbulkan persoalan, maka persoalan itu akan dapat menghambat perjalanan mereka. Namun seorang di antara kedua orang remaja yang mendekatinya itu berkata sambil menepuk bahu kawannya, “Anak ini adalah anak bebahu padukuhan Karang lor. Ayahnya seorang Kebayan.” Glagah Putih dan Rara Wulan mengangguk-angguk. “Bagaimana pendapatmu, Rara?” bertanya Glagah Putih. “Agaknya tidak ada salahnya jika kita singgah di Karang Lor. Tetapi tentu tidak terlalu lama.” Glagah Putih mengangguk-angguk. Lalu katanya kepada kedua orang anak yang menemuinya, sementara kawan-kawannya memandangi dari kejauhan, “Apakah kalian akan pulang?” “Kami menunggui burung di sawah. Burung pipit itu mencuri padi-padi kami.” Namun kawannya itu berkata, “Aku akan mengantarkan Paman dan Bibi, jika Paman dan Bibi akan singgah di Karang Lor.” Glagah Putih dan Rara Wulan tersenyum. Dengan nada berat Glagah Putih pun berkata, “Baiklah. Aku akan singgah di rumahmu.” Remaja itu pun mengajak seorang kawannya yang lain untuk menemaninya pergi ke padukuhan. Remaja itu adalah anak yang disebut ayahnya seorang Kebayan. Sambil berjalan menuju ke padukuhan, Rara Wulan pun bertanya, “Apakah kalian sering berkelahi dengan anak-anak Babadan?” “Tidak, Bibi,” jawab anak Ki Kebayan itu, “tetapi setiap kali kami bertemu, mereka tentu melempari batu. Agaknya jika ada seorang di antara kami yang berani pergi ke seberang susukan, maka mereka benar-benar akan memukuli kami.” “Apakah susukan ini merupakan batas antara Karang Lor dengan Babadan?” “Ya. Sekarang menjadi batas antara dua padukuhan yang memisahkan diri dari Kademangan Prancak dengan padukuhan-padukuhan yang lain, sampai susukan ini keluar dari Kademangan Prancak dan mengairi sawah di daerah Payaman.” “Sedangkan susukan ini sendiri?” “Semua pihak menghormati susukan ini, karena susukan ini mengairi kademangan-kademangan lain pula.” Glagah Putih dan Rara Wulan mengangguk-angguk. Sementara mereka berjalan terus bersama dua orang remaja, menuju ke padukuhan yang sudah berada tidak jauh di hadapan mereka. “Padukuhan kalian ternyata juga termasuk padukuhan yang besar, sebagaimana padukuhan Prancak,” berkata Glagah Putih kemudian. “Ya, Paman. Padukuhan kami hampir sama besar dengan padukuhan Prancak.” “Bagaimana dengan jumlah penghuninya? Manakah yang lebih banyak?” Anak itu menggeleng sambil menjawab, “Entahlah, Paman. Aku tidak tahu.” Glagah Putih tidak bertanya lagi. Sementara itu mereka sudah berada tidak jauh lagi dari gerbang padukuhan. Namun dinding padukuhan Karang Lor itu tidak dibuat setinggi dinding padukuhan Prancak. “Apakah orang-orang Karang Lor lebih garang dari orang-orang Prancak? Apakah justru orang-orang dari Karang Lor-lah yang sering mendatangi orang-orang Prancak?” bertanya Glagah putih di dalam hatinya. Dalam pada itu, Glagah Putih dan Rara Wulan bersama kedua orang remaja itu telah memasuki padukuhan Karang Lor. Demikian mereka masuk, maka mereka pun merasakan perbedaan suasana dengan padukuhan Prancak. Rasa-rasanya tidak ada ketegangan di padukuhan Karang Lor. Anak-anak bermain-main di jalan-jalan padukuhan dengan riuhnya. Para remajanya, bahkan anak-anak mudanya, tidak membawa senjata di lambungnya. “Jika Prancak memusuhi seluruh kademangan, mereka tentu juga memusuhi padukuhan ini. Tetapi kenapa di padukuhan ini sama sekali tidak nampak nafas permusuhan itu, sehingga padukuhan Karang Lor ini nampaknya tetap tenang-tenang saja?” Tetapi Glagah Putih dan Rara Wulan menyadari, bahwa mereka tidak akan mendapat jawaban yang memuaskan jika mereka bertanya kepada remaja yang mengantar mereka itu. Karena itu, Glagah Putih menyimpan pertanyaannya sehingga ia dapat bertemu dengan Ki Kebayan. Ayah remaja yang mengantarkannya itu. Demikian mereka melangkah beberapa puluh langkah memasuki padukuhan Karang Lor, maka remaja yang mengantarkan mereka itu pun berhenti di depan sebuah regol halaman yang terhitung luas. “Ini rumahku, Paman,” berkata seorang di antara kedua remaja itu. “O,” Glagah Putih mengangguk-anggukm “apakah ayahmu ada di rumah?” “Ketika aku berangkat ke sawah, Ayah ada di rumah. Mungkin sekarangpun Ayah masih ada di rumah.” Sebelum Glagah Putih menyahut, anak itu pun telah berlari memasuki halaman rumahnya, langsung masuk lewat pintu seketheng. Anak yang seorang lagi itu pun berkata, “Silahkan masuk, Paman dan Bibi.” Glagah putih dan Rara Wulan tersenyum. Ternyata unggah-ungguh anak itu pun cukup baik. Ketika mereka memasuki halaman rumah Ki Kebayan, maka Ki Kebayan telah keluar dari pintu pringgitan bersama anak laki-lakinya yang sudah remaja itu. “Marilah, silahkan, Ki Sanak,” Ki Kebayan itu mempersilahkan Glagah Putih dan Rara Wulan naik ke pendapa. Ketika Glagah putih dan Rara Wulan kemudian duduk di pringgitan bersama Ki Kebayan, maka anak Ki Kebayan itu sudah berlari menghambur ke halaman. Bersama kawannya anak itu pun berlari keluar regol dan turun ke jalan. Agaknya mereka akan kembali ke sawah, menunggui burung yang sering mencuri padi yang sudah hampir tua itu. Di pringgitan, Ki Kebayan itu pun bertanya kepada Glagah Putih dan Rara Wulan, “Ki Sanak berdua, anakku itu tidak sempat mengatakan apa-apa kepadaku tentang Ki Sanak. la hanya mengatakan bahwa ada tamu di depan. Lalu ia berlari pergi seperti yang Ki Sanak lihat.” “Kami bertemu dengan anak itu di sawah, Ki Kebayan. Bukankah aku berbicara dengan Ki Kebayan?” “Ya. Aku adalah kebayan padukuhan Karang Lor.” “Anak itulah yang mengatakan kepadaku, bahwa ayahnya adalah seorang Kebayan.” “Ya.” “Apa yang kami lihat di sawah telah membuat kami tertarik untuk singgah.” “Apa yang Ki Sanak lihat?” “Anak-anak Prancak telah melempari batu anak-anak Karang Lor dari seberang susukan.” “Apakah anak-anak Karang Lor membalas?” “Tidak, Ki Kebayan. Selain itu, banyak hal yang menarik perhatian kami di sepanjang perjalanan kami.” “Siapakah sebenarnya Ki Sanak berdua ini?” “Kami adalah suami istri yang sedang mengembara, Ki Kebayan. Kami tidak mempunyai tujuan. Kami berjalan menurut keinginan kaki kami.” Ki Kebayan itu tersenyum. Sambil mengangguk-angguk ia pun bertanya, “Ki Sanak berdua ini berasal dari mana?” “Kami berasal dari Jati Anom.” “Jati Anom dekat Gederan, Ngupit, Macanan, Sangkal Putung?” “Ki Kebayan mengenal daerah itu dengan baik.” “Ya. Aku sering pergi ke Macanan.” Glagah Putih mengangguk-angguk. Katanya kemudian, “Ya. Aku berasal dari Jati Anom. Ayahku orang Banyu Asri.” “Jadi kalian bukan seorang pengembara yang berasal dari ujung negeri ini, atau justru dari seberang lautan. Asal kalian dekat saja. Jati Anom.” Glagah Putih tersenyum. Katanya, “Ya. Kami memang baru mulai. Jarak yang kami tempuh memang baru pendek saja.” “Lalu, apakah kalian mempunyai tujuan, setidak-tidaknya arah perjalanan?” “Kami akan pergi ke selatan, lewat Tanah Perdikan Menoreh.” “Jadi kalian akan pergi ke Tanah Perdikan Menoreh?” “Ya, Ki Kebayan.” “Lalu?” “Entahlah,” jawab Glagah Putih. “Tanah Perdikan Menoreh sudah tidak terlalu jauh lagi. Tetapi jalannya tidak begitu menyenangkan untuk dilewati. Kalian akan melewati jalan-jalan yang rumit, padang perdu, bahkan hutan yang lebat. Namun sekali-kali kalian akan melewati padukuhan yang ramai, seperti padukuhan-padukuhan di Kademangan Prancak ini.” “Ya, Ki Kebayan. Kami sudah siap menempuh jalan yang bagaimanapun rumitnya. Namun daerah yang rumit itu justru tidak banyak menarik perhatian. Daerah yang sulit itu tidak akan banyak menimbulkan pertanyaan-pertanyaan, kecuali mungkin keluhan karena kami harus mengerahkan banyak tenaga.” “Apa maksudmu, Ki Sanak?” “Ki Kebayan. Seperti sudah aku katakan, aku menjadi heran melihat hubungan antara padukuhan Karang Lor dengan padukuhan Babadan di seberang susukan.” Ki Kebayan menarik nafas panjang. Katanya, “Hubungan kami memang tidak begitu baik, Ki Sanak.” “Bukankah Babadan dan Karang Lor ini sama-sama berada di Kademangan Prancak?” “Ya.” “Kenapa permusuhan itu dapat terjadi?” “Jangankan dua padukuhan di satu kademangan, sedangkan saudara kandung yang tinggal serumah saja dapat saling bermusuhan.” Glagah Putih mengangguk-angguk. Katanya, “Ki Kebayan benar. Tetapi persoalan yang timbul antara Karang Lor dan Babadan akan dapat menimbulkan banyak masalah bagi Kademangan Prancak.” “Persoalannya itu sebenarnya bukan antara Karang Lor dan Babadan, tetapi antara Babadan dan seluruh Kademangan Prancak. Karena padukuhan Karang Lor itu juga berada di Kademangan Prancak. Tetapi orang-orang Karang Lor tidak mau mendukung niat orang-orang Babadan, yang menurut pendapat orang-orang Karang Lor tidak masuk akal, maka orang-orang Babadan menjadi marah dan memusuhi Karang Lor. Tetapi kami tidak bersikap bermusuhan seperti orang-orang Babadan. Kami tetap saja bersikap wajar.” “Apakah sikap Karang Lor tercermin pada sikap anak-anak itu, Ki Kebayan? Meskipun mereka dilempari batu, tetapi mereka tidak akan membalas. Yang mereka lakukan hanya menjauh dan menghindari benturan kekerasan.” “Ya. Itulah yang kami lakukan. Kami tidak merasa perlu untuk mempergunakan kekerasan.” “Kalau orang-orang Babadan mempergunakan kekerasan seperti yang dilakukan oleh anak-anak mereka terhadap anak-anak Karang Lor?” “Jika kami tidak melayani mereka, apa yang akan mereka lakukan? Sampai sekarang, orang-orang Babadan tidak berbuat apa-apa terhadap kami, meskipun mereka sudah mempersiapkan diri untuk memaksakan kehendak mereka terhadap Kademangan Prancak.” “Tetapi bukankah orang-orang Babadan telah melanggar paugeran, karena mereka ingin merebut kekuasaan atas Prancak?” “Ya.” “Kenapa orang-orang Karang Lor tidak bersikap tegas saja?” “Maksudmu menentang kekerasan dengan kekerasan?” “Ya.” “Tidak. Kami tidak akan melakukannya. Ternyata orang-orang Babadan juga tidak melakukan kekerasan terhadap kami.” “Baru saja aku melihat anak-anak Babadan melempari batu anak-anak Karang Lor.” “Mereka hanya anak-anak.” “Tetapi jika itu cermin sikap orang tuanya, sebagaimana anak-anak Karang Lor yang merupakan cermin sikap orang tua mereka, maka pada suatu saat orang-orang Babadan akan datang dan memaksakan kehendak mereka dengan kekerasan.” Ki Kebayan menarik nafas panjang. Kemudian katanya, “Tidak, mereka tidak akan melakukannya terhadap orang-orang Karang Lor. Mungkin terhadap padukuhan lain di Kademangan Prancak.” “Jadi orang-orang Karang Lor akan tetap saja mengambang?” “Sudahlah, Ki Sanak. Kalian bukan apa-apa di sini. Kalian bukan orang Karang Lor. Bahkan kalian bukan orang Kademangan Prancak. Jika kalian ingin pergi ke Tanah Perdikan Menoreh, silahkan. Kalian tidak usah mengurusi kami, orang-orang Karang Lor. Bahkan orang-orang Kademangan Prancak. Biarlah kami menentukan sikap kami sendiri sesuai dengan kehendak kami.” Glagah Putih menarik nafas panjang. Katanya, “Baiklah, Ki Kebayan. Aku minta maaf. Sebenarnyalah kami hanya ingin tahu apa yang telah bergejolak di padukuhan ini.” Ki Kebayan itu menarik nafas panjang. Katanya, “Itu akan lebih baik bagimu, Ki Sanak. Selamat jalan.” Glagah Putih dan Rara Wulan saling berpandangan sejenak. Mereka merasa bahwa Ki Kebayan itu menginginkah mereka berdua segera pergi. Glagah Putih dan Rara Wulan pun segera turun dari pendapa. Sekali lagi mereka minta diri untuk melanjutkan perjalanan mereka ke Tanah Perdikan Menoreh. Namun mereka tertegun ketika mereka melihat empat orang berkuda memasuki halaman rumah itu tanpa turun dari kudanya. Tiba-tiba saja wajah Ki Kebayan menjadi pucat. Di luar sadarnya ia pun berdesis, “Ki Jagabaya Babadan.” Glagah Putih dan Rara Wulan mendengar desis Ki Kebayan itu. Karena itu, maka mereka pun menjadi berdebar-debar pula. Yang datang itu adalah Ki Kebayan Babadan. Menilik ujudnya, Ki Kebayan Babadan adalah seorang yang seram. Wajahnya yang keras menunjukkan kekerasan hatinya pula. Kumisnya yang melintang di bawah hidungnya. Matanya yang tajam seperti mata burung hantu. “Ki Kebayan,” suara Ki Jagabaya Babadan itu bagaikan menggetarkan halaman rumah Ki Kebayan, “kau sembunyikan telik sandi dari Prancak ini?” “Siapakah yang kau tuduh sebagai telik sandi dari Prancak?” “Kedua orang ini. Kedua orang laki-laki dan perempuan ini.” “Bagaimana mungkin aku menyembunyikan mereka? la ada di sini sekarang, di hadapanmu.” “Kalau aku tidak segera datang, maka kedua orang ini tentu tidak akan aku ketemukan.” “Kenapa kau menuduh mereka telik sandi dari Prancak, sedangkan mereka adalah orang-orang yang tidak aku kenal? Karena itu, maka untuk apa aku menyembunyikan orang yang tidak aku kenal?” “Jika saja Karang Lor bersikap seperti padukuhan-padukuhan lain, maka aku akan membunuhmu. Tetapi Karang Lor bersikap lain, maka aku akan membiarkan kau hidup. Tetapi aku akan membawa kedua orang ini.” “Apakah benar mereka telik sandi orang Prancak?” “Tentu. Mereka memang bukan orang Prancak. Tapi mereka tentu diupah oleh Demang Prancak yang sekarang, untuk mengamati padukuhan Babadan dan sekitarnya. Agaknya ia sudah melakukannya dengan baik. la berhasil mengelabui anak muda kami yang lugu dan jujur. Anak-anak muda kami tidak akan mempertimbangkan kemungkinan orang dapat berlaku licik seperti mereka berdua.” “Terserah saja kepada Ki Jagabaya Babadan, apa yang akan kau lakukan terhadap kedua orang itu. Aku tidak tahu menahu tentang keduanya.” “Bagus, Ki Kebayan. Sebaiknya kau memang tidak menghalangi aku. Siapa yang mencoba menghalangi aku, akan mengalami nasib buruk seperti orang-orang yang berada di sawah itu.” “Siapa? Orang-orang Karang Lor?” “Bukan. Bukan orang-orang Karang Lor. Mereka adalah orang-orang Wijil. Orang-orang yang sombong, yang merasa orang di seluruh jagad ini tidak ada yang mampu menandingi kemampuan mereka.” “Apa yang telah kau lakukan terhadap orang-orang padukuhan Wijil?” “Lima orang Wijil mencoba untuk menangkap kami berempat, karena mereka menganggap kami telah berani melintasi jembatan pada susukan itu. Mereka tidak mau mengerti, bahwa kami sedang memburu dua orang petugas sandi dari Prancak yang mengamati padukuhan Babadan.” “Apa yang kemudian terjadi atas orang-orang Wijil itu?” “Aku tak tahu, apakah mereka mati, pingsan atau terluka parah.” Ki Kebayan menarik nafas panjang. “Sekarang, jangan halangi aku membawa kedua orang ini. Bukankah kedua orang ini yang baru saja melintasi jembatan di atas susukan itu? Bukankah mereka berdua yang baru saja melewati jalan utama padukuhan Babadan?” “Bertanyalah sendiri kepadanya,” berkata Ki Kebayan, “aku baru saja mengusirnya untuk meninggalkan Karang Lor.” “Kau mengusirnya?” “Ya.” “Kenapa?” “la berusaha untuk menghasut aku, agar aku melakukan perlawanan terbuka terhadap Babadan.” “Nah, bukankah tuduhan kami benar, bahwa keduanya adalah petugas sandi dari Prancak, yang bukan saja harus mengamati padukuhan Babadan, tetapi juga menghasut permusuhan.” “Mungkin kau benar.” “Baiklah, Ki Kebayan. Aku akan membawa keduanya. Jika keduanya berbuat macam-macam di jalan, kami akan bertindak tegas. Nyawa keduanya memang tidak berharga bagi kami.” “Terserah kepada kalian.” Ki Jagabaya Babadan itu pun kemudian berkata kepada Glagah Putih dan Rara Wulan, “Ikut kami. Jangan membantah.” “Tetapi kami tidak merasa melakukan pengamatan di Babadan. Kami bukan telik sandi dari Prancak. Kami baru sekali ini menginjakkan kaki di Kademangan Prancak.” “Jangan banyak bicara. Ikut kami, atau kami harus melakukan kekerasan terhadap kalian berdua.” Ketika Rara Wulan memandang Glagah Putih untuk minta pertimbangan, ia melihat Glagah Putih mengangguk kecil. Karena itu, maka Rara Wulan pun tidak berbuat apa-apa, selain mengikuti Glagah Putih sambil berpegang lengannya. Ki Jagabaya dari Babadan itu pun kemudian membentak, “Ayo jalan! Kita pergi ke Babadan.” Glagah Putih tidak melawan. la pun berjalan ke regol halaman. Rara Wulan masih saja berpegangan lengan suaminya. “Kami tidak bersalah, Ki Sanak.” berkata Glagah Putih sambil turun ke jalan di depan rumah Ki Kebayan. “Diam!” bentak Ki Jagabaya dari Babadan, “kami tidak pernah memaafkan orang-orang yang telah menjual dirinya menjadi telik sandi di Babadan.” “Apakah sebelum kami, Ki Jagabaya sudah pernah menangkap orang yang menjadi telik sandi di Babadan?” “Jangan pura-pura tidak tahu. Kami telah menghukum mati lima orang yang telah diupah oleh orang-orang Prancak untuk menjadi telik sandi di Babadan.” Glagah Putih menarik nafas panjang. Ternyata sudah ada korban yang jatuh karena tuduhan itu. Glagah Putih dan Rara Wulan pun kemudian berjalan sepanjang jalan utama padukuhan Karang Lor menuju ke pintu gerbang. Beberapa orang sempat menyaksikannya dari balik pintu regol halaman mereka masing-masing yang sedikit terbuka. “Mereka telah terjerumus ke dalam nasib buruk,” desis orang-orang Karang Lor yang sempat melihat keduanya digiring oleh empat orang berkuda. Orang-orang berkuda yang menggiring Glagah Putih dan Rara Wulan itu pun telah membentak-bentak mereka pula, agar mereka berjalan lebih cepat. Beberapa saat kemudian, mereka telah berada di bulak panjang. Glagah Putih dan Rara Wulan menjadi berdebar-debar ketika mereka melihat beberapa orang laki-laki berada di bulak panjang itu. Mereka ternyata sedang mengerumuni beberapa sosok tubuh yang terbaring di pinggir jalan. Agaknya orang-orang itulah yang dikatakan oleh Ki Jagabaya Babadan. Lima orang dari padukuhan Wijil yang mencoba menangkap Ki Jagabaya serta ketiga orang yang berkuda bersamanya itu. Namun ketika mereka melihat empat orang berkuda yang menggiring Glagah Putih dan Rara Wulan. maka orang-orang itu pun menyibak. “Jangan berbuat bodoh,” berkata Ki Jagabaya Babadan. “Jika kalian menghalangi aku, maka nasib kalian akan sama seperti kelima orang kawanmu yang dungu itu.” Orang-orang yang berdiri di pinggir jalan sebelah-menyebelah itu termangu-mangu sejenak. Namun seorang di antara mereka berkata, “Kau tidak dapat menakut-nakuti kami. Kalian harus mempertanggungjawabkan perbuatan kalian.” “Apa yang akan kalian lakukan?” “Menangkap kalian berempat.” Keempat orang berkuda itu tertawa. Katanya, “Kalian berani mencoba menangkap kami berempat? Apakah kulit kalian sudah berlapis besi baja? Bukankah kalian tahu bahwa Jagabaya Babadan adalah seorang yang tidak terkalahkan? Padahal aku sekarang berada di sini bersama tiga orang kawanku.” “Sejak kapan kau menjadi Jagabaya Babadan?” jawab orang yang berdiri di pinggir jalan itu. “Pertanyaan yang bodoh. Aku adalah Jagabaya Babadan. Ki Bekel Babadan sudah mengakui kedudukanku. Sebentar lagi aku akan menjadi Jagabaya Kademangan Babadan. Semua padukuhan di Kademangan Prancak sekarang harus mengakui kepemimpinan Demang yang baru, yang berkedudukan di Babadan.” “Omong kosong,” sahut orang yang berdiri di pinggir jalan. “Kau kira kami tidak tahu siapakah kalian? Kalian bahkan bukan orang Babadan, bukan pula orang Prancak.” Ki Jagabaya Babadan itu tertawa. Ketiga orang kawannya pun tertawa pula. Glagah Putih dan Rara Wulan mulai mengenali persoalannya sedikit demi sedikit. Jika orang yang disebut Ki Jagabaya itu bukan orang Babadan, maka mereka pun segera menghubungkan jejak kaki kuda yang berada di jalan setapak, di padang perdu yang menghubungkan Babadan dengan daerah yang dikuasai oleh sekelompok orang-orang yang bersarang di ujung hutan, yang tentu bukan orang baik-baik. Tetapi Glagah Putih dan Rara Wulan belum dapat mengambil kesimpulan apapun juga. Dalam pada itu, Ki Jagabaya Babadan itu pun berkata, “Minggir. Aku sedang membawa dua orang tawanan, karena mereka adalah telik sandi yang telah kalian upah untuk mengamati keadaan di Babadan. Mereka harus mendapat hukuman yang setimpal. Tetapi jika kalian mencoba untuk melindunginya, maka kalian akan mengalami nasib buruk seperti kawan-kawanmu itu.” “Kau mencoba menakut-nakuti kami?” “Bukan sekedar menakut-nakuti. Kau sudah melihat akibat perbuatan kawan-kawanmu itu. Untunglah bahwa agaknya mereka belum benar-benar mati meskipun terluka parah. Tetapi untuk melawan orang yang jumlahnya lebih banyak, maka kami akan menjadi lebih garang lagi.” “Kau kira kami menjadi ketakutan?” Ki Jagabaya Babadan itu pun kemudian menggeram, “Jadi kalian benar-benar ingin menangkap kami?” “Ya. Kalian telah berani melanggar batas yang untuk sementara kita buat di antara kita. Susukan ini.” “Sudah berapa kali kalian mencoba melakukannya atas bebahu padukuhan Babadan. Tetapi kalian tidak pernah berhasil. Kenapa kalian tidak pernah menjadi jera?” “Kami memang tidak akan pernah menjadi jera, sebelum tatanan pemerintahan di Prancak ini berjalan sebagaimana seharusnya. Kehadiran kalian di Babadan telah banyak menimbulkan masalah.” “Aku peringatkan sekali lagi, jangan halangi kami. Kedua orang ini adalah telik sandi. Kami berhak menangkap mereka.” “Kami tidak mengenal mereka berdua. Yang kami persoalkan adalah keberadaan kalian di sini.” “Kalian telah menyebut siapakah kami. Seharusnya kalian sadari, bahwa kami tidak akan dapat dihentikan. Jika kalian berkeras melakukannya, adalah pertanda kematian bagi kalian.” Orang-orang yang berdiri di pinggir jalan itu pun kemudian telah memencar. Mereka terdiri dari sembilan orang laki-laki yang tubuhnya nampak kokoh. Sebagian dari mereka adalah anak-anak muda. Yang lain sudah lebih tua dan berbekal pengalaman. Empat orang itu pun kemudian berloncatan turun dari kuda mereka. Dengan tenangnya mereka menambatkan kudanya pada pepohonan yang tumbuh di pinggir jalan itu. Seorang di antara mereka berkata dengan suara yang gemuruh, “Kalian akan menyesali kesombongan kalian. Jika kulit kami tergores meskipun hanya seujung duri oleh senjata-senjata kalian, maka itu adalah pertanda bahwa perubahan yang akan terjadi di Prancak menjadi lebih cepat. Kami akan segera mengambil langkah-langkah yang lebih pasti menyongsong perubahan yang bakal datang itu.” Orang Prancak itu pun telah mempersiapkan diri sebaik-baiknya. Yang tertua di antara mereka pun berkata, “Kami juga dapat menakut-nakuti kalian. Meskipun kami tahu siapakah kalian sebenarnya, tetapi kami sudah bertekad untuk menangkap kalian dan membawa kalian menghadap Ki Demang di Prancak. Kalian dan semua bebahu Babadan, terutama kawan-kawan kalian, akan segera diadili, karena kalian telah mengacaukan tatanan kehidupan di Prancak.” Ki Jagabaya Babadan itu tertawa. Katanya, “Baik, baik. Marilah kita selesaikan persoalan kita dengan cara terbaik.” Ki Jagabaya itu pun kemudian berkata kepada Glagah Putih dan Rara Wulan, “Kalian berdiri saja di pinggir jalan. Jangan mencoba-coba berbuat sesuatu yang tidak kami kehendaki. Jangan mencoba berpihak dan jangan mencoba melarikan diri. Jika kalian mencobanya juga, maka nasib kalian akan menjadi lebih buruk dari orang-orang Prancak ini.” Glagah Putih dan Rara Wulan tidak menjawab. Tetapi mereka bergeser dan berdiri di atas tanggul parit di pinggir jalan. Rara Wulan masih saja berpegangan lengan Glagah Putih. Orang-orang Prancak itu memandangi mereka dengan kerut di dahi. Tetapi mereka tidak sempat bertanya tentang diri mereka. Mereka pun tidak tahu kenapa orang-orang yang mengaku bebahu padukuhan Babadan itu menuduh mereka sebagai petugas sandi dari Prancak. “Apakah Ki Demang memang mengirimkan mereka?” bertanya orang-orang itu di dalam hatinya. Sementara itu, kedua belah pihak pun telah bersiap. Senjata yang ada di tangan mereka pun mulai bergetar. Keempat orang penunggang kuda yang mengaku orang-orang Babadan itu pun telah menarik senjata mereka pula. Dua orang di antara mereka bersenjata pedang, seorang bersenjata golok dan seorang lagi membawa bindi. Dalam pada itu, lima orang yang telah terluka parah dan yang telah diangkat menepi oleh tetangga-tetangganya itu tidak dapat berbuat apa-apa. Mereka sudah tidak berdaya. Bahkan masih ada seorang yang belum sadarkan diri. Demikianlah, sejenak kemudian telah terjadi pertempuran di antara mereka. Orang-orang Prancak yang jumlahnya lebih banyak itu pun menyerang bersama-sama dari beberapa arah. Ternyata ada juga di antara orang-orang Prancak itu yang berbekal ilmu kanuragan. Mereka telah memimpin tetangga-tetangga mereka memberikan perlawanan terhadap keempat orang berkuda yang mengaku orang-orang Babadan. Namun Glagah Putih dan Rara Wulan kemudian meyakini bahwa mereka adalah orang-orang yang semula bersarang di ujung hutan itu. Meskipun di antara orang-orang Prancak terdapat orang-orang yang memiliki bekal olah kanuragan. namun ternyata dalam waktu yang singkat para penunggang kuda itu telah mulai mendesak mereka. Orang-orang berkuda itu bertempur dengan garangnya. Mereka pun memiliki kemampuan yang tinggi. Bahkan agaknya mereka telah memiliki pengalaman yang luas pula. Karena itu, maka justru orang-orang Prancak yang jumlahnya lebih banyak itulah yang mulai tergores senjata. Pakaian mereka mulai terkoyak dan bahkan tubuh mereka mulai terluka. Agaknya keempat orang yang mengaku orang Babadan itu benar-benar marah terhadap orang-orang Prancak. Mereka nampaknya tidak lagi berusaha untuk menghindari kematian. Ketika seorang diantara orang-orang Prancak itu terlempar ke tanggul parit dengan luka yang tergores menyilang di dadanya, Glagah Putih dengan serta merta telah menolongnya. Tetapi seorang di antara orang-orang berkuda itu berteriak, “Biarkan saja orang itu mati! Kau sudah diperingatkan, jangan berpihak!” Namun Glagah Putih pun menjawab, “Orang ini dapat tercebur ke dalam parit. Meskipun airnya tidak begitu deras, tetapi menilik keadaannya, maka ia akan dapat mati terbenam di dalam air di parit itu.” “Sudah aku katakan, biar saja orang itu mati!” Glagah Putih termangu-mangu. Namun diletakkannya orang itu di sisi tanggul, sehingga orang itu tidak akan dapat terguling dan tercebur ke dalam parit yang mengalir itu. Namun kepada Rara Wulan yang berjongkok di sampingnya itu pun Glagah Putih berbisik, “Marilah kita melarikan diri menyeberangi jembatan itu.” “Kenapa?” bertanya Rara Wulan. “Setidak-tidaknya seorang atau dua orang akan mengejar kita. Dengan demikian, maka beban orang-orang Prancak akan menjadi lebih ringan.” “Aku mengerti maksud Kakang,” sahut Rara Wulan. “Nah, jangan menunggu orang-orang Prancak menjadi lebih parah. Mereka tidak banyak dapat memberikan perlawanan terhadap empat orang sekaligus.” Glagah Putih dan Rara Wulanpun tiba-tiba saja bangkit berdiri. Jembatan di atas susukan yang membelah Kademangan Prancak itu sudah kelihatan tidak terlalu jauh lagi. Tiba-tiba saja Glagah Putih dan Rara Wulan itu pun melarikan diri mereka menuju ke jembatan. Orang-orang yang mengaku orang Babadan itu terkejut melihat kedua tawanan mereka berlari. Karena itu, maka dengan serta-merta Ki Jagabaya Babadan itu memerintahkan dua orang kawannya untuk mengejar. Dengan demikian, maka yang bertempur melawan delapan orang Prancak tinggal dua orang saja. Sehingga dengan demikian, maka orang-orang Prancak itu mulai dapat menempatkan diri mereka dengan lebih mapan. Terutama mereka yang memang memiliki bekal olah kanuragan. Sementara itu, dua orang yang lain telah mengejar Glagah Putih dan Rara Wulan. Ternyata perempuan yang selalu berpegangan lengan suaminya itu mampu juga berlari demikian cepatnya. Kedua orang yang mengejar Glagah Putih dan Rara Wulan itu tidak tahu, bahwa keduanya pernah membuat diri mereka hidup seperti seekor kijang. Karena itu, maka kedua orang itu tidak segera berhasil menyusul Glagah Putih dan Rara Wulan. Namun ketika jarak mereka menjadi semakin jauh, maka Glagah Putih pun memperingatkan Rara Wulan, “Jangan terlalu cepat. Jika mereka yakin tidak akan dapat mengejar kita, maka mereka akan kembali ke arena pertempuran itu. Mereka justru akan menumpahkan kemarahan dan kekecewaan mereka kepada orang-orang Prancak.” Rara Wulan tersenyum. Katanya, “Mereka berlari seperti siput. Bukankah mereka berandal-berandal yang bersarang di ujung hutan itu?” “Agaknya mereka-lah yang telah dengan sengaja menimbulkan pertentangan di Kademangan Prancak.” “Ya. Tentu mereka yang telah menghasut orang-orang Babadan itu.” Glagah Putih dan Rara Wulan yang memperlambat larinya, melihat kedua orang yang mengejarnya menjadi semakin dekat. Namun mereka berdua berniat menyeberangi jembatan. Baru kemudian mereka akan membiarkan kedua orang yang. mengejar mereka itu dapat menyusul. Beberapa saat kemudian, Glagah Putih dan Rara Wulan pun telah berada di jembatan yang membentang di atas susukan. Namun demikian mereka melewati jembatan, maka tiba-tiba saja beberapa orang remaja yang sebelumnya mereka lihat melempari balu anak-anak Karang Lor, telah berdiri di pinggir jalan itu pula. Adalah di luar dugaan bahwa anak-anak remaja itu pun telah melempari Glagah Putih dan Rara Wulan dengan batu. “Kalian tentu petugas sandi dari Prancak!” teriak anak-anak itu. Glagah Putih dan Rara Wulan terpaksa berlari terus untuk menghindari lemparan batu dan anak-anak remaja itu. “Bagaimana kita harus menghadapi mereka?” bertanya Rara Wulan, “Mereka pun mengejar kita beramai-ramai.” “Kita tunggu kedua orang itu. Kita akan berbincang dengan mereka.” “Hanya berbincang?” “Tergantung kepada sikap mereka.” Rara Wulan masih berlari terus. Anak-anak remaja itu pun mengejar mereka sambil melempari batu. Tetapi dua orang yang mengejar Glagah Putih dan Rara Wulan itu pun berusaha mencegah mereka. Seorang di antara mereka berteriak, “Kalian jangan melempari batu! Biarlah kami menangkap mereka! Kami akan menggantung mereka di pintu gerbang. Baru kalian boleh melempari mereka dengan batu.” Anak-anak itu pun berhenti. Sementara itu Glagah Putih dan Rara Wulan yang sudah menyeberangi jembatan itu pun berlari semakin lambat, sehingga akhirnya kedua orang itu pun dapat menyusul mereka. Seorang di antara kedua orang yang mengejar Glagah Putih dan Rara Wulan itu pun kemudian berteriak, “Berhenti! Berhenti, anak iblis!” Rara Wulan yang masih berlari itu pun berkata, “Aku senang bermain-main dengan mereka. Marilah kita lari lebih cepat lagi, agar mereka mengejar kita semakin jauh.” “Kita akan lebih banyak kehilangan waktu,” sahut Glagah Putih. Rara Wulan tersenyum. Katanya, “Jika kita berlari lebih cepat lagi dan menjadi lebih jauh dari mereka, maka nafas mereka akan menjadi semakin terengah-engah. Bahkan mungkin sekali mereka akan kehabisan nafas.” “Itu dapat saja terjadi. Tetapi akan memerlukan waktu yang lama.” “Jadi?” “Kita berhenti saja selagi kita masih berada di bulak. Kita paksa saja mereka berhenti berlari dan tidak mengejar kita lagi.” Rara Wulan mengangguk. Sementara itu, dua orang yang mengejar Glagah Putih dan Rara Wulan itu sudah berada dekat sekali di belakang mereka. Sekali lagi terdengar mereka berteriak, bahkan kedua-duanya, “Berhenti! Kau tidak akan dapat melepaskan diri lagi dari tanganku. Semakin cepat semakin baik.” Yang seorang berteriak pula, “Semakin jauh kau berlari, nasibmu akan menjadi semakin buruk!” Yang lain menyambung, “Aku akan memotong kedua kakimu dan kedua tanganmu!” Rara Wulan pun berdesis, “Lucu sekali.” Tetapi Glagah Putih menyahut, “Berhenti. Kita akan berhenti di sini.” “Sebentar lagi, Kakang Biarlah tangan mereka menggapai-gapai.” Glagah Putih terpaksa mengikut saja. Rara Wulan justru berlari lebih cepat, sehingga kedua orang yang sudah dapat menyusul mereka itu pun harus mengerahkan tenaga untuk dapat menangkap kedua orang buruan mereka. Tetapi jarak mereka menjadi semakin jauh lagi. Kedua orang itu mengumpat. Mereka pun mengerahkan tenaga dan kemampuan mereka berlari untuk mengejar kedua orang buruan mereka. Tetapi kedua orang suami istri itu rasa-rasanya berlari semakin cepat. Namun ketika mereka sampai di sebuah simpang empat di tengah-tengah bulak, Rara Wulan pun berkata, “Nah, kita berhenti di simpang empat itu. Ada tempat yang agak luas untuk bermain.” Sebenarnyalah ketika mereka sampai di simpang empat, maka mereka pun berhenti. Ternyata jarak kedua orang yang mengejar mereka sudah menjadi agak jauh lagi. Sejenak kemudian, kedua orang yang mengejar mereka itu pun telah sampai di simpang empat pula. Nafas mereka menjadi terengah-engah, tidak saja lewat hidung mereka, tetapi juga lewat mulut mereka. “Setan alas,” geram seorang di antara mereka di sela-sela tarikan nafasnya, “kalian akan mengalami nasib yang sangat buruk. Kalian telah mencoba melarikan diri. Kemudian kalian tidak mau berhenti pada saat kami memerintahkan kalian berhenti.” “Bukankah kami telah berhenti sekarang?” Rara Wulan-lah yang menyahut. “Kenapa baru sekarang kalian berhenti? Bukankah sejak melewati jembatan itu kami sudah memerintahkan kalian berhenti?” “Ya. Dan sekarang kami sudah berhenti.” “Kenapa baru sekarang?” bentak yang seorang. “Apakah kami harus berlari lagi?” bertanya Rara Wulan. “Cukup! Kalau berlari lagi, maka nasibmu akan menjadi semakin buruk lagi. Kau akan dikejar oleh semua orang penghuni padukuhan Babadan seperti mengejar bajing.” “Kau tahu bahwa kami dapat berlari kencang.” “Kau juga tahu bahwa kami mempunyai kuda yang dapat bertari jauh lebih kencang lagi.” “Kudamu tidak ada di sini sekarang. Selagi kalian mengambil kuda, kami sudah hilang dari pandangan kalian.” “Persetan. Sekarang kalian tidak akan dapat melarikan diri lagi.” Rara Wulan tertawa. Katanya kepada Glagah Putih, “Kakang, bukankah menyenangkan bermain kejar-kejaran di bulak yang luas ini?” “Sudahlah, Rara. Kita harus segera kembali ke arena pertempuran itu. Kita akan melihat, apa yang telah terjadi.” Rara Wulan menarik nafas panjang. Namun tiba-tiba ia pun berkata, “Kita berlari lagi ke jembatan.” Glagah Putih menggelengkan kepalanya sambil berkata, “Kita hormati orang-orang yang telah memburu kita ini.” Rara Wulan pun mengangguk. Katanya, “Baik. Aku ingin memukuli mereka sampai pingsan.” “Apa yang kau katakan?” bentak seorang dari mereka yang mengejar Glagah Putih dan Rara Wulan itu. “Sekarang kalian mau apa?” bertanya Rara Wulan. “Kami sudah berhenti menunggu kalian yang berlari seperti siput.” Jantung kedua orang itu berdesir. Sikap Rara Wulan sempat membuat dada mereka berdebaran. Ternyata perempuan itu sama sekali tidak menjadi ketakutan. Bahkan agaknya mereka sengaja menunggu agar kedua orang yang mengejarnya itu dapat menyusulnya. Justru karena itu, maka keduanya mulai menjadi lebih berhati-hati menghadapi kedua orang laki-laki dan perempuan itu. “Sekarang, ulurkan tangan kalian. Kami akan mengikat kalian dan membawa kalian ke Babadan. Kalian harus diadili, karena kalian adalah petugas sandi yang diupah oleh orang-orang Prancak.” “Tidak. Kami bukan orang yang diupah oleh siapa-siapa. Kami adalah pengembara yang tidak terikat oleh siapapun. Kami dapat menentukan tujuan kami sendiri, dan kami dapat melakukan apa yang ingin kami lakukan, asal tidak merugikan dan mengganggu orang lain,” jawab Glagah Putih. “Kau menganggap bahwa seorang telik sandi tidak merugikan dan tidak mengganggu orang lain?” “Aku tidak mengatakan bahwa telik sandi itu tidak merugikan dan tidak mengganggu orang lain. Yang aku katakan adalah, bahwa kami bukan orang yang diupah untuk memata-matai pihak manapun.” “Bohong. Semuanya menjadi semakin jelas dengan sikap kalian sekarang ini.” “Bagaimana dengan sikap kami sekarang?” “Ternyata kalian memiliki keberanian untuk melawan kami. Jika kalian bukan telik sandi yang serba sedikit berbekal kemampuan olah kanuragan, maka kalian tentu tidak akan berani melawan kami, karena perlawanan kalian akan membuat kalian semakin menderita menjelang saat kematian kalian.” “Kau kira kami akan begitu saja menerima kematian?” “Persetan. Kalian menganggap diri kalian ini siapa, he? Kalian mengira bahwa kalian dapat luput dari kematian karena kalian telah memata-matai kami?” “Bukan kalian yang akan membunuh kami. Tetapi kami akan membunuh kalian. Kami tahu bahwa kalian bukan orang-orang Babadan. Jika orang-orang Babadan menemukan mayat kalian di sini, maka orang-orang Babadan akan tahu, bahwa kalian sebenarnya bukan apa-apa di dunia olah kanuragan.” “Cukup! Aku akan mengoyakkan mulutmu.” “Aku-lah yang akan melakukannya.” Kedua orang yang mengaku orang Babadan itu pun segera mempersiapkan diri. Sementara itu, anak-anak remaja yang melempari Glagah Putih dan Rara Wulan telah berlari-lari sampai ke tempat itu pula. Sambil berteriak teriak mereka pun mendekati kedua orang yang memburu Glagah Putih dan Rara Wulan itu. “Tangkap mereka, Paman. Serahkan kepada kami!” teriak seorang di antara mereka. Seorang di antara kedua orang itu pun berkata dengan serta-merta, “Mundur! Jangan terlalu dekat. Nanti kalian dapat menjadi korban.” Anak-anak itu pun kemudian bergeser mundur. Sementara Rara Wulan pun bertanya, “Apakah kalian akan ikut bermain? Jamuran atau cublak-cublak suweng?” “Permainan anak-anak perempuan,” sahut mereka. “Bukankah aku juga perempuan?” “Tetapi kami bukan perempuan!” teriak seorang diantara mereka. Rara Wulan tertawa. Katanya, “Baik. Jika demikian, lihat saja, kami akan berkelahi. Bukankah berkelahi itu mainan laki-laki?” Anak-anak itu terdiam. “Bersiaplah,” berkata salah seorang yang memburu Glagah Putih dan Rara Wulan, “kami benar-benar akan membunuh kalian.” Glagah Putih dan Rara Wulan tidak menjawab. Tetapi keduanya pun segera mengambil jarak. Sementara itu Rara Wulan tidak hanya menyingsingkan kain panjangnya sampai ke bawah lutut. Tetapi diangkatnya kain panjangnya, sehingga yang nampak kemudian adalah pakaian khususnya. Kedua orang yang mengejarnya itu pun menjadi semakin menyadari, dengan siapa mereka berhadapan. “Perempuan itu tentu bukan perempuan kebanyakan.” Demikianlah, maka kedua orang yang memburu Glagah Putih dan Rara Wulan itu pun sudah menempatkan dirinya. Seorang akan bertempur melawan Glagah Putih, yang seorang lagi akan menghadapi Rara Wulan. Meskipun keduanya menyadari bahwa kedua orang itu tentu memiliki bekal ilmu, namun mereka masih saja menganggap diri mereka memiliki kelebihan serta pengalaman. Sejenak kemudian, maka kedua orang itu pun mulai menyerang. Sedangkan Glagah Putih dan Rara Wulan telah siap pula untuk menghadapinya. Sementara itu, Rara Wulan yang ingin bermain kejar-kejaran itu tidak berminat untuk bertempur berlama-lama. Seperti Glagah Putih, ia pun teringat kepada orang-orang Prancak yang bertempur di seberang jembatan. Apakah mereka mampu mempertahankan diri atau tidak. Karena itu, maka Rara Wulan itu pun segera meningkatkan kemampuannya, sehingga dengan cepat ia telah mendesak lawannya. Glagah Putih pun tidak ingin membuang banyak waktu. Sehingga Glagah Putih pun berusaha untuk menghentikan perlawanan orang yang memburunya itu dengan cepat. Sementara itu, di seberang jembatan, orang-orang Prancak masih bertempur melawan dua orang berkuda itu dengan sengitnya. Namun, bahwa lawan mereka telah berkurang dengan dua orang, agaknya telah memberikan kesempatan kepada mereka untuk mengimbanginya. Orang-orang Prancak itu telah mengerahkan kemampuan mereka tanpa menjadi gentar, meskipun kedua lawan mereka adalah orang-orang berilmu tinggi. Bahwa mereka berjumlah sembilan orang, telah memberikan kemungkinan kepada mereka untuk mengalahkan kedua orang yang mengaku Orang Babadan itu. Sebenarnyalah, betapapun kedua orang Babadan itu mengerahkan kemampuan mereka, tetapi sangat sulit bagi mereka untuk melawan sembilan orang Prancak. Ternyata bahwa orang-orang Prancak itu bukannya tidak berilmu sama sekali. Bahkan ada di antara mereka yang memiliki kemampuan yang memadai untuk menghadapi kedua orang Babadan itu. Karena itulah, maka kedua orang Babadan itu pun harus melihat kenyataan itu. Jika mereka memaksa diri untuk bertempur terus, maka ada kemungkinan mereka tidak mampu bertahan lagi, sehingga mereka akan dapat ditangkap dan menjadi tawanan di Prancak, atau bahkan di padukuhan Wijil. Dengan demikian, maka nasib mereka pun akan menjadi sangat buruk, karena mereka akan menjadi pengewan-ewan di Kademangan Prancak. Karena itu, maka kedua orang itu pun harus mengambil sikap dengan cepat. Orang yang mengaku Jagabaya Babadan itu pun segera memberi isyarat kepada kawannya untuk meninggalkan arena pertempuran. Karena itu, ketika terbuka kesempatan bagi mereka, maka keduanya pun segera berlari ke kuda mereka yang tertambat di pinggir jalan. Dengan cepat mereka menarik kendali yang disangkutkan pada sebatang pohon di pinggir jalan. Dengan cepat pula mereka pun berloncatan ke punggung kuda mereka. Sejenak kemudian, kedua ekor kuda dengan dua orang penunggangnya itu pun segera melarikan diri meninggalkan arena pertempuran, serta meninggalkan dua ekor kuda milik kedua orang yang telah mengejar Glagah Putih dan Rara Wulan. Beberapa saat kemudian, kedua orang penunggang kuda itu pun telah menyeberangi jembatan di atas susukan itu. Dengan demikian, maka orang-orang Prancak yang berusaha mengejar mereka telah terhenti. Mereka tidak berani menyeberangi jembatan itu, karena jika terjadi sesuatu dengan mereka, maka hal itu akan dianggap sebagai salah mereka sendiri. Dalam pada itu. kedua orang berkuda itu pun telah melecut kuda mereka agar berlari semakin kencang. Sementara itu, Glagah Putih dan Rara Wulan telah mendesak lawan-lawan mereka. Kedua orang yang mengaku orang Babadan itu mengalami kesulitan untuk melindungi diri mereka masing-masing. Serangan-serangan Glagah Putih dan Rara Wulan yang datang beruntun dengan kecepatan yang tinggi, telah membuat keduanya jatuh bangun. Sekali-sekali mereka terlempar karena serangan lawan-lawan mereka. Tetapi dengan cepat mereka pun segera bangkit berdiri untuk meneruskan perlawanan. Ketika mereka mendengar derap kaki kuda, maka kedua orang itu pun segera mulai berpengharapan. Mereka mengira bahwa kedua kawan telah berhasil menyelesaikan perkelahian mereka melawan orang-orang Prancak, sehingga mereka datang untuk menyusul dan membantu mereka. Karena itu, maka kedua orang itu pun segera berloncatan untuk mengambil jarak. Ketika keduanya berpaling, maka jantung mereka pun menjadi berdebaran. Mereka tidak melihat keduanya membawa kuda-kuda mereka. Glagah Putih dan Rara Wulan pun tidak segera memburu lawan-lawan mereka. Keduanya pun sempat memperhatikan kedua orang yang mengaku orang-orang Babadan itu. Bahkan seorang di antara mereka adalah Ki Jagabaya di Babadan. Kedua penunggang kuda itu pun segera melihat kedua kawan mereka yang bertempur melawan kedua orang yang melarikan diri. Keduanya pun melihat bahwa kedua orang kawannya itu telah berloncatan mengambil jarak. “Apa yang telah terjadi?” bertanya Ki Jagabaya. “Nampaknya kedua orang tawanan kita itu mencoba melawan,” sahut kawannya. “Anak-anak itu?” “Mereka menonton saja.” Sejenak kemudian, keduanya pun telah berloncatan dari punggung kuda. Tiba-tiba saja anak-anak remaja yang menyaksikan perkelahian itu bersorak. Kedatangan kedua orang itu akan membantu kedua kawannya yang segera terdesak oleh dua orang yang dituduh telik sandi dari Prancak itu. Demikian keduanya menyangkutkan kendali kuda mereka di sebatang pohon, maka seorang di antara mereka bertanya, “Apa yang terjadi?” “Kedua orang ini mencoba melawan,” sahut salah seorang kawannya yang bertempur melawan Glagah Putih. “Itu lebih baik. Kita akan membunuhnya sekarang.” “Serahkan kepada kami, Paman!” teriak anak-anak itu. Kedua orang berkuda itu memandangi mereka sambil tersenyum. Seorang di antara mereka berkata, “Baik. Aku akan mengikat mereka dan menyerahkan mereka kepada kalian.” “Terima kasih, Paman, terima kasih. Kami akan mendapat mainan yang menyenangkan.” Adalah di luar dugaan bahwa Glagah Putih pun telah tertawa pula. “Kenapa kau tertawa?” bertanya Ki Jagabaya. “Itukah yang kalian ajarkan kepada anak-anak kalian? Apa yang kalian harapkan dari anak-anak kalian di masa depan? Apakah kalian berharap bahwa anak-anak kalian akan menjadi sekelompok orang yang membenci sesama? Sekelompok orang yang menjadi gembira melihat penderitaan orang lain?” Dahi Ki Jagabaya itu pun nampak berkerut. Namun kemudian ia pun berkata, “Anak-anak kami bukan anak-anak yang cengeng. Mereka terlatih untuk bertindak tegas terhadap orang-orang jahat seperti kalian. Kalian yang makan upah untuk menjadi telik sandi, mengamati dan kemudian memberikan laporan tentang kelemahan-kelemahan sasarannya. Bukankah pekerjaan seperti itu adalah pekerjaan yang sangat nista?” “Apakah kau sedang bermimpi?” bertanya Glagah Putih, “Dari mana kau mendapat alasan untuk menuduh kami menjadi telik sandi, hanya karena kami berjalan melewati padukuhanmu? Apakah setiap orang lain yang melewati padukuhan Babadan dapat dituduh menjadi telik sandi? Jika benar sebagaimana kau katakan bahwa kau telah menghukum mati beberapa orang yang kau tuduh sebagai telik sandi, maka kau benar-benar seorang yang sangat jahat.” “Persetan,” geram orang yang mengaku Jagabaya dari Babadan itu. Glagah Putih tidak berkata apa-apa lagi. Ia pun segera mempersiapkan diri untuk menghadapi lawan-lawannya. Demikian pula Rara Wulan. Namun kawan Ki Jagabaya itu sendiri-lah yang bertanya, “Apakah Ki Jagabaya sudah menyelesaikan orang-orang Prancak itu?” “Sudah,” jawab Ki Jagabaya. “Bagus. Sekarang kita selesaikan dua ekor cecurut ini.” “Kita sudah berjanji untuk menangkapnya dan mengikatnya. Kemudian menyerahkannya kepada anak-anak itu.” “Kita akan menyeretnya ke padukuhan.” “Biarlah anak-anak itulah yang melakukannya. Menyeret dua onggok slangkrah yang terikat. Memang sepantasnyalah keduanya disurukkan ke dalam bendungan, untuk dijadikan tumbal agar bendungan itu tidak segera rusak.” Anak-anak itu tiba-tiba bersorak, “Biarlah kami yang menyeret keduanya ke bendungan, Paman. Biarlah kami yang menceburkannya ke dalam air.” Tiba-tiba saja Rara Wulan berkata, “Alangkah senangnya mereka mendapat mainan dengan mengorbankan jiwa sesama. Tetapi lebih daripada itu, bagaimana mereka menjadi sangat gembira melihat penderitaan sesamanya.” Tetapi Ki Jagabaya di Babadan itu menyahut, “Ternyata kalian sudah menjadi ketakutan. Tetapi nasib kalian memang sangat buruk. Kalian akan menjadi pengewan-ewan di sini. Bukan hanya anak-anak. Tetapi seisi padukuhan Babadan akan sangat gembira, karena kami sudah berhasil menangkap sepasang telik sandi.” “Kau pantas mati,” geram Rara Wulan. Melihat kesungguhan di wajah Rara Wulan, orang yang menyebut dirinya Jagabaya di Babadan itu tidak dapat mengabaikannya. Tetapi ia yakin bahwa berempat mereka akan dapat menangkap dan benar-benar mengikat keduanya, untuk mereka serahkan kepada anak-anak remaja yang sedang menonton pertempuran itu. Glagah Putih dan Rara Wulan pun segera bergeser mengambil jarak di antara mereka. Keduanya telah siap untuk bertempur masing-masing melawan dua orang di antara mereka. Gejolak di dada Rara Wulan pun terasa menjadi semakin menghentak-hentak. Karena itu, maka Rara Wulan-lah yang kemudian justru meloncat mulai menyerang. Namun lawan-lawannya pun telah bersiap pula, sehingga sejenak kemudian maka pertempuran pun telah berkobar kembali. Glagah Putih dan Rara Wulan masing-masing harus bertempur menghadapi dua orang lawan. Namun Glagah Putih dan Rara Wulan yang menganggap orang orang Babadan itu sudah bertindak melampaui batas, maka keduanya pun segera meningkatkan kemampuan mereka. Dengan kecepatan yang tinggi, Glagah Putih dan Rara Wulan menyerang lawan-lawan mereka. Serangan-serangan itu datang demikian cepatnya sehingga mengejutkan lawan-lawan mereka. Tetapi mereka tidak mempunyai kesempatan untuk membuat penilaian atas kemampuan suami istri yang telah mereka tuduh menjadi telik sandi itu. Pertempuran pun dengan cepatnya meningkat semakin sengit. Ki Jagabaya yang menempatkan dirinya bersama seorang kawannya melawan Glagah Putih, ternyata tidak mempunyai banyak kesempatan. Sebelum ia berhasil mengenai tubuh Glagah Putih, maka Jagabaya Babadan itu sudah terlempar dari arena. Kaki Glagah Putih yang terjulur lurus menyamping telah mengenai dadanya. Dengan tangkasnya Jagabaya Babadan itu bangkit. Namun terasa dadanya menjadi sesak. Tulang-tulang iganya menjadi nyeri. Dalam pada itu, anak-anak remaja yang menonton pertempuran itu masih saja bersorak-sorak. Dengan lantang mereka berteriak, “Cepat, Paman! Tangkap mereka! Ikat dan serahkan kepada kami.” Yang lain pun berteriak pula, “Biar aku seret perempuan itu ke tepian, Paman! Biarlah kami memandikannya sebelum kami surukkan perempuan itu ke bendungan.” Suara anak-anak remaja yang riuh itu telah membuat jantung Rara Wulan semakin bergejolak. Meskipun ia harus bertempur menghadapi dua orang lawan, namun Rara Wulan sempat juga menjadi cemas akan watak dan tingkah laku anak-anak remaja itu kelak, jika mereka menjadi semakin besar dan menjadi dewasa. “Mereka akan menjadi apa?” pertanyaan itu sempat mengganggu perasaan Rara Wulan. Namun Rara Wulan itu terkejut. Bagaikan baru saja terbangun dari mimpi yang buruk, Rara Wulan menghadapi kenyataan. Ia merasakan punggungnya menjadi sakit. Bahkan hampir saja Rara Wulan itu jatuh terjerembab. Seorang di antara kedua lawannya yang menyerangnya dari belakang berhasil mengenai punggung Rara Wulan dengan serangan kakinya, sehingga Rara Wulan itu terdorong beberapa langkah. Dengan susah payah Rara Wulan berusaha mempertahankan keseimbangannya. Tetapi tiba-tiba saja lawannya yang lain pun telah menyerangnya pula. Sambil meloncat orang itu memutar tubuhnya serta mengayunkan kakinya ke arah kening. Rara Wulan yang masih dalam keadaan goyah itu justru menjatuhkan dirinya. Berguling beberapa kali, kemudian melenting berdiri. Ketika kedua lawannya itu menyerang kembali, maka Rara Wulan pun sudah siap menghadapi mereka. Pertempuran pun kemudian berlangsung pula dengan sengitnya. Rara Wulan tidak mau lagi kehilangan pemusatan perhatiannya terhadap lawannya, karena sikap anak-anak remaja Babadan itu. Ketika serangan lawannya mengenai punggung Rara Wulan, Glagah Putih merasa cemas pula. Menurut penglihatannya, serangan itu tidak datang terlalu cepat dan tidak terlalu berbahaya. Tetapi ia melihat bahwa serangan itu mampu mengenai punggung Rara Wulan. Namun Glagah Putih tidak tahu, bahwa perhatian Rara Wulan sebagian tertuju kepada sikap anak-anak remaja Babadan yang telah membuatnya menjadi cemas. Tetapi sakit di punggungnya yang kemudian dapat teratasi dengan daya tahan tubuhnya yang tinggi itu, telah membuat Rara Wulan mengambil keputusan untuk segera menghentikan perlawanan kedua orang Babadan itu. Sejenak kemudian, maka Rara Wulan pun telah meningkatkan kemampuannya. Dengan tangkasnya Rara Wulan berloncatan, sehingga membuat kedua orang lawannya menjadi bingung. Serangan-serangan Rara Wulan pun menjadi semakin sering mengenai tubuh mereka. Bergantian mereka terlempar dari gelanggang dan jatuh berguling di tanah. Seorang di antara mereka yang terlempar oleh serangan kaki Rara Wulan, justru telah menimpa sebatang pohon di pinggir jalan. Sambil menyeringai kesakitan, orang itu pun mengumpat kasar. Bahkan kemudian orang itu telah mencabut pedangnya sambil berteriak, “Aku bunuh kau, perempuan binal.” Rara Wulan tertegun. Bahkan lawannya yang seorang lagi juga menarik senjatanya pula. Namun anak-anak remaja yang menonton perkelahian itulah yang berteriak-teriak, “Jangan dibunuh, Paman! Serahkan mereka kepada kami. Biarlah kami mendapatkan permainan yang menyenangkan.” Tetapi kedua orang lawan Rara Wulan itu tidak menghiraukan. Mereka pun kemudian mendekati Rara Wulan setapak demi setapak sambil mengacungkan senjata mereka. “Kau akan menyesali nasib burukmu, perempuan liar,” geram seorang di antara mereka. Rara Wulan menarik nafas panjang. Tetapi dengan demikian, maka ia pun akan segera mendapatkan jalan untuk menghentikan perlawanan kedua orang yang mengaku orang Babadan itu. Sejenak kemudian, Rara Wulan pun telah memutar selendangnya. “Apa yang kau lakukan, perempuan binal?” bertanya seorang di antara kedua orang lawannya itu dengan lantang. “Kau tidak akan mempunyai kesempatan lagi,” jawab Rara Wulan. “Iblis betina. Bersiaplah untuk mati!” seorang di antara kedua lawannya itu berteriak. Hampir berbareng kedua lawannya itu meloncat menyerang. Namun dengan tangkas Rara Wulan menghindar. Sementara itu, selendangnya pun telah terjulur lurus mematuk dada seorang lawannya. Sentuhan itu masih belum dilambari kemampuan Rara Wulan yang sebenarnya. Tetapi orang yang dadanya tersentuh ujung selendang Rara Wulan itu pun telah terdorong beberapa langkah surut dan jatuh terbanting di tanah. Terdengar orang itu mengaduh. Ketika ia berusaha untuk bangkit, maka mulutnya masih saja menyeringai menahan sakit. Tetapi ia telah memaksa diri untuk memasuki arena pertempuran itu lagi. Sementara itu, kedua lawan Glagah Putih pun telah bersenjata pula. Untuk mengimbangi keduanya, maka Glagah Putih pun telah meningkatkan kemampuannya lebih tinggi. Glagah Putih tidak merasa perlu untuk mengurai ikat pinggangnya. Namun dengan kecepatan geraknya, dilambari kemampuannya memperingan tubuhnya, ia mampu membuat kedua lawannya kebingungan. Pada saat-saat lawannya kehilangan Glagah Putih yang berloncatan dengan ringannya, bahkan seakan-akan kakinya tidak menyentuh tanah, maka serangan Glagah Putih telah melemparkan mereka sehingga terpelanting jatuh. Dengan demikian, maka kedua orang lawan Glagah Putih itu pun segera terlibat dalam kesulitan. Beberapa kali orang yang mengaku Jagabaya dari Babadan itu harus berdesah kesakitan. Beberapa kali ia menyeringai menahan sakit yang menusuk sampai ke tulang. Tubuhnya yang terbanting-banting dan beberapa kali membentur pepohonan, telah tergores luka dimana-mana. Luka oleh ujung bebatuan yang tajam atau oleh kerasnya batang pepohonan. Bahkan dari sela-sela bibirnya telah mengalir darah, karena beberapa giginya telah patah. Kawan Ki Jagabaya itu pun merasakan kepalanya sudah menjadi sangat pening. Matanya semakin lama menjadi semakin kabur. Lawannya yang berloncatan melingkar-lingkar itu kadang-kadang tidak dapat dilihatnya lagi. Namun tiba-tiba saja serangannya telah melemparkannya. Ketika keningnya membentur sebatang pohon di pinggir jalan, maka di keningnya itu telah tergores luka. Darah mengalir semakin lama semakin deras. Dalam pada itu, kedua orang lawan Rara Wulan pun seakan-akan sudah tidak berdaya lagi. Ketika ujung selendang Rara Wulan menghantam dada seorang di antara mereka, maka orang itu pun telah terlempar dengan kerasnya. Rara Wulan agaknya sudah tidak telaten lagi, sehingga ia pun sudah meningkatkan ilmunya pula. Dengan kerasnya tubuh orang itu terlempar melampaui tanggul parit, hingga terjatuh di kotak sawah yang sedang digenangi air. Orang itu pun menjadi bagaikan seekor kerbau yang berada di dalam kubangan. Bahkan beberapa teguk air berlumpur telah masuk lewat tenggorokannya pula. Seorang lawan Rara Wulan yang lain pun menjadi bimbang. Berdua mereka tidak dapat mengalahkan perempuan itu. Apalagi pada saat kawannya berkutat untuk bangkit dari kubangan lumpur. Tetapi ia tidak mempunyai banyak kesempatan. Ketika ia berusaha untuk meloncat menjauh, maka selendang Rara Wulan itu telah terjulur melingkar menjerat kedua kakinya. Demikian selendang itu dihentakkan, maka orang itu pun telah terpelanting terbanting jatuh di tanah. Sekali lagi Rara Wulan menghentakkannya. Orang yang terpelanting itu bagaikan diseret beberapa langkah, sebelum Rara Wulan menghentakkannya sekali lagi. Demikian lilitan ujung selendang itu terurai, maka orang itu pun tidak lagi dapat bangkit dengan cepat. Punggungnya terasa bagaikan menjadi patah. Dua orang lawan Rara Wulan sudah menjadi tidak berdaya lagi. Senjata mereka seakan-akan tidak ada gunanya sama sekali. Rara Wulan berdiri termangu-mangu. Dipandanginya kedua orang lawannya berganti-ganti. Seorang terbaring di jalan bulak, seorang sudah berhasil bangkit berdiri dalam lumpur yang pekat, sehingga ujudnya bagaikan sebuah patung yang terbuat dari tanah liat. “Sekarang, apa lagi yang akan kalian lakukan?” bertanya Rara Wulan, “Apakah kalian masih ingin menangkap kami karena kami kalian anggap telik sandi?” bersambung

api dibukit menoreh 360